Nyeraya

Nyeraya adalah sebuah tradisi etika pergaulan sosial Masyarakat Melayu Tamiang dalam bentuk bergotong-royong di kehidupan sosial dan berbagai upacara adat, seperti upacara khitanan, potong rambut bayi, turun tanah, perkawinan, dan sebagainya. 

1. Asal-usul

Masyarakat Tamiang adalah masyarakat Melayu yang tinggal di wilayah Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Masyarakat Tamiang mayoritas berprofesi sebagai petani. Bahasa sehari-hari masyarakat Melayu Tamiang agak berbeda dengan bahasa Aceh pada umumnya, namun memiliki kesamaan dialek dengan masyarakat Melayu di Langkat, Sumatra Utara (Dado Meuraxa, 1956; Rusdi Sufi, et al., 2004).

Selain bahasa, masyarakat Tamiang memiliki tradisi etika pergaulan yang luhur dan hingga kini masih cukup terjaga. Etika pergaulan masyarakat Tamiang diwujudkan dalam bentuk tradisi nyeraya, yakni sebuah tradisi gotong-royong dalam kehidupan sosial yang diwujudkan dalam berbagai upacara adat, seperti upacara khitanan, potong rambut bayi, turun tanah, perkawinan, dan sebagainya (T. Syamsudin dkk, 1979/1980).

Tradisi nyeraya pada mulanya adalah ajaran tolong-menolong yang dinasehatkan oleh leluhur Tamiang dan bertujuan agar mereka dapat hidup rukun dan bersatu dalam pergaulan sosial. Segala bentuk tolong-menolong oleh masyarakat Tamiang dipercaya sebagai yang tertua, karena berkaitan erat dengan upacara adat dan agama mereka (T. Syamsudin dkk, 1979/1980; Rusdi Sufi et al., 2004).

Dalam istilah orang Tamiang, tolong-menolong berkait dengan kerja hidup dan kerja mati. Keduanya berkait juga dengan reusam dan khanun (tertib majelis). Hal ini sesuai dengan peribahasa Melayu: syarak dijunjung adat dipangku, reusam dijalin khanun diatur (T. Syamsudin dkk, 1979/1980).

2. Konsep Nyeraya 

Dalam tradisi masyarakat Tamiang di NAD, konsep etika pergaulan sosial nyeraya dimaknai dengan pengertian bahwa setiap individu harus bergaul dalam setiap kegiatan masyarakat. Karena itu, nyeraya diwujudkan dalam beberapa kegiatan adat dan agama mereka, antara lain:
  • Nyeraya pada saat upacara sunat rasul, yaitu upacara khitan untuk anak laki-laki yang berumur 10-15 tahun. Pada saat ini, masyarakat dituntut untuk ikut serta dalam menyiapkan segala sesuatunya, seperti membuat pelaminan layaknya seorang pengantin serta membantu dalam menyelenggarakan makan bersama menurut agama dan adat Tamiang.
  • Nyeraya pada saat upacara perkawinan. Upacara perkawinan di Tamiang selalu digelar dalam pergelaran yang meriah, di antaranya ada ritual kendhuri, malam berinai, ngirisi batil, ngantat mempelai, dan nerima mempelai. Persiapannya terkadang sudah dimulai beberapa hari sebelum hari pelaksanaan. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat (dulu dalam satu desa) diminta untuk membantu dari masa persiapan hingga selesainya acara.
  • Nyeraya pada saat upacara nyecapi, yakni upacara memberi makan pertama untuk bayi. Setiap anggota masyarakat diharapkan ikut terlibat dalam pelaksanaan nyecapi. Bayi akan dibawa berkunjung ke rumah para kerabat dan tetangga. Dari satu rumah ke rumah lainnya, tuan rumah diminta untuk memberikan makanan kepada bayi secara simbolis.
  • Nyeraya pada saat mencukur rambut bayi sekaligus pemberian nama bayi. Pada upacara ini, biasanya digelar selamatan dan doa-doa. Warga biasanya ikut membantu persiapan dan doa sebagai wujud interaksi sosial di antara mereka.
  • Nyeraya pada saat upacara turun tanah. Upacara ini dianggap penting bagi bayi sebagai salah satu fase kehidupan manusia. Oleh karena itu, masyarakat diharap ikut berpartisipasi. Acara ini juga dapat dijadikan ruang pendidikan bagi warga lainnya jika kelak mereka punya anak atau keluarga mereka menggelar upacara yang sama.
Pada pelaksanaan nyeraya, kaum perempuan biasanya bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan, memasak, mencuci piring, dan menyiapkan segala-sesuatu di dalam rumah. Pergaulan perempuan biasanya menyangkut kehidupan keluarga, misalnya dalam mengurus anak dan sebagainya. Sementara itu, pergaulan kaum laki-laki biasanya seputar pekerjaan dan pertanian.

Masyarakat Tamiang memiliki anggapan bahwa setiap upacara adat adalah tanggungjawab pribadi (keluarga) bersama dengan masyarakat setempat. Dalam hal ini, masyarakat bukan hanya sebagai unsur pelaksana tetapi juga unsur yang harus ada dalam setiap upacara. Upacara adat tanpa dihadiri oleh warga dianggap belum lengkap, karena warga dinilai sebagai penguat pelaksanaan upacara adat.

3. Nilai-nilai 

Pengetahuan orang Melayu Tamiang tentang etika pergaulan sosial di masyarakat mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain:
  • Harmoni masyarakat. Etika pergaulan masyarakat dalam wujud nyeraya ini tentu saja semakin memupuk dan meningkatkan harmoni kehidupan masyarakat. Hubungan yang terjalin baik dalam masyarakat akan membuat suasana kehidupan sosial masyarakat Tamiang semakin harmonis.
  • Melestarikan tradisi. Pelaksanaan etika pergaulan nyeraya ini menjadi bukti bahwa pelestarian tradisi leluhur adalah hal yang penting untuk dilakukan dan patut diapresiasi.
  • Menghargai sesama manusia. Etika pergaulan nyeraya adalah wujud penghargaan sesama manusia. Ketika seseorang ditolong, maka ia harus balas menolong jika si penolong suatu ketika membutuhkan pertolongan. Etika sosial seperti ini menjadi pengetahuan umum sehingga dilakukan secara sadar.
  • Menjaga adat. Etika pergaulan masyarakat mengandung nilai menjaga adat yang tepat, karena langsung diaplikasikan dalam kehidupan. Dengan begitu, masyarakat dapat belajar bersama bagaimana hidup bermasyarakat yang dipandu dengan adat.
  • Menjaga ajaran agama. Pelaksanaan etika pergaulan yang dipadukan antara ajaran adat dan agama, menjadi sesuatu yang unik, karena ajaran agama dapat kuat begitu juga dengan adat, karena keduanya saling melengkapi dan menguatkan.
  • Menjaga persatuan dan kesatuan suku. Etika ini tentu saja mengandung nilai persatuan dan kesatuan suku, karena dengan melaksanakan etika tersebut akan berefek pada perasaan persatuan sesuku.
4. Penutup 

Etika pergaulan sosial adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan masyarakat. Tanpa etika pergaulan sosial, seseorang akan menjadi egois dalam perilaku mereka. Oleh karena itu, keberadaaan etika sosial patut untuk dipelihara dan dilestarikan.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
  • Rusdi Sufi, et.al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1998/1999.
  • Rusdi Sufi dan Agus B. Wibowo, 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
  • T. Syamsudin dkk, 1979/1980. Sistim gotong royong dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.





Komentar

Postingan Populer