Pemberdayaan Masyarakat di Pulau Komodo

Oleh Empuesa

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata terus berusaha agar Taman Nasional Komodo (TNK) lolos sebagai salah satu tujuh keajaiban dunia. Jika terwujud, tentu hal ini menjadi suatu kebanggaan. Namun, dalam dunia pariwisata, satu hal yang sering terjadi adalah terkadang kehidupan masyarakat sekitar tempat wisata justru kurang sejahtera.

Beberapa bulan terakhir, Taman Nasional Komodo (TNK) menjadi bahan perbincangan hangat warga dunia. Bukan karena keindahannya, melainkan karena pemerintah RI menuntut Yayasan New7Wonders (N7W) yang akan mengeliminasi TNK sebagai finalis. Upaya ini dianggap sebagai langkah mempertahankan kewibawaan bangsa dan dibalik itu adalah kepentingan devisa Negara melalui wisata.

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan kawasan yang terdiri dari beberapa pulau yang dikelilingi oleh lautan yang indah. Kawasan itu merupakan tempat hidup komodo (varanus komodoensis) yang menjadi salah satu dari sedikit reptil purba yang masih tersisa di bumi. Selain komodo, kawasan ini juga dipenuhi oleh padang savana yang luas dengan pohon lontar (borassus flabellifer) yang merupakan habitat yang disenangi oleh komodo.

TNK terdapat di ujung barat Nusa Tenggara Timur (NTT), di antara Pulau Sumbawa dan Pulau Flores. Kawasan ini terletak di dalam wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Situs Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menyebutkan bahwa TNK memiliki sejarah yang menarik. Tahun 1911, komodo pertamakali ditemukan oleh JKH van Steyn, yang kemudian diberi nama varanus komodoensis oleh PA Owens. Setahun kemudian, Kesultanan Bima mengeluarkan surat keputusan untuk melindungi komodo, lalu oleh Residen Flores dikeluarkan keputusan tentang pembentukan Suaka Margasatwa Pulau Rinca, Pulau Padar, disusul penetapan Suaka Margasatwa Pulau Komodo pada 1965.

Tahun 1991, UNESCO menetapkan TNK sebagai Warisan Dunia (World Heritage Site) dan tahun 1992, komodo dijadikan simbol nasional. Dengan melihat realitas TNK yang istimewa ini, pada tahun 2006, TNK menjadi salah satu dari 20 taman nasional model di Indonesia dan ditindaklanjuti oleh pemerintah untuk didaftarkan agar menjadi salah satu dari tujuh keajaiban di dunia.

Pada perkembangan selanjutnya, hal tersebut ternyata justru berbuah tuntutan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Hal ini dikarenakan oleh keinginan Yayasan New7Wonders (N7W) yang meminta Indonesia untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan acara tersebut dan untuk itu, Indonesia harus membeli license fee sebesar USD10 juta yang tentu saja ditolak oleh pihak RI.

Fokus pada Pemberdayaan Masyarakat
 
Bagi Indonesia, pengakuan TNK sebagai N7W adalah sebuah kebanggaan sekaligus keistimewaan. Akan tetapi, pengakuan akan hanya menyisakan sebuah masalah baru jika masyarakat sekitar TNK tidak merasakan peningkatan ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik.

Pemerintah mengharapkan pengakuan ini nantinya akan berbanding lurus dengan tingkat kunjungan wisatawan ke Indonesia, khususnya ke NTT. Ketika TNK terkenal, maka tentunya akan banyak turis yang datang dan devisa negara tentunya juga akan meningkat. Namun demikian, pertanyaan yang masih mengganjal adalah, jika bagi citra Indonesia pengakuan akan berefek pada banyak hal, lalu apakah akibat yang sama akan diterima masyarakat Indonesia, khususnya penduduk sekitar TNK?

Masyarakat sekitar memang mendapat penghasilan tambahan, misalnya dengan penjualan souvenir, membuka tempat penginapan, warung makan, atau menjadi pemandu wisata. Namun, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh para pemilik hotel atau pemilik modal lebih besar.

Selain masalah penghasilan yang tidak adil, masalah lainnya yang sering muncul adalah masih adanya pengerusakan TNK karena ulah oknum yang tidak bertanggungjawab, seperti perburuan, membuang sampah sembarangan, atau para pemandu wisata yang memanfaatkan turis untuk meminta ongkos seenaknya atau memahalkan harga barang semaunya.

Seperti diberitakan oleh banyak media, hingga sekarang selain masalah air bersih dan kesejahteraan ekonomi, NTT masih didera dengan masalah fasilitas dan kualitas pendidikan yang masih rendah. NTT dengan sumber daya alamnya sebenarnya dapat dijadikan sarana yang potensial bagi pemerintah untuk memberdayakan masyarakatnya. Namun, di era globalisasi ini, tampaknya pemerintah kalah dengan pihak investor. Pariwisata yang identik dengan investasi selalu saja menjadi lahan empuk bagi pemodal. Akibatnya, pencemaran dan keimiskinan tidak dilihat sebagai masalah yang cukup serius untuk segera ditangani.

Dengan mencermati masalah yang ada, satu hal yang penting untuk disadari adalah bahwa dalam pengembangan sebuah kawasan wisata tidak akan lancar jika masyarakat sekitar tidak sadar wisata. Dalam konteks ini, pertanyaan yang penting untuk diajukan ke pemerintah adalah bukankah seharusnya pemberdayaan masyarakat sekitar lebih didahulukan?

Pemberdayaan yang dimaksud adalah meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, masyarakat sekitar akan sadar dengan sendirinya menjaga TNK. Terlepas apakah TNK masuk N7W atau tidak, masyarakat akan memperlakukan lingkungan dan melayani turis dengan sebaik-baiknya.

(Kolom ini pernah dimuat di www.WisataMelayu.com)





Komentar

Postingan Populer