Cilokak dan Pentingnya Berbahasa Lokal

Oleh Empuesa

Cilokak adalah salah satu jenis musik tradisional khas Suku Sasak yang hidup di tanah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cilokak tersebar di seluruh Pulau Lombok, bahkan hingga Sumbawa, namun musik ini lebih banyak berkembang di Lombok bagian timur dan tengah. Hal ini disebabkan karena cilokak dipopulerkan oleh seniman Suku Sasak yang berasal dari Desa Sakra yang terletak di perbatasan antara Lombok Timur dan Lombok Tengah.

Menurut cerita rakyat Sasak, kata cilokak diambil dari kata seloka yang dalam bahasa Sasak berarti “untaian syair-syair yang berisi tentang nasehat, petuah, kritik sosial, aturan adat, atau doa”. Syair-syair ini ditulis dan diucapkan dalam bahasa Sasak. Dalam perkembangannya kemudian, dibuat sebuah lagu dengan iringan musik tradisional Sasak, seperti gendang, gambus, atau gong.  

Sekarang ini banyak muncul kelompok-kelompok musik cilokak yang menggabungkan dengan alat-alat musik modern, seperti gitar, bas, atau drum. Mereka mengatur musik mereka sendiri, merekam sendiri dalam compact disc, dan menjualnya sendiri ke toko-toko. Meskipun tidak sampai ke ranah nasional, mereka sudah bangga jika orang Sasak sendiri suka mendengarkan cilokak.

Musik cilokak disenandungkan oleh seorang biduan laki-laki atau perempuan. Biduan cilokak biasanya berbusana adat Sasak, jika perempuan berkebaya dengan hiasan sanggul, adapun laki-laki menggunakan dodot (selempang tenun Sasak) dan ber-sapo’ (ikat kepala Sasak). Biduan perempuan akan berjoget seperti tarian tradisional Sasak, semisal jangger. Goyangan mereka terkadang tidak kalah dengan goyang dangdut, karena ini pula musik cilokak semakin enak ditonton.

Cilokak dan Anak Muda
 
Ketika banyak anak muda di daerah lain yang kurang peduli dengan kebudayaan tradisional mereka, maka tidak demikian yang terjadi pada anak muda Sasak. Anak muda Sasak meski mereka bergaya modern dengan rambut Mohawk, celana pensil (kecil bagian bawah), menenteng komputer jinjing, blackberry, motor modifikasi, atau bermobil, namun tidak sedikit dari mereka selalu menyimpan lagu-lagu cilokak di telpon genggam atau komputer jinjing mereka lalu mendendangkannya dengan menggunakan ear phone. Pemandangan ini tentu saja unik, karena tampak mereka memiliki kebanggaan tersendiri dengan musik tradisional mereka.

Menurut cerita anak-anak muda Sasak, kenapa mereka menyukai cilokak dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, lagu-lagu cilokak berbahasa Sasak, di mana ini selaras dengan bahasa pergaulan sehari-hari di Lombok sehingga lagu cilokak mudah dipahami. Kedua, lagu-lagu cilokak banyak berkisah tentang anak muda, seperti putus cinta, hidup bebas, atau midang (apel ke rumah pacar). Ketiga, musik cilokak sudah banyak yang dibuat dengan gaya pop atau rock, sehingga anak muda semangat dalam menyanyikannya dengan irama yang mengentak. Keempat, musik cilokak enak didengar dan enak didendangkan sambil berjoget. Kelima, musik cilokak diperdengarkan di mana-mana sehingga anak-anak muda tertarik untuk mengapresiasi.

Jika mencermati alasan-alasan di atas, maka musik tradisional ternyata tidak identik dengan orang-orangtua. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat pada kesenian Jawa seperti wayang, ketoprak, atau tari-tarian tradisional yang hanya disukai oleh orang-orangtua, karena bahasa yang digunakan dalam kesenian tersebut adalah bahasa Jawa halus, di mana banyak anak muda yang tidak memahami. Namun, syukurlah saat ini di Jawa ada musik campursari, meski tidak semeriah anak muda Sasak, musik campursari masih bisa merebut hati anak-anak muda Jawa.

Pentingnya Berbahasa Lokal
 
Melihat geliat semangat anak-anak muda di Lombok mengapresiasi musik tradisonal mereka, satu pelajaran berharga yang dapat diambil adalah pentingnya menggunakan bahasa sendiri (lokal) dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dilihat di daerah-daerah seperti di Jawa, anak-anak muda sudah sedikit yang menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka menggantinya dengan bahasa Indonesia, alay, atau Inggirs. Bahkan, anak-anak kecil sedari sekolah di Taman Kanak-kanak (TK) atau kelompok bermain, sudah dibiasakan berbahasa Indonesia atau Inggris. Akibatnya, setelah besar mereka tidak memahami bahasa ketoprak, wayang, atau tari-tarian tradisional karena mereka tidak diakrabkan, tidak dibudayakan.

Sebaliknya, ketika anak-anak sedari dini dibiasakan menggunakan bahasa lokal, maka sebenarnya mereka dicoba untuk diikatkan dengan kebudayaan dasar mereka. Jika bahasa lokalnya Sasak, maka anak-anak Sasak dicoba untuk diikatkan dengan kebudayaan Sasaknya. Sangatlah berbekas nantinya jika keseharian mereka sudah terikat dengan kebudayaan dasarnya, saat ada budaya baru yang masuk dalam kehidupan sehari-hari mereka, maka mereka akan mengapresiasi budaya baru tersebut dengan tidak meninggalkan budaya lokal mereka.

Selain itu, jika suatu ketika mereka sudah jengah dengan budaya baru, maka mereka akan cepat untuk kembali ke budaya lokal, tersebab keterikatan mereka yang kuat terhadap budaya lokal. Dalam kajian kebudayaan, keterikatan terhadap budaya lokal dianggap sebagai benteng yang efektif untuk menangkis sisi negatif budaya modern.

Kesukaan anak-anak muda Sasak terhadap musik tradisional mereka patut dijadikan pelajaran bahwa sebenarnya tidak ada kata “mati” terhadap kesenian tradisional. Semoga ke depan tumbuh anak-anak muda Melayu yang mencintai budaya tradisional mereka seperti di Sasak.

(Opini ini pernah dimuat di www.Melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer