Garing dan Penamban

Oleh Empuesa

Garing dan penamban adalah istilah orang Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel), untuk menyebut sakit dan juru penyembuh tradisional mereka. 

1. Asal-usul

Suku Banjar merupakan suku terbesar di Kalsel. Suku ini terdiri dari tiga sub-etnis yang berbeda, yaitu Pahuluan, Batang Banyu, dan Kuala, ketiganya disebut dengan orang Banua (Sam’ani dkk., 2005; Depdikbud, 1985/1986; Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2010). Dalam kehidupannya, orang Banua memiliki pengetahuan yang unik terhadap sakit dan penyembuhnya, untuk keduanya mereka biasa menyebutnya garing dan penamban (Yustan Azidin dkk., 1990).

Garing dan penamban adalah istilah orang Banua untuk menyebut sakit dan penyembuh tradisional mereka. Istilah garing dalam bahasa Banjar berarti orang tersebut harus berhenti bekerja. Hal ini didasarkan pada kondisi tubuh ketika seseorang sakit yang dianggap sebagai kode agar ia beristirahat untuk sementara. Sementara itu, istilah penamban merujuk pada kata tamban yang dalam bahasa Banjar berarti penyembuh (Azidin dkk., 1990).

Pengetahuan tentang garing dan penamban merupakan ajaran leluhur orang Banjar. Umumnya, mereka menggunakan ramuan obat-obatan tradisional yang biasanya berasal dari daun-daunan, akar, atau kulit pohon. Leluhur Banua yang akrab dengan alam menjadikan mereka memanfaatkan alam sebagai obat dan menghasilkan pengetahuan tentang obat (Sam’ani dkk., 2005; Azidin dkk., 1990).

Dalam pengetahuan orang Banua, garing terbagi menjadi dua, yaitu garing yang nyata dan yang tidak nyata. Garing nyata adalah garing yang jelas terasa di mana letak sakitnya, sedangkan garing yang tidak nyata adalah sebaliknya, yakni garing yang tidak jelas di mana letak sakitnya. Garing nyata misalnya batuk, pilek, sariawan, atau pusing. Namun, kalau garing karena terkena gangguan makhluk halus, misalnya, itu salah satu contoh garing yang tidak nyata. Oleh karena itu, sebutan untuk penamban garing pun berbeda-beda (Azidin dkk., 1990).

Orang Banua membedakan orang-orang yang berprofesi sebagai penamban. Misalnya mereka menyebut bidan kampung untuk penamban yang membantu kelahiran dan menyembuhkan bayi yang sakit. Tukang urut adalah penamban untuk sakit fisik seperti kecapekan. Istilah penambaan untuk orang yang menyembuhkan sakit tersebab roh jahat. Terakhir adalah mualim, yaitu sebutan bagi penamban untuk sakit akibat roh jahat tetapi ia biasanya seorang tokoh agama (Azidin dkk., 1990; Sam’ani dkk., 2005).

Klasifikasi ini bukan hanya sekadar agar berbeda, lebih daripada itu adalah untuk memberi penghargaan dan penghormatan kepada orang yang berprofesi penamban. Kearifan lokal ini merupakan cermin bagaimana orang Banua sangat menghargai kesehatan dan Tuhan sebagai pemberi kesehatan itu. Agama menjadi pemandu mereka dalam menyikapi berbagai masalah kesehatan yang mereka alami (Azidin dkk., 1990; Tim Haeda, 2009; Alfani Daud, 1997).

2. Konsep Garing dan Penamban 

Menurut orang Banua, sakit adalah semacam gangguan terhadap pikiran dan fisik manusia, sehingga ia tidak dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik. Dengan kata lain, sakit adalah gangguan yang menyerang manusia, baik secara lahir dan batin.

Dengan dasar di atas, sakit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sakit yang bersifat nyata (rasional, ringan) dan sakit yang bersifat tidak nyata (irrasional, berat). Sakit yang nyata adalah penyakit yang dapat dilihat dan dirasakan dengan jelas sehingga mudah untuk diobati. Sedangkan sakit yang tidak nyata adalah penyakit yang sulit untuk ditemukan penyebabnya. Orang yang sakit juga tidak dapat menyebutkan bagian mana yang terasa sakit karena yang merasakan sakit adalah fisik dan psikisnya, baik secara sadar maupun tidak.

Dalam pengetahuan orang Banua, sakit yang tidak nyata dianggap lebih berbahaya daripada sakit yang nyata, karena sulitnya untuk diobati. Sakit yang tidak nyata antara lain garing panas (sakit ingatan), garing pulasit (kemasukan roh jahat), sakit kuning, dan kapidaran (penyakit yang menyerang anak-anak). Jika seseorang terkena jenis penyakit ini, maka dianggap teguran dari leluhur atau telah melanggar pantangan adat. Untuk menyembuhkannya, orang yang sakit harus dibawa ke penyembuh tradisional atau penamban.

Sakit yang tidak nyata secara umum disebabkan oleh makhluk halus yang jahat, karena orang tersebut melanggat aturan adat. Namun, orang Banua memiliki penangkal agar tidak dirasuki makhluk halus yang jahat tersebut. Misalnya, jika ada orang yang meninggal dunia di sekitar rumah seorang warga, maka baik keluarga atau orang lain di rumah warga tersebut harus diberi penangkal berupa coretan menggunakan kapur sirih di telinga mereka. Tujuannya agar roh orang yang meninggal tidak menegurnya, karena itu akan mengakibatkan sakit.

Jika ada orang yang meninggal dunia dimandikan dengan beralaskan gadang pisang (batang pisang yang dipotong dan dikupas), maka gadang pisang tersebut harus dihanyutkan ke sungai agar rohnya tidak menggangu orang yang masih hidup. Bagi orang yang melihat gadang pisang tersebut terhanyut di sungai, maka ia diminta untuk berdoa agar tidak ditegur oleh arwah yang meninggal.

Sehubungan dengan penyembuhnya, orang Banua memiliki pengetahuan yang unik. Menurut mereka, seorang penyembuh memiliki sebutan yang berbeda-beda meskipun memiliki profesi yang hampir sama. Sebutan-sebutan tersebut adalah:
  • Penyembuh yang membantu perempuan saat melahirkan, haid tidak lancar, menindik kuping bayi, mengobati bayi sakit, dan terkadang menjadi tukang sunat perempuan disebut dengan bidan kampung. Atas jasanya, keluarga yang melahirkan biasanya akan menggelar upacara adat bapalas bidan dan bapalas darah. Tujuannya sebagai doa agar tidak ada lagi darah yang tumpah di keluarga tersebut, misalnya akibat konflik keluarga atau kecelakaan. Seorang bidan kampung biasanya akan diberi segantang beras, sebilah jarum, sebiji benang, kelapa, perlengkapan kapur sirih, dan seekor ayam serta saat hari lebaran diberikan zakat fitrah. Keahlian bidan kampung diperoleh dari keturunan. Namun, ada juga yang mendapatkannya dari ilham. Bidan kampung hanya boleh dijabat oleh seorang perempuan karena ia berurusan dengan masalah-masalah perempuan.
  • Penyembuh yang menyembuhkan orang yang sakit fisik seperti keseleo, salah urat, atau kecapekan, disebut dengan tukang urut. Tukang urut boleh dijabat oleh laki-laki dan perempuan setelah mereka berumur 40 tahun. Hal ini untuk meminimalisir dorongan seksual ketika mengurut pasien. Namun, dalam kebudayaan Banua dikenal sebuah cara apakah seorang tukang urut bernafsu mengurut melalui mimpi. Jika dalam mimpi ia tidak bernafsu, maka ia dibolehkan mengurut lawan jenis. Tukang urut biasanya memiliki ramuan minyak tersendiri yang sudah dimantrai. Dari manjurnya minyak mereka inilah yang membuat nama mereka terkenal dan dianggap memiliki kelebihan.
  • Penyembuh yang membantu menyembuhkan orang sakit yang disebabkan oleh roh jahat disebut sebagai penamban atau tukang tamba. Penamban menyembuhkan dengan cara-cara dengan syarat-syarat tertentu. Penamban tidak pernah mempromosikan dirinya bahwa ia adalah seorang penamban. Penamban yang mempromosikan diri disebut dukun dengan konotasi yang negatif. Penamban lebih merupakan profesi sosial. Ia juga tidak meminta imbalan, tetapi jika diberi akan diterima. Keahlian penamban umumnya diperoleh dari keturunan atau belajar. Salah satunya terkadang ada seseorang yang ingin melakukan tulak madam (bepergian jauh), lalu agar dirinya dapat mengobati penyakitnya sendiri dan berjaga-jaga, ia belajar ilmu tamban. Dari situlah ia lama-lama menjadi penamban dan memiliki kelebihan.
  • Penyembuh yang membantu menyembuhkan orang sakit dengan cara-acara agama Islam disebut dengan mualim atau tuan guru. Mualim atau tuan guru sebenarnya adalah seorang yang memiliki pemahaman ilmu agama yang luas. Ia hanyalah penganjur agama dan karena itu ia disegani oleh masyarakat. Begitu terhormatnya, terkadang mualim dimintai doanya untuk membantu menyelesaikan masalah atau menyembuhkan sakit. Dari sinilah mualim lama-kelamaan menjadi penamban. Obat dari mualim biasanya berupa doa-doa. Keahlian mengobati mualim ini didapatkan dari mengkaji kitab suci atau berguru kepada mualim lainnya. Seorang mualim dianggap lebih tinggi ilmunya daripada penamban yang lain. Meskipun demikian, hampir semua penyembuh tradisional dianggap memiliki kelebihan daripada manusia umumnya.
3. Pengaruh Sosial 

Pengetahuan masyarakat Banua tentang garing dan penamban tampak berpengaruh pada beberapa hal dalam kehidupan mereka, antara lain:
  • Sikap sederhana. Pengetahuan tentang garing dan penamban yang terlihat sederhana berpengaruh terhadap pola hidup masyarakat yang sederhana pula. Secara psikologis, mereka akan beristirahat jika merasa sakit. Namun, mereka tidak gampang menyerah pada kondisi tubuh untuk tetap bekerja.
  • Menguatnya iman kepada Tuhan. Keyakinan bahwa semua penyakit pasti ada obatnya dan pasti akan disembuhkan oleh Tuhan, menjadikan masyarakat Banua semakin bertambah imannya. Sugesti keimanan yang semakin kuat, menjadi obat tersendiri bagi kesembuhan sakit yang diderita, selain juga ditambah dengan obat dari penamban.
  • Kedekatan pada alam. Kepercayaan masyarakat Banua terhadap ramuan obat-obatan tradisional pada umumnya berasal dari alam. Alam telah menyediakan obat bagi kesembuhan penyakit. Secara sosial, hal ini dapat memperkuat identitas sosial mereka sebagai suku Melayu yang memiliki keluhuran tradisi budaya.
  • Pelestarian tradisi leluhur. Pengetahuan tentang garing dan penamban adalah ajaran leluhur yang bermanfaat. Oleh karena itu, ketika mereka tetap mempraktekkan pengetahuan ini, maka secara tidak langsung merupakan upaya untuk melestarikan tradisi leluhur.
4. Penutup 

Konsep sakit dan penyembuh tradisional orang Banua terasa penting untuk kembali diajarkan. Kearifan lokal yang ada dalam pengetahuan ini akan membantu meringankan mereka jika terkena sakit karena dilakukan dengan cara tradisional yang dipercaya lebih mujarab dan terjangkau.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Alfani Daud, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press.
  • Tim Haeda, 2009. Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius. Banjarmasin: Lekstur.
  • Sam’ani dkk., 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Kalimantan Selatan: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.
  • Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2010. Menahapi Kebudayaan Banjar, “Gasan Sasangga Banua”, dalam Kongres Kebudayaan Banjar II, Tanggal 4-7 April 2010. Kalimantan Selatan: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.
  • Yustan Azidin dkk., 1990. Pengobatan Tradisional Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional.

Komentar

Postingan Populer