Mencari Jodoh dalam Tradisi Minang

OlehEmpuesa

Tradisi mencarikan jodoh cukup dikenal dalam budaya orang Minangkabau. Mamak, orangtua perempuan Minang, biasanya akan mencari informasi tentang keluarga siapa yang kiranya mempunyai anak laki-laki atau perempuan yang cocok menjadi teman hidup anaknya. Tradisi ini disebut manalongkai.

Erni Esde dan kawan-kawan, dalam penelitiannya yang diterbitkan dalam buku Ampe Banta (2007) menuturkan, dahulu, umumnya seorang gadis atau perjaka di Minang akan dicarikan jodoh oleh mamaknya dan umumnya mereka akan menerimanya, meskipun sebelumnya tidak saling mengenal. Bahkan, hal yang sering terjadi, kedua calon pengantin baru pertama bertemu ketika sudah di pelaminan.

Pencarian jodoh bagi gadis dan perjaka Minang dilakukan ketika sang mamak melihat anaknya sudah siap untuk berumah-tangga. Mamak biasanya merasa resah apabila pada masa ini anaknya belum mendapat jodoh. Pada saat itulah, sang Mamak akan melakukan manalongkai.

Tradisi ini hingga sekarang masih dilakukan, khususnya pada keluarga-keluarga tertentu, baik di pedesaan maupun perkotaan di Minangkabau. Di sisi lain, ada pula keluarga Minang yang menolaknya karena dianggap sudah bukan zamannya lagi menjodohkan anak.

Manalongkai dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama sengaja meluangkan waktu khusus, yakni dengan mengutus seseorang untuk menanyakan kepada keluarga yang bersangkutan. Kedua dengan tanpa sengaja atau sambil lalu, misalnya ketika mencuci di tepian sungai, bertandang ke tetangga, duduk di warung saat waktu senggang, atau berbincang-bincang saat sore menunggu Maghrib.

Sebenarnya, mamak tidak begitu saja menanyakan kepada tetangga atau siapapun, apakah ada gadis atau perjaka yang siap menikah. Akan tetapi, sebelumnya memang sudah terdengar desus-desus atau informasi yang menyebutkan bahwa ada keluarga yang mempunyai anak gadis atau perjaka yang perangainya baik, taat ibadah, rajin, dan sebagainya. Mamak biasanya akan mengutus orang untuk mengunjungi salah seorang keluarga gadis atau perjaka itu. Hal ini berhubungan dengan etika orang Minang yang menjaga agar tidak langsung terdengar orangtua si gadis atau perjaka yang hendak dipinang.

Tujuan utusan ini untuk memperjelas apakah informasi yang ada itu benar adanya. Lazimnya, jawaban tidak akan diberikan langsung. Keluarga yang ditanya terlebih dulu akan bertanya langsung kepada sang gadis atau perjaka bersangkutan. Selang beberapa hari, jawaban baru akan diterima. Jika berita tersebut benar, maka keluarga pencari jodoh akan melakukan etongan dibao naiak atau salingkuang dindiang. Artinya, kabar gembira ini akan disampaikan kepada keluarga kecil saja. Tujuannya untuk mencari kesepakatan di tingkat keluarga terkecil dulu.

Setelah ada kata sepakat, barulah diberitahukan kepada mamak yang mencari jodoh bahwa sudah ada jodoh bagi anak kemenakan kita dari keluarga si Anu dan berasal dari suku Anu. Pemberitahuan ini mereka sebut dengan etongan dibao ka mamak atau manduduakan niniak mamak.

Setelah mamak setuju, selanjutnya akan dilakukan proses manapiak bandua, yaitu pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pihak gadis. Tujuannya untuk memperlihatkan muka yang jernih dan hati yang suci sebagai simbol adanya keinginan untuk menjalin hubungan perkawinan. Jadi, meskipun yang dicarikan jodoh adalah anak gadis, maka tetap saja yang melamar adalah laki-laki.

Nilai Luhur Manalongkai
 
Sebagian orang menganggap tradisi manalongkai tidak cocok lagi untuk dipraktekkan di zaman modern ini. Sekarang pun, para gadis dan perjaka di Minangkabau sudah banyak yang enggan dijodohkan.

Terlepas dari pro kontra yang ada, manalongkai sebagai sebuah tradisi memiliki nilai luhur yang sebenarnya masih relevan untuk zaman sekarang. Beberapa nilai luhur yang dapat dipelajari dari tradisi manalongkai ini adalah sebagai berikut:
  • Nilai sopan santun. Nilai ini tercermin dari upaya keluarga yang mencari jodoh mengutus seseorang untuk terlebih dahulu menanyakan kepada keluarga gadis atau perjaka, apakah berita yang beredar benar adanya. Dalam tradisi Minang, prosesi ini dianggap lebih sopan dalam konteks pergaulan sosial.
  • Nilai kekeluargaan. Nilai ini tercermin dalam pemakaian istilah kemenakan untuk pemberitahuan bahwa keluarga sudah cocok. Istilah kemenakan digunakan sebagai simbol bahwa antarkeluarga seakan sudah menjadi keluarga. Mereka sudah dekat, karena itu harus dibangun keakraban dan mereka akan jadi satu keluarga.
  • Nilai usaha meminimalkan risiko. Nilai ini tercemin dari diperjelasnya identitas keluarga dan suku sang gadis atau perjaka yang siap menikah tersebut berasal. Hal ini ditujukan agar mamak yang mencarikan jodoh anaknya paham asal-usul calon menantunya.
Manalongkai adalah tradisi leluhur orang Minang yang saat ini hampir punah. Mengingat nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya, sudah selayaknya tradisi ini digelorakan lagi.

(Opini ini pernah dimuat di www.MelayuOnline.com)

Komentar

Postingan Populer