Merdeka dan Budak

Secara umum, stratifikasi masyarakat tradisional Dayak di Kalimantan Barat terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan merdeka dan budak. 

1. Asal-usul

Dayak atau Daya adalah kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang mendiami Kalimantan. Suku ini memiliki kebudayaan yang hampir mirip di antara sub-sub etnik yang ada, salah satunya pengetahuan tentang stratifikasi atau penggolangan sosial masyarakat tradisional (Fridolin Ukur, 1992; JU Lontaan, 1975; JJ Kusni, 2001).

Pengetahuan yang diturunkan oleh leluhur ini mengajarkan bahwa secara umum, stratifikasi masyarakat tradisional Dayak terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan merdeka dan budak. Pembedaan keduanya didasarkan pada asal mula keturunan. Namun demikian, di antara sub etnik Dayak tertentu, terdapat golongan yang didasarkan fungsi sosialnya di masyarakat (Lontaan, 1975; Ukur, 1992).

Menurut sejarahnya, semua golongan masyarakat sebenarnya adalah kaum merdeka. Munculnya golongan budak disebabkan oleh perilaku kepala suku sendiri yang seakan membedakan kelas sosial. Namun, menjelang akhir abad ke-19 M, tepatnya pada tahun 1891 ketika pengaruh Belanda semakin luas ke pedalaman Kalimantan, perbudakan secara resmi dihapuskan (Lontaan, 1975; Ukur, 1992).

2. Konsep Masyarakat Tradisional 

Dalam konsep masyarakat tradisional orang Dayak di Kalimantan Barat, dikenal bermacam-macam istilah lokal, seperti utus, jalahan, bumuh, babohan, dan ungkup. Secara umum, masyarakat tradisional Dayak terbagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan merdeka dan budak. Namun demikian, secara khusus, terdapat golongan yang tidak dilihat dari sisi tinggi rendahnya keturunan, tetapi pada fungsi sosialnya, seperti golongan balian (imam).

a. Golongan Merdeka 

Golongan ini terbagi menjadi dua, yaitu utus gantung atau utus tatau dan utus randah atau utus pehe-belum.

· Utus gantung atau utus tatau 

Golongan ini dipandang sebagai golongan bangsawan tinggi, kaya, dan sempurna. Mereka dianggap sebagai pewaris keturunan orang besar dan keturunan langsung keilahian, terutama tampak dari kekayaan yang mereka miliki.

Pada golongan ini terkumpul segala simbol kebesaran dan keilahian, seperti tombak, gong, tikar ilahi, bejana/tempayan suci, dan sebagainya. Dari kalangan ini pula dipilih kepala adat dan pemimpin masyarakat. Utus gantung juga dianggap sebagai anak matahari dan manusia tinggang sebagai identifikasi dari Mahatara.

· Utus randah atau utus pehe-belum

Golongan ini, meskipun masuk dalam kategori merdeka, mereka masih dibedakan dalam kedudukan sosial ekonominya. Mereka dianggap berasal dari keilahian secara tidak langsung. Penamaan utus pehe-belum dalam bahasa Dayak mengandung nilai sosial, meskipun mereka tidak memiliki banyak kekayaan harta pusaka suci yang menandai hubungan dengan keilahian.

Mereka hanya memiliki harta pusaka yang nilainya rendah. Dari golongan ini bermula munculnya para balian dan basir (imam). Mereka juga dinamakan anak bulan dan manusia tambon yang diidentifikasikan dengan Bawin Jata.

Dalam tradisi Dayak Maanyan, golongan merdeka terbagi menjadi dua golongan, yaitu urin patis dan tamanggong. Dalam perkembangannya kemudian, terjadi pemecahan sehingga menjadi tujuh golongan, yaitu mangko, patingi, djaksa, giritan, singa/langgawa, djarang/bayohan, dan mangsiau/masiau.

Sedangkan golongan tamanggong hanya diperuntukkan bagi kelas yang memerintah (semacam golongan raja). Tiap-tiap golongan tersebut memiliki tambak-nya sendiri-sendiri, yakni wadah penyimpanan tulang sesudah dibakar.

b. Golongan Budak 

Sebenarnya, kelas budak ini tidak ada sedari mula kejadian manusia. Kelas ini baru ada semenjak terjadi perkembangan masyarakat itu sendiri. Menurut cerita lokal Dayak, golongan budak terkait dengan cerita religius mereka.

Syahdan, manusia diturunkan dari alam atas ke bumi dan golongan budak ini harus turun dengan susah payah melalui tiang kayu yang menghubungkan dunia. Sedangkan golongan merdeka turun menggunakan bahama hitam dan bahama bulau lengkap dengan peralatannya.

Golongan budak ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu rewar dan djipen.

· Rewar

Rewar adalah budak yang secara turun-temurun menjadi kepunyaan tuannya. Menurut adat, golongan rewar adalah mereka yang muncul akibat dari hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran adat yang berat dan akibat kalah perang.

· Djipen

Djipen adalah budak akibat utang, yakni barangsiapa yang tidak dapat membayar utang, maka ia harus menebusnya dengan bekerja kepada yang memberi utang. Djipen akan kembali bebas setelah ia dapat membayar utang-utangnya dan akan dikembalikan segala hak dan kewajibannya sebagai seorang merdeka.

Orang Dayak percaya bahwa budak telah dlahirkan sebagai pailenge (kaki-tangan) tuannya. Ia bukan keturunan sangiang (tuan), karena itu semasa hidup hingga ke alam baka ia harus memanggil pemiliknya: tempongku sangiangku (tuanku, tuhanku).

Golongan djipen ini ada akibat perilaku kepala suku sendiri yang membedakan realitas sosial yang ada. Djipen dilarang mendirikan rumah di dalam kampung melainkan di daerah perbatasan kampung atau di dalam hutan sekitar kampung.

Budak muncul akibat beberapa faktor, yaitu:
  • Berasal dari keturunan ibu yang memang sudah menjadi djipen/jipon.
  • Akibat utang yang tidak dapat dilunasi.
  • Akibat terjadinya pelanggaran adat yang dikenakan denda uang dan tidak mampu bayar.
  • Akibat dari “persundalan” dengan para belian, yang menghabiskan harta benda.
  • Akibat kalah perang sehingga menjadi tawanan.
  • Seorang budak dapat kembali merdeka jika memenuhi hukum adat berikut:
  • Ia harus membayar habis seluruh utangnya.
  • Sehabis panen, ia berhak menerima sepuluh persen dari seluruh panen tuannya. Bagian ini dapat dijual atau dipinjamkan dengan bunga, sehingga memungkinkan ia mencicil utangnya.
  • Pekerjaan yang dilakukan di waktu malam menjadi miliknya, sehingga jika ia menjahit atau mengukir misalnya, hasilnya dapat ia jual.
  • Jika ada perkerjaan di hutan, seperti mengambil rotan, maka dalam jumlah tertentu ia berhak mendapat upah.
  • Ia dapat memilihara binatang ternak milik sendiri, namun dengan tidak mengurangi pekerjaan kepada tuannya.
3. Pengaruh Sosial 

Pengetahuan orang Dayak tentang stratifikasi masyarakat tradisonal tampak berpengaruh pada beberapa hal dalam kehidupan, antara lain:
  • Penghargaan terhadap pribadi. Pengaruh ini dapat dicermati dari adanya penghargaan pribadi, khususnya terhadap golongan budak yang diberikan kesempatan untuk merdeka dengan ketentuan adat.
  • Solidaritas sosial. Pengaruh dapat dicermati dari pembagian golongan masyarakat itu sendiri. Satu sisi memang pembedaan golongan ini membuat kelas-kelas. Akan tetapi, secara sosial dapat menguatkan solidaritas sosial karena di antara mereka saling membutuhkan, misalnya antara budak dan tuannya.
  • Pelestarian tradisi leluhur. Pengetahuan ini adalah ajaran leluhur yang luhur. Dengan demikian, menjaga pengetahuan ini meskipun hanya dalam bentuk pemahaman merupakan upaya mereka melestarikan tradisi leluhur.
  • Menjaga semangat suku. Pelestarian pengetahuan ini juga merupakan wujud nyata dari upaya mereka dalam menjaga semangat satu suku.
4. Penutup 

Pengetahuan orang Dayak tentang masyarakat tradisional mereka mencerminkan sebuah sistem sosial yang menarik untuk dikaji labih lanjut. Pola kemasyarakatan seperti ini menjadi pelajaran apik untuk dibandingkan dengan kondisi sosial masyarakat sekarang. Oleh karena itu, seyogyanya pengetahuan ini dijaga.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Fridolin Ukur, “Kebudayaan Dayak”, dalam Kalimantan Review (Juli-Desember 1992).
  • JJ Kusni, 2001. Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak. Yogyakarta: Forum Studi Perubahan dan Peradaban (FusPAD).
  • JU Lontaan, 1975. Sejarah hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Kalimantan Barat: Pemda

Komentar

Postingan Populer