Hari Baik dan Buruk

Hari baik dan hari buruk dalam pengetahuan orang Dayak Kadori di Kalimantan Tengah berarti waktu-waktu yang tepat dan tidak tepat beraktivitas, misalnya berladang atau aktivitas keseharian lainnya. 

1. Asal-usul 

Dayak Kadori adalah salah satu sub suku Dayak yang termasuk dalam Dayak Ot Danum atau Dayak Dohoi. Mereka kebanyakan hidup menetap di sekitar Sungai Paroi di pedalaman hutan Kalimantan Tengah (Kalteng). Mata pencaharian mayoritas mereka adalah berladang. Namun, pada sekitar tahun 1970-an, disebabkan karena banyaknya aktivitas HPH (Hak pengusahaan Hutan), mereka terusir dari tanah leluhurnya sehingga sulit lagi berladang menetap (Kartika Rini, 2005; J.J Kusni, 2001).

Dalam berladang, orang Dayak Kadori memiliki tradisi yang unik, yakni mereka memiliki pengetahuan tentang hari baik dan buruk untuk berladang. Pengetahuan dari leluhur ini hingga kini masih dipertahankan, meskipun mereka harus mencari tanah ladang yang jauh dari tanah leluhurnya. Istilah mereka tempun petak nana sare yang berarti penduduk asli yang mempunyai tanah tetapi harus mencari tanah ke tempat yang jauh, berladang di pinggiran untuk penghidupannya (Kartika Rini, 2005).

Hari baik atau buruk dalam pengetahuan orang Dayak Kadori berarti waktu-waktu yang tepat dan tidak tepat untuk pergi berladang atau melakukan aktivitas keseharian. Menurut penanggalan mereka, terdapat istilah bilangkangan, keti karami, dan tanah besit yang ketiganya memiliki makna sakral dan profan untuk berladang serta menjaga kelestarian lingkungan alam. Selain itu, mereka juga memiliki waktu pantangan bagi peladang untuk pekerjaan ladang yang disebut pali salak, di dalamnya termasuk crowong dan bulan kalam (Kartika Rini, 2005).

2. Konsep Hari Baik dan Hari Buruk 

Orang Dayak Kadori, khususnya yang hidup di sekitar Sungai Paroi, mengenal semacam penanggalan tentang hari baik dan buruk. Berdasarkan penanggalan tersebut, muncullah istilah bilangkangan, keti karami, dan tanah besit.
  • Bilangkangan merupakan hari libur di mana orang harus menghindari perjumpaan dengan orang lain sehingga tidak boleh membuka pasar atau berniaga pada hari-hari itu.
  • Keti karami merupakan hari yang baik untuk mencari keramaian, seperti menjual sayur atau berdagang.
  • Tanah besit (kecil) merupakan hari di mana orang tidak boleh berjalan jauh atau tak boleh bepergian.
Ada juga hari yang merupakan pantangan bagi peladang untuk pekerjaan ladang yang disebut pali salak, di dalamnya termasuk crowong dan bulan kalam. Crowong atau lacrowong adalah pantangan karena ada orang yang meninggal. Para peladang tidak diperkenankan ke ladang sehari setelah adanya penguburan orang yang meninggal. Menurut bahasa lokal, lacrowong atau layu atau layuin lowong seperti kayu yang layu setelah ditebang. Jika ada orang yang wafat lalu ada peladang yang mencoba menanam tanaman di ladang, maka tanamannya tidak akan berkembang dengan baik.

Sedangkan bulan kalam adalah malam setelah bulan purnama. Pada waktu-waktu tersebut, akan terjadi gelap sebentar (bulan tidak langsung muncul). Peladang boleh saja pergi ke ladang namun tidak boleh mengerjakan ladang. Peladang hanya dibolehkan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat hiburan, semisal mencari ikan di sungai. Pengetahuan ini secara spiritual bertujuan untuk menjaga hubungan antara manusia, Tuhan, dan tanaman yang ditanam.

Hubungan antara peladang dengan padi yang ditanamnya terlihat sangat indah. Tidak hanya sekadar ditanam, namun tanaman padi seakan dianggap sebagai makhluk hidup ciptaaan Tuhan yang perlu untuk diajak bicara dan diperlakukan seakan tanaman tersebut punya nyawa. Hal ini terlihat dari syair yang dilantunkan basir (pemimpin upacara) saat melakukan ritual menawur (menabur) beras berikut ini:
Bangunlah roh kekuatan dan kemahakuasaaan-Mu, dari badan tempat tinggal-Mu
Jangan engkau menyebutkan diri-Mu dikeluarkan dari mulut cupak dan gerantang,
Takaran beras kami pantai danum kalunen, luwuk kampungan Bunu.
Dan jangan engkau menyebutkan diri-Mu keluar dari dada lesung
Dan jangan pula engkau mengatakan dirimu keluar dari ujung penampi

Jangan engkau menyebutkan diri-Mu ditabur oleh anak-anak kecil
Yang tidak mengetahui awal kejadian-Mu……
Bersama itu pula engkau kumandikan memakai minyak kelapa yang kupakai menyucikan diri-M bagaikan memperindah dan memperbarui cat sebuah sampan yang akan mengarungi lautan luas.

Bersama itu pula, Engkau diberikan bau harum dengan asap gaharu yang sangat harum baunya dan disenangi oleh semua orang, kupakai untuk mempersiapkan diri-Mu, sebagai perempuan yang akan bepergian.

Kuusap dan kubersihkan tubuh-Mu, bagaikan mengusap dan membersihkan tubuh seseorang agar seluruh tubuh-Mu menjadi putih bersih, bening mengkilap

Duduklah roh-Mu perlahan-lahan dan berhati-hati pada mangkok ini.

Bersama-sama itu, sisir dan luruskan rambut-Mu.Siapa tahu ada sesuatu yang bisa mengganggu pendengaran-Mu agar engkau bisa mendengar dengan jelas ucapanku menceritakan tentang awal keberadaan-Mu di dunia ini.

Sesungguhnya aku mengetahui tentang riwayat hidup-Mu sejak awal
Bagaikan bulan mengitari bumi dan langit.

……………………………………………….

Sekarang sisirlah dan rapikanlah sebaik-baiknya rambut-Mu dan dengarlah sungguh-sungguh pesan dan ucapanku ini.

Kumohon kalian semua sekarang ini melakukan perjalanan jauh untuk menyampaikan pesan kami ini kepada para leluhur yang berada jauh di langit sana agar mereka semua hadir Dan datang ke tempat ini.
3. Pengaruh Sosial 

Pengetahuan orang Dayak Kadori tentang hari baik dan hari buruk untuk berladang tampak berpengaruh pada beberapa hal dalam kehidupan, antara lain:
  • Sikap optimisme. Pengetahuan tentang hari baik dan buruk untuk berladang tersebut berpengaruh terhadap sikap otimisme mereka dalam berladang. Secara psikologis, mereka akan optimis dengan kerja mereka karena adanya perasaan sudah menjalankan tradisi leluhur yang melindungi mereka selama ini.
  • Menguatnya iman kepada Tuhan. Pemahaman orang Dayak Kadori tentang adanya hari baik dan hari buruk di mana tidak lepas dari kekuasaan Tuhan, menjadikan menguatnya iman mereka pada Tuhan. Hal ini terlihat jelas dari syair-syair yang dilantunkan dalam ritual berladang tersebut.
  • Menjaga kelestarian alam. Pola berladang berdasarkan pengetahuan hari baik dan hari buruk merupakan kearifan lokal Dayak Kadori dalam menjaga kelestarian alam.
  • Pelestarian tradisi leluhur. Pengetahuan tentang hari baik dan hari buruk adalah ajaran leluhur yang luhur. Dengan demikian, mempraktekkan pengetahuan ini dalam berladang merupakan upaya mereka melestarikan tradisi leluhur.
  • Menjaga semangat suku. Pelaksanaan pengetahuan ini juga merupakan wujud nyata dari upaya mereka dalam menjaga semangat satu suku. Dengan menjalankan tradisi leluhur secara kolektif, kebudayaan orang Dayak Kadori dapat bertahan meskipun pada realitasnya mereka harus berpindah-pindah untuk berladang.
4. Penutup 

Pengetahuan orang Dayak Kadori tentang hari baik dan hari buruk untuk berladang ini mencerminkan kearifan mereka dalam berhubungan dengan alam. Dengan demikian, sudah selayaknya jika pengetahuan ini dipertahankan dan lebih diperhatikan oleh pihak-pihak yang terkait, terutama pemerintah dan para pengusaha hutan dengan melibatkan peran serta kepentingan orang Dayak Kadori, mengingat kondisi hutan Kalimantan yang semakin kritis sekarang.

(Kolom ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Kartika Rini, 2005. Tempun Petaka Nana Sare. Kisah Dayak Kadori, Komunitas Peladang di Pinggiran. Yogyakarta: Insist Press
  • J.J Kusni, 2001. Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak. Yogyakarta: Forum Studi Perubahan dan Peradaban (FusPAD).







Komentar

Postingan Populer