Mengenal Suku Bisaya

Oleh Empuesa 

Satu lagi suku Melayu yang penting untuk dikenali keberadaannya adalah suku Bisaya. Orang Bisaya adalah penduduk asli yang tinggal di sepanjang pantai Borneo, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Orang Bisaya dipercaya sebagai cikal-bakal penduduk Brunei Darussalam dan Malaysia hingga sekarang. Pada perkembangannya, suku ini berdiaspora hingga ke Filipina. Di sana, mereka dikenal dengan sebutan Suku Visaya. Suku ini memiliki kebudayaan yang unik dan khas yang turut memperkaya khazanah budaya Melayu.

Menurut kepercayaan, nama Bisaya berasal dari kata Mabisa Iya yang berarti “seseorang lelaki tampan dan gagah” atau “wanita cantik dan molek”. Selain itu, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa istilah Bisaya kemungkinan berasal dari Empayar Srivijaya (Kerajaan Sriwijaya). Versi lain menyebutkan bahwa sebutan Bisaya berasal dari seorang tokoh pahlawan yang bernama Sri Visaya. Sementara itu, dalam buku berjudul The Bisaya of Borneo and the Philipine (Sonza, 1972), diceritakan bahwa pada suatu hari ketika Sultan Brunei berkunjung untuk meninjau kawasan penduduk Bisaya, Sultan mengucapkan kata-kata: Bisai-Yah!, yang berarti: “Betapa cantiknya!”.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Bisaya, leluhur orang Bisaya berasal dari sebuah keluarga yang berpindah dan menetap di wilayah sebelah utara Pulau Borneo (Kalimantan). Keluarga ini memiliki tujuh orang anak, enam laki-laki dan satu perempuan. Keenam anak laki-laki itu bernama Peti Berambai atau Pati Berabai, Si Garamba, Peti Garamba, Peti Runa atau Pati Bagunak, Semaun atau Si Maun, dan Alak Betatar atau Urak Betatar atau Lok Batata atau Awang Alah Bertabar. Satu-satunya anak perempuan keluarga itu bernama Siti Duyah atau Duri atau Bunga Sunting. Dari ketujuh anak inilah nantinya yang akan menurunkan orang-orang Bisaya selanjutnya.

Pada suatu masa, keluarga itu ingin menentukan siapa yang layak menjadi raja dari komunitas tersebut. Untuk itu, diadakanlah perlombaan pacu perahu yang akhirnya dimenangkan oleh Alak Betatar, yaitu anak yang paling bungsu. Lalu Alak Betatar dilantik menjadi raja atau pemimpin di komunitas tersebut. Komunitas ini lama-kelamaan menjadi besar hingga membentuk sebuah kerajaan. Pada perkembangannya, kerajaan ini dikenal dengan Kerajaan Barunai (sekarang Brunei) yang memeluk agama Islam. Oleh karena itu, sang raja pun dianugerahi gelar Sultan Mohammad Shah, yakni Sultan Brunei yang pertama.

Orang Bisaya mendapat pengaruh Islam kira-kira pada abad ke-13. Islam mulai masuk ke komunitas Bisaya akibat sentuhan mereka melalui perdagangan dengan orang-orang Arab yang singgah dan tinggal dengan mereka. Hubungan dagang ini tidak sedikit pula yang berlanjut hingga hubungan keluarga, di mana di antara keturunan mereka saling terikat dalam perkawinan. Pengaruh Islam pun masuk dalam pola perilaku kehidupan sehari-hari orang Bisaya. Bahkan, Islam dapat masuk ke sistem pemerintahan orang Bisaya dan itu dapat dilihat jejaknya pada pemerintahan Kesultanan Brunei Darussalam sekarang.

Masyarakat Bisaya pada umumnya bekerja dalam bidang pertanian. Mereka menanam padi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian lainnya untuk dijual. Selain itu, padi juga menjadi salah satu media untuk perayaan tertentu dalam upacara adat mereka, misalnya upacara adat menyambut panen atau perkawinan. Di desa-desa di Brunei, orang Bisaya yang masih menganggap kebudayaan leluhur penting untuk dilestarikan, mereka masih menggelar upacara adat leluhur meski mereka sudah hidup di dunia modern.

Jejak-jejak kebudayaan orang Bisaya sebagian masih dapat disaksikan pada kehidupan orang Brunei sekarang. Berbagai peninggalan berupa benda maupun seni tari masih dilestarikan. Beberapa tarian khas orang Bisaya, misalnya Tari Sayau Bagarus (Tarian Menggarus Batang Rumbia), Tari Mengalawat (Tarian Memijak Hempas Batang Rumbia), atau Tari Minsayau (tarian ritual untuk melawan dukun dan lanun).

Di antara kesenian tersebut banyak yang mirip atau bahkan sama dengan yang ada di Indonesia. Sebut saja misalnya Tari Jipin yang di Indonesia disebut Tari Zapin. Selain tari-tarian, orang Bisaya juga memiliki musik seperti kulintangan Bisaya yang terdiri beragam alat musik, seperti gong dan gendang. Musik ini biasa dimainkan dalam pesta perkawinan sebagai hiburan untuk para tamu. Selain itu, kulintangan juga biasa dimainkan untuk menyambut tamu kehormatan, misalnya raja, keluarga istana, ataupun bangsawan tinggi.

Orang Bisaya juga memiliki tradisi beladiri, juga permainan tradisional seperti tarik tali, gasing, dan layang-layang. Sebagian dari permainan ini masih sering dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa Bisaya. Mereka tidak malu mempraktekkan budaya tradisional di tengah derasnya serbuan modernisasi. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, penduduk Bisaya menggelar festival permainan rakyat. Festival ini diikuti oleh para seniman dan rakyat pecinta budaya Bisaya. Selain untuk hiburan, festival ini ditujukan untuk melanggengkan tradisi leluhur agar tidak punah ditelan zaman.

Mengenali keberadaan orang Bisaya di atas, satu hal yang penting untuk dipahami bersama adalah, bahwa ternyata benar antarsuku-suku Melayu di Asia adalah serumpun. Mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama. Kenyataan ini semoga menumbuhkan satu semangat tersendiri untuk terus memajukan kebudayaan Melayu di manapun dan kapanpun. Selain sebagai sebuah suku bangsa, Melayu adalah sebuah entitas budaya yang mengikat bangsa-bangsa serumpun, bahkan orang-orang yang berjauhan jarak.

(Esai ini pernah dimuat di www.MelayuOnline.com)





Komentar

Postingan Populer