Hutang Bela

Oleh Empuesa

Budi pekerti orangtua terhadap anak adalah kewajiban yang harus dilakukan orangtua terhadap anaknya agar anak dapat tumbuh kembang dengan baik sesuai tradisi Melayu.
 
1. Asal-usul

Suku bangsa Melayu adalah suku bangsa dengan tradisi pendidikan keluarga yang kuat (Tenas Effendy, 2006; Koentjaranigrat, 1970). Semua pendidikan itu ditujukan untuk membentuk budi pekerti yang luhur, karena dengan itulah kehidupan manusia Melayu akan bermanfaat bagi manusia lainnya. Salah satu ajaran budi pekerti Melayu yang penting untuk dipelajari adalah budi pekerti orangtua terhadap anak (Budi S. Santoso, 1986).

Leluhur Melayu ternyata tidak hanya mementingkan apa yang harus ditaati anak kepada orangtuanya saja. Lebih daripada itu, orangtua pun ternyata harus memiliki budi pekerti kepada anaknya. Budi pekerti orangtua terhadap anak adalah seperangkat kewajiban yang harus dilakukan orangtua terhadap anaknya agar anak dapat berkembang dengan baik sesuai tradisi Melayu (Made Purna dkk., 1993; Santoso, 1986).

Perhatian, kasih sayang, pemberian kebebasan kepada anak, serta pendidikan yang baik, merupakan beberapa budi pekerti yang harus dimiliki para orangtua Melayu kepada anaknya. Budi pekerti ini bersifat wajib karena orangtua tidak boleh lepas tangan dari perkembangan dan pertumbuhan anaknya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Orang Melayu menganggap budi pekerti orangtua terhadap anak ini sebagai utang orangtua pada anak (Purna dkk., 1993; Effendy, 2006).

Orangtua Melayu mengenal istilah anak pinak dan anak tebuang. Anak pinak berarti anak yang disempurnakan peliharaannya oleh orangtua, keluarga, dan masyarakatnya. Sedangkan anak tebuang berarti anak yang terlantar dan disia-siakan. Kalau nasibnya baik akan menjadi orang, namun sebaliknya kalau tidak maka hidupnya akan gagal (Purna dkk., 1993).

2. Konsep Budi Pekerti Orangtua pada Anak 

Menurut tradisi Melayu, ada empat jenis hutang (budi pekerti) yang harus dibayar orangtua kepada anaknya, yaitu:
  • Hutang bela dengan pelihara, yakni kewajiban dan tanggung jawab orangtua agar menyempurnakan pemeliharaan anak supaya kuat dan sehat, baik jasmani maupun rohani. Untuk mencapai tujuan ini, biasanya orangtua berpedoman pada ungkapan Melayu:
Disempurnakan bekal dengan patutnya, disempurnakan syarat dengan adatnya
Disempurnakan bungkus dengan isinya, diselimuti dengan kasih sayang
Dipayung dengan budi pekerti, dicambuk dengan petuah amanah
Supaya ke bawah ia berakar, supaya ke atas ia berpucuk
Supaya di tengah ia berbatang, supaya mengelak azab dunia, supaya menjauh siksa neraka.
  • Hutang tunjuk dengan ajar, yakni kewajiban serta tanggung jawab orangtua agar menyempurnakan pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat supaya anak menjadi manusia cerdas dan berpengetahuan luas. Orangtua biasanya akan berpegang pada ungkapan Melayu:
Telakkan parang ke dalam sena, bila buluh taruhlah tamu
Barang kerja takkan sempurna, bila tidak menaruh ilmu
Ungkapan di atas diperkuat dengan ungkapan berikut ini:
Diajarkan segala yang patut, ditunjukkan segala yang benar
Kalau duduk berguru, kalau tegak suruh bertanya
Disingkapkan tabir akalnya, dibukakan pintu ilmunya
Bentangkan alam luasnya, telinga diasah dengan amanah
Mata dipasak dengan karenah, melihat disumbat dengan petuah
  • Hutang tuang dengan isi, yakni kewajiban dan tanggungjawab orangtua kepada anak untuk menyempurnakan, mengisi, dan menuangkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama, adat-istiadat, serta norma-norma sosial lainnya yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, diharapkan akan-anak dapat menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur tersebut. Anak tidak boleh sombong meskipun sudah memiliki pengetahuan yang luas. Hal ini sesuai dengan ungkapan Melayu berikut ini:
Kemumu di dalam semak, jatuh melayang seloranya
Meski ilmu setinggi tegak, tidak sembahyang apa gunanya
Asam kandis asam gelugur, ketiga asam riang-riang
Menangis di pintu lembur, teringat badan tidak sembahyang
Kemumu di tengah pecan, diembus angin jatuh ke bawah
Ilmu yang tidak diamalkan, bagai pohon tidak berubah  
Ungkapan di atas diperkuat juga dengan pantun Melayu lainnya:

Hati dipahat dengan iman, dada dituang dengan tembaga
Diisi lurus dengan benar, dituang berani dengan benar
Ditegakkan tiang budinya, dikokohkan tiang anaknya
Dikuatkan tiang amanahnya, didirikan tiang rumahnya
  • Hutang bekal dengan pakaian, yakni kewajiban dan tanggung jawab orangtua agar mempersiapkan, menyediakan, dan menyempurnakan seluruh keperluan hidup anak, baik lahir maupun batin. Mulai dari dalam kandungan, kedua bekal ini harus diberikan secara seimbang. Kewajiban ini sesuai dengan ungkapan Melayu:
Pohon cempedak pohon pedada, buah peria dalam dulang
Duduklah hendak mengada-ada, membuat daya kepada orang
Sorong penyengat di muka pintu, lada dicotok burung kedidi
Ingat-ingat orang begitu, tanda kerjanya tak jadi
Halminda raja perkasa, cucu kepada Bima sakti
Sembarang kerja hendak periksa, supaya tidak sesal di hati
Ungkapan di atas diperkuat dengan ungkapan berikut ini:
Bekal ilmu mencerdikkannya, bekal iman menyelamatkannya
Pakaian hidup berkepanjangan, pakaian mati berkekalan
Bekal yang tak habis dimakan, pakaain yang tak lusuh dipelesah
Selain empat kewajiban orangtua di atas, terdapat tujuh sikap yang diwajibkan agama dan adat jika orangtua ingin anaknya tumbuh dan berkembang dengan baik, yaitu:
  • Kasih karena anak, sayang karena amanah. Artinya, anak dikasihi karena darah dagingnya dan disayangi karena amanah Tuhan
  • Minat beserta cermat. Artinya, orangtua harus mengikuti pertumbuhan dan perkembangan anak
  • Keras dalam lunak. Artinya, orangtua bersikap disiplin dalam mendidik dan mengajar anak tetapi tidak memaksakannya
  • Diberi bergelanggang. Artinya, anak diberi kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan pilihannya
  • Sesuai bahan dengan buatnya. Artinya, memperhatikan bakat anak dan tidak memaksakan kehendak
  • Muak disimpan, segar ditelan. Artinya, orangtua tidak boleh cepat berputus asa dalam mendidik dan mengajar anak
  • Sampaikan sukat dengan takarnya. Artinya, orangtua tidak boleh cepat puas dengan kasih sayang yang telah dicapai anaknya, namun harus tetap berkelanjutan.
3. Nilai-nilai 

Pengetahuan orang Melayu tentang budi pekerti orangtua terhadap anak ini mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan orang Melayu, antara lain:
  • Harmoni keluarga. Ajaran budi pekerti orangtua terhadap anak ini tentu saja semakian memupuk dan meningkatkan kedekatan di keluarga. Hubungan yang terjalin dengan baik antara anak dan orangtua tentu saja akan membuat suasana keluarga semakin harmonis.
  • Melestarikan tradisi. Ajaran budi pekerti ini adalah tradisi leluhur Melayu yang penting untuk dijaga. Dengan demikian, ajaran ini penting untuk diaplikasikan sebagai upaya pelestarian tradisi.
  • Menghargai anak. Ajaran budi pekerti orangtua ini tentu saja menjadi bukti bahwa adat Melayu begitu luhur menghargai anak. Anak bagi orangtua adalah darah daging sekaligus amanah yang harus dijaga dan menjaganya adalah bukti menghargainya.
  • Menata masa depan anak. Ajaran budi pekerti ini juga mengandung nilai menata masa depan anak. Dengan perhatian, kasih sayang, dan pendidikan orangtua yang baik, maka masa depan anak menjadi tertata. Ilmu menjadi bekal mereka untuk masa depan dan itu dimulai dari didikan orangtua.
  • Menghormati dan menghargai ilmu. Satu poin penting dari ajaran budi pekerti ini adalah bagaimana berharganya ilmu. Dengan ilmu yang luas, anak dapat hidup lebih baik, karena ilmu adalah kunci hidup.
  • Nilai kesusastraan. Nilai ini tercermin dari ajaran ini yang semuanya didasarkan pada ungkapan pantun Melayu. Dari sini terlihat kenapa kesusastraan Melayu hingga kini tetap menjadi identitas budaya, yakni karena hampir di semua perilaku orang Melayu ditabalkan dalam bentuk pantun.
4. Penutup 

Ajaran budi pekerti Melayu bagi orangtua terhadap anaknya mencerminkan begitu pentingnya anak bagi keluarga, orangtua, dan masyarakat. Anak yang baik akan mengharumkan nama orangtua dan keluarga dan itu akan berefek juga pada kehidupan masyarakat, kelak ketika anak tersebut dewasa.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Budi S. Santoso, 1986. Masyarakat Melayu dan Kebudayaannya. Riau: Pemda.
  • Koentjaranigrat, 1970. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Djakarta: Djambatan.
  • Made Purna dkk, 1993. Nilai Budi Pekerti dalam Pantun Melayu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
  • Tenas Effendy, 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Komentar

Postingan Populer