Janur, Simbol Kebhinekaan

Oleh Empuesa

Pada peringatan Serangan Oemoem 1 Maret beberapa waktu yang lalu, Yogyakarta terasa meriah dan bersemangat. Pasalnya, Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta sedang menggelar lomba merangkai janur. Di sepanjang jalan Malioboro, beragam janur tampak indah menghiasi jalanan. Dalam riuhnya orang yang berwisata di Malioboro saat itu, janur saya lihat tidak hanya menjadi simbol semangat pahlawan, melainkan juga simbol kebhinekaan.

Pada banyak daerah di nusantara, janur dikenal sebagai alat kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan tanaman penghasil janur tumbuh subur di tanah pertiwi ini. Kebudayaan agraris dan maritim dalam masyarakat Indonesia, banyak yang memanfaatkan janur untuk berbagai hal. Sebutlah suku Jawa, Sunda, Bali, Melayu, Aceh, Tionghoa, atau Arab misalnya, mereka memanfaatkan telah janur untuk berbagai fungsi. Dari mulai hanya sekedar penghias sampai urusan kuliner. Inilah mengapa janur disebut-sebut sebagai simbol kebhinekaan.

Dalam tradisi Jawa, janur diolah menjadi beragam bentuk dan fungsi. Perkawinan adat Jawa misalnya, janur biasa dirangkai menjadi kembar mayang yang dipasang di pelaminan. Kembar mayang merupakan simbol penyatuan dua insan yang berbeda. Warna kuning keputihan pada janur diharapkan menjadi doa agar begitu juga cinta dan kasih sayang mereka. Cinta yang selalu muda terus laksana janur.

Selain itu, di Jawa, janur juga biasa dibentuk seperti bokor dan umbul-umbul yang dipasang di pinggir jalan atau gang masuk rumah seseorang yang sedang menggelar resepsi pernikahan. Dari sini muncul anggapan di masyarakat Jawa, bahwa jika ada umbul-umbul janur, maka pasti ada warga yang menggelar pernikahan. Anggapan yang sama juga terjadi jika ada mobil yang di kaca spionnya terikat janur. Wooo, mobil manten itu. Gumam orang Jawa umumnya.

Senada dengan itu, di zaman modern ini, umbul-umbul janur juga di pasang di gedung-gedung yang sedang menggelar resepsi pernikahan. Dalam konteks di atas, janur dianggap masyarakat Jawa sebagai simbol kebahagiaan.

Tradisi masyarakat Bali juga mengenal janur. Umumnya janur mereka jadikan sebagai hiasan dengan beragam bentuk. Misalnya, umbul-umbul yang selalu mereka gunakan sebagai penghias (syarat) dalam setiap upacara adat. Janur lazimnya mereka ikat pada sebuah bambu panjang lalu dipasang di gerbang atau tepi jalan, orang Bali menyebutnya penjor. Pada momen-momen tertentu, janur menjadi alat upacara yang disakralkan, misalnya sebagai tempat untuk sesaji.

Demikian halnya dalam kebudayaan Sunda. Selain sebagai salah satu prasyarat upacara adat, janur juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan anyaman, seperti tempat tutup nasi, ketupat, atau hiasan untuk pernikahan. Menurut orang Sunda, janur dapat membuat makanan lebih enak dan tahan lama.

Sedemikian beragamnya kepercayaan dan penggunaan janur di masyarakat nusantara, dapatlah dimaklumi jika pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta, para pejuang menggunakan janur sebagai simbol semangat. Para pejuang itu tampaknya mengambil simbol kesakralan dan kebahagiaan pada janur untuk memandu mereka dalam berjuang mempertahankan martabat bangsa dan negara.

Janur dan Semangat Pluralisme
Serangan Oemoem 1 Maret 1949 merupakan peristiwa sejarah yang penting untuk diingat, dengan harapan agar semangat perjuangan itu tetap dimiliki oleh generasi muda sekarang. Melalui gelar lomba merangkai janur, semangat perjuangan itu kembali digelorakan. Namun, di balik lomba tersebut, satu hal yang tampaknya ingin dibidik adalah mengajak masyarakat untuk memiliki semangat pluralisme, karena dalam kehidupan nyata, janur dibudayakan oleh banyak suku bangsa di negeri ini.

Membudayakan janur dalam hal ini bukan berarti hanya memanfaatkan janur sebagai alat kehidupan sehari-sehari, seperti membuat ketupat atau umbul-umbul belaka. Lebih dari itu, ketika janur dalam sejarahnya digunakan oleh banyak suku bangsa di nusantara, maka membudayakan janur sama halnya dengan menggelorakan semangat persatuan dan menghargai keberagaman.

Yogyakarta sebagai daerah lintas etnis sangat rentan akan gesekan yang menjurus pada konflik sosial. Oleh karena itu, upaya menggelorakan kembali semangat persatuan dan kebhinekaan melalui janur adalah sebuah langkah tepat. Tepat karena janur adalah simbol budaya yang cair dan digunakan oleh banyak suku bangsa dan agama.

Dengan lomba ini, masyarakat diingatkan kembali bahwa dalam setiap perbedaan pasti ada kesamaan. Berbagai tindakan kekerasan atas nama kelompok yang kerap terjadi akhir-akhir ini, hendaknya menjadi pelajaran bersama dan masalah serius yang harus segera ditangani. Hal ini dikarenakan masalah tersebut akan merusak tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang telah lama menghargai perbedaan.

Dalam konteks ini, melalui janur masyarakat diingatkan bahwa perbedaan akan selalu ada dalam kehidupan ini. Perbedaan adalah keniscayaan hidup. Dengan demikian, memaksakan kehendak kepada orang (apalagi dengan kekerasan) yang berbeda adalah melawan keniscayaan hidup itu sendiri.

(Esai ini pernah dimuat di www.jogjatrip.com)

Komentar

Postingan Populer