Ungkapan, Sindirian, dan Sanjungan

Secara umum, ungkapan-ungkapan keseharian orang Melayu di Nusa Tenggara Barat (NTB) tercermin dalam nasihat, sindiran, sanjungan, atau ucapan biasa dalam kehidupan sehari-hari

1. Asal-usul

Orang Melayu yang hidup di Nusa Tenggara Barat (NTB), seperti orang Lombok, Sumbawa, atau Bima, memiliki tradisi kebudayaan berupa ungkapan-ungkapan keseharian yang penuh makna. Ungkapan keseharian tersebut dapat berupa nasihat, sindiran, sanjungan, atau ucapan biasa (Ahmad Amin, et al., 1978).

Ungkapan-ungkapan keseharian ini merupakan ajaran dari leluhur dan hingga kini ungkapan-ungkapan tersebut masih digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Menurut orang Melayu di NTB, ungkapan yang menggunakan bahasa lokal dianggap lebih mewakili realitas yang ada daripada harus diceritakan suasananya. Masyarakat NTB lebih memahami bahasa simbol ketimbang keterangan yang terkadang dianggap bertele-tele (Amin, et al., 1978).

Ungkapan-ungkapan keseharian yang digunakan oleh tiga suku yang bangsa berbeda di NTB ini memiliki kemiripan meskipun dibahasakan dengan bahasa lokal masing-masing. Pada zaman kolonial Belanda, wilayah NTB mencakup Bali, Lombok, dan Sumbawa (Alvons van Deer Kraan, 1980; Aryani Setyaningsih, 2007; Suhartono, 1970). Karena alasan inilah maka tidak mengherankan jika kebudayaan suku-suku di NTB memiliki kemiripan satu sama lain.

Secara umum, ungkapan-ungkapan keseharian orang Melayu di NTB menggambarkan betapa mereka ingin menciptakan sebuah realitas hidup yang jujur, apa adanya, serta melakukan sindiran ketika ada orang yang berbuat salah dengan maksud agar orang itu menyadari kesalahannya tersebut (Amin, et al., 1978).

2. Konsepsi Ungkapan dalam Keseharian Orang Melayu NTB 

Berikut adalah ungkapan-ungkapan keseharian masyarakat Melayu di NTB. Ungkapan ini bisa berupa nasihat, sindiran, peutnjuk, atau pujian.

a. Ungkapan Keseharian Orang Sasak (Lombok)
  • Mara’ meong nyebo kuku’, artinya: “Seperti kucing menyembunyikan kuku”. Sindiran untuk orang yang suka menyembunyikan sesuatu dari dirinya namun bukan kejahatan, misalnya orang yang selalu bilang miskin padahal dirinya kaya.
  • Durung dereng le’ ampenan, burung bekereng isi’ kakenan. Sindiran bagi orang yang lebih mementingkan makan daripada sandang, papan, dan hiburan.
  • Toa’ toa sampat, Ble’ ble’ ambon, artinya: “Tua-tua sapu lidi”. Sindiran bagi orang yang semakin tua semakin kuat, baik dalam kerja maupun mencari istri lagi.
  • Nurut nine, artinya: “Ikut perempuan”. Sindiran bagi seorang lelaki yang menikah lalu tinggal di rumah istrinya. Padahal, menurut adat Sasak, istri yang harusnya tinggal di rumah suaminya.
  • Ble’ embek. Sindiran bagi orang yang besar kemauan tetapi tidak sebanding dengan kemampuan.
  • Bude. Sebutan untuk orang yang tidak menjalankan ibadah dan suka berbuat kotor.
  • Rawas atau tiang karung. Sebutan untuk ulat buas pemakan tanaman dan orang karung. Sindiran bagi orang yang bersifat rakus.
  • Bajang sekacang. Sebutan bagi orang yang muda belia dan tampan.
  • Teruna mangga. Sebutan bagi remaja yang tampan.
  • Jongrana. Sebutan bagi perempuan yang cantik.
  • Koras, kojor, atau kajeng. Sebutan bagi perempuan yang keras.
  • Kuning kemaneng. Sebutan bagi wanita yang cantik parasnya dan putih kulitnya.
  • Lilus. Sebutan untuk orang yang hidupnya tidak menentu atau orang kaya yang suka berfoya-foya lalu mencuri dan menipu.
  • Gele’. Sebutan untuk orang yang rajin bekerja.
  • Beler dan jenggit. Sebutan untuk anak nakal.
  • Ubek. Sebutan untuk anak (perempuan) nakal hingga berbuat mesum.
b. Ungkapan Keseharian Orang Sumbawa
  • Yamo porat air kaling poto. Artinya: “Bagai menarik bambu dari ujungnya”. Ungkapan untuk orang yang menghadapi suatu masalah berat.
  • Yamo bote’ bau balang. Artinya: “Seperti kera menangkap belalang”. Kera jika menangkap belalang akan menyimpan di ketiaknya. Lalu ia menangkap lagi namun yang disimpan itu terbang lagi. Ini merupakan ungkapan untuk orang yang selalu tidak puas dengan apa yang diperoleh.
  • Ajar bote’ ntek kayu. Artinya: “Mengajar kera memanjat pohon”. Ini merupakan sindiran untuk orang yang banyak bicara padahal orang yang diajak bicara lebih pintar. Ungkapan ini juga sindiran untuk orang yang sombong dan banyak bicara.
  • Yamo itu bo;ang sira lako lit. Artinya: “Bagaikan membuang garam di laut”. Sindiran untuk orang yang diberi nasihat namun tidak menghiraukan atau orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang tidak butuh pertolongan.
  • Yamo bodak siu kuku, mara meong nyebo’ kuku. Sindiran untuk orang pintar yang suka menyembunyikan kepintarannya.
  • Turit jempang tau maling. Artinya: “Mengikuti jejak pencuri”. Ungkapan untuk orang yang selalu sial, seperti dituduh berbuat jahat padahal orang itu tidak melakukannya.
  • Bastili pang salak rebu selamar. Artinya: “Berlindung dibalik sehelai rumput”. Sindiran untuk orang yang menyembunyikan kesalahan dengan bermacam-macam alasan.
  • Mara jaran boko gula. Artinya: “Seperti kuda membawa gula”. Ungkapan untuk orang yang sudah bekerja keras namun orang lain yang menikmati hasilnya.
  • Tili sira no basa. Artinya: “Melindungi garam agar tak basah”. Sindiran untuk orang yang menyembunyikan aibnya agar tidak diketahui orang lain.
c. Ungkapan keseharian Orang Bima
  • Aina mefa ro menga. Artinya: “Jangan sombong dan congkak”. Nasihat agar jangan sombong dan congkak dalam kehidupan.
  • Samadaku mori ne-e mamade. Artinya: “Semua yang ada akan berubah”. Ungkapan yang mengingatkan bahwa semua yang ada di dunia akan berubah dan jangan lupa kepada Tuhan.
  • Likipi sarumbu ndaimu. Artinya: “Dalam pergaulan harus timbang rasa”. Nasihat agar dalam berinteraksi dengan orang saling memahami. Apa yang tidak kita senangi dari perbuatan orang lain bisa jadi akan mengenai diri kita dan orang lain tidak selalu menyenangi perbuatan kita juga.
  • Sama ro dampa kaiku semenang lamparawi. Artinya: “Hendaklah seiya dan sekata bila menghadapi persoalan”. Nasihat khusus untuk pasangan suami-istri agar selalu rukun dan seiring sejalan.
  • Sama labo pulilawa. Sindiran bagi orang yang suka mencampuri urusan orang lain.
  • Eda mbuda ringampingan. Ungkapan bagi orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain.
  • Bune labo janga manoto sia. Ungkapan untuk orang yang sudah berbuat salah dan tidak dapat mengelak.
  • Paki ponggo weha ndau. Ungkapan untuk orang yang rugi karena salah pilih.
  • Sauka la bango. Ungkapan untuk menggambarkan suatu kekebalan.
  • Sauka ama kamoa. Ungkapan untuk perbuatan cerdik namun licik.
3. Nilai-nilai 

Ungkapan-ungkapan keseharian masyarakat Melayu di NTB mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain:
  • Melestarikan tradisi sastra tradisional. Nilai ini tercermin dari wujud ungkapan-ungkapan tersebut sebagai karya sastra tradisional warisan leluhur.
  • Menjaga adat. Ungkapan berupa nasihat atau sindiran di atas adalah salah satu media orang Melayu dalam menjaga dan menjunjung tinggi adat-istiadat.
  • Pendidikan masyarakat. Beberapa ungkapan keseharian orang Melayu NTB berisi tentang nasihat-nasihat dalam hidup bermasyarakat.
  • Mengajarkan kebaikan dan budi pekerti. Beberapa ungkapan keseharian orang Melayu NTB berisi tentang nasihat-nasihat yang mengajarkan kebaikan dan budi pekerti.
  • Kesederhanaan. Beberapa ungkapan keseharian orang Melayu NTB berisi tentang nasihat-nasihat yang mengajarkan kesederhanaan dalam menjalani hidup.
4. Penutup 

Ungkapan-ungkapan keseharian orang Melayu di NTB menjadi bukti bahwa mereka memiliki sistem pendidikan budi pekerti individu dan masyarakat yang luhur. Oleh karena itu, sudah selayaknya ungkapan-ungkapan ini diapresiasi oleh pihak-pihak yang berwenang. Dengan demikian, masyarakat akan kembali mendidik diri mereka dengan budaya tradisional sehingga kearifan lokal pun akan senantiasa terjaga kelestariannya.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Ahmad Amin, et al., 1978. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Depdikbud RI.
  • Alvons van Deer Kraan, 1980. Lombok, Conquest, Colonization and Underdevelopment 1870-1940. Australia: Australian University Press.
  • Aryani Setyaningsih, 2009. Lelaki Pepadu. (Tesis). Yogyakarta: Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
  • John Ryan Bartolomew, 2001. Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara Wacana
  • Suhartono, 1970. Pengaruh Bangsa-bangsa Luar di Lombok. Buletin Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.



Komentar

Postingan Populer