Somba dan Opu

Oleh Empuesa

Dalam bentang jejak sejarah bangsa ini, orang Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi bagian yang cukup sering dibahas. Selain banyak kerajaan yang turut aktif dalam melawan penjajah, di Sulsel juga ditemukan banyak bangunan bersejarah, sebutlah benteng Somba Opu. Menurut catatan sejarah, benteng ini dikerjakan oleh mayoritas tawanan dari Kerajaan Bone dan menjadi bukti sejarah jejak perjuangan Raja Gowa ke-16, Sultan Hasanuddin, dalam melawan Belanda. 

Meskipun saat ini Benteng Somba Opu tampak kurang terpelihara, di mana beberapa temboknya dibiarkan lapuk, namun memori kolektif masyarakat Sulsel selalu diikatkan dengan kegagahan Sultan Hasanuddin mempertahankan benteng ini dari Belanda. Kegagahan ini pula yang juga coba dilekatkan pada kepribadian orang Sulsel. Buktinya, Benteng Somba Opu dijadikan lambang daerah Sulsel dan Universitas Hasanuddin (Unhas) yang diartikan sebagai simbol kepahlawanan rakyat Sulsel dalam menentang penjajah asing.
 
Secara fisik, Benteng Somba Opu dibuat dari batu bata merah padat yang ditumpuk setinggi 7-8 meter. Benteng ini berbentuk empat persegi panjang sepanjang dua kilometer. Dinding bagian barat menghadap Selat Makassar dan dibuat berlapis tiga dengan ketebalan kira-kira 3,6 meter. Jarak antardinding agak lebar, hal ini ditujukan untuk memudahkan para prajurit ketika berbaris. Di bagian pojok benteng, terdapat menara (bastion) yang dibentuk setengah melingkar.

Gowa sebagai Pusat Niaga Laut
 
Menurut sejarah, Benteng Somba Opu dibangun pada masa Raja Gowa ke-9, Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna, pada 1525 Masehi. Raja Gowa ini ingin mengubah orientasi kehidupan kerajaan pada masa itu, yaitu dari agraris menjadi maritim. Hal ini di dorong oleh semangat memanfaatkan maraknya kedatangan para pedagang Melayu, setelah Malaka diduduki Portugis tahun 1511.

Benteng ini sendiri didirikan atas saran dari Portugis. Wajar jika bentuknya mirip dengan benteng-benteng yang ada di Portugis. Portugis juga memberikan ilmu tentang meriam dan hadiah beberapa pucuk meriam. Meriam-meriam ini sekarang ditata di beberapa tempat di sekitar benteng.

Pada masa-masa berikutnya, Gowa terkenal sebagai pusat perdagangan niaga paling ramai di nusantara bagian timur. Kerajaan Gowa menguasai wilayah dari pesisir barat hingga selatan Sulsel. Kondisi ini mengusik persekutuan dagang Belanda (VOC) sehingga berupaya memonopoli pasar rempah-rempah. Namun, oleh Sultan Hasanuddin, keinginan Belanda itu sering digagalkan. Ketika VOC berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku, perdagangan di Benteng Somba Opu tetap berjalan secara diam-diam oleh pedagang Bugis.

Di masa itu, Belanda sangat kesulitan menguasai Benteng Somba Opu karena begitu cerdiknya Sultan Hasanudin dalam menjaga benteng. Belanda pernah menembakkan hampir 30.000 butir peluru meriam dari laut untuk meruntuhkan dinding sisi barat Benteng Somba Opu yang berlapis. Namun, pasukan Kerajaan Gowa dapat bertahan hingga membuat Belanda kewalahan.

Asal-usul Istilah “Somba” dan “Opu’”
 
Jika dicermati lebih mendalam, secara etimologis istilah “somba opu” berasal dari dua kerajaan yang berbeda, yaitu Gowa (Makassar) dan Luwuk (Bugis). “Somba” adalah gelar raja Gowa pertama, yaitu Tumanurunga. “Somba” memiliki banyak arti, antara lain: sembah, dihormati, dan dijunjung tinggi. Dalam bahasa Bugis, “somba” sepadan dengan kata "sompa” yang berarti mahar. “Somba” juga sepadan dengan kata “soppo” yang berarti menjunjung di atas kepala. Dari arti-arti ini, “somba” bisa jadi merujuk pada sesuatu yang dihormati dan diagungkan. Bahkan, ada dugaan kata “sumpah” dalam bahasa Indonesia merupakan saduran dari kata “sompa”.

Sementara itu, kata “opu” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tahun 2003, berarti gelar bagi bangsawan Bugis, lebih tinggi daripada Daeng, tetapi lebih rendah daripada Karaeng. Namun, menurut masyarakat Sulsel, pemaknaan ini perlu direvisi, karena istilah “opu” memiliki sejarah yang panjang. Kata “opu” bukanlah gelar melainkan sapaan yang berarti ayah bagi golongan bangsawan Luwu yang telah berumahtangga dan memiliki keturunan. Kata “opu” juga menjadi sapaan untuk pemimpin sebuah komunitas, seperti ucapan Opunna Ware. “Opu” sepadan dengan kata “puang”, yakni sapaan untuk bangsawan Bugis, juga sepadan dengan sapaan “pong” untuk bangsawan Toraja.

Mencermati arti etimologis kata “somba” dan “opu” di atas, muncul sebuah pertanyaan: Mengapa benteng kebanggan orang Sulsel dinamakan Somba Opu? Dua kata ini diambil dari Gowa dan Luwu, padahal dalam sejarahnya, Benteng Somba Opu dibangun oleh Kerajaan Gowa.

Upaya untuk menyelidiki lebih lanjut pertanyaan di atas penting untuk dilakukan, mengingat makna yang terkandung dalam simbol Benteng Somba Opu dijadikan salah satu identitas orang Sulsel. Hal ini menandakan bahwa semangat Benteng Somba Opu menjadi dasar dalam pembangunan sumber daya manusia Sulsel. Dapat dibayangkan apabila semangat yang diambil tersebut ternyata berasal dari sejarah yang masih kabur.

Terlepas dari itu, satu hal yang juga penting untuk dipikirkan dan dicarikan solusi bersama saat ini adalah upaya pelestarian bangunan Benteng Somba Opu itu sendiri, karena kondisinya sekarang sangat memprihatinkan dan tidak terpelihara dengan baik.

(Opini ini pernah dimuat di www.MelayuOnline.com)

Komentar

Postingan Populer