Upacara Adat Buah

Oleh Empuesa

Upacara adat buah adalah salah satu upacara adat yang menjadi tradisi masyarakat Dayak Pesaguan di Kalimantan Barat. Upacara ini dilakukan untuk menyambut musim buah dalam kehidupan masyarakat Dayak Pesaguan.
 
1. Asal-usul

Dayak Pesaguan adalah salah satu sub suku Dayak yang tinggal di hutan-hutan di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar). Orang Dayak Pesaguan hidup bersahaja dan bersahabat dengan alam. Mereka memiliki tradisi unik dalam menghormati dan menghargai pemberian alam, salah satunya dengan menggelar upacara adat buah (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008; Yan Sukanda dan F Rajiin, 2007).

Upacara adat buah adalah upacara untuk menyambut musim buah khas masyarakat Dayak Pesaguan. Tradisi ajaran nenek moyang mereka ini masih dipertahankan hingga sekarang meski panen buah tidak sebesar dan tanah hutan tidak seluas dulu. Musim buah ditandai dengan munculnya bunga dan putik di pohon-pohon seperti kelampai, kumpang, limat, durian, mangga, rambutan, dan kekalik (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008).

Tujuan dari upacara ini adalah agar mendapatkan panen yang melimpah dan bersyukur kepada Tuhan. Upacara adat buah juga dimaksudkan sebagai penghormatan kepada alam. Oleh karenanya, sedari masih berupa putik dan bunga, tanaman harus dirawat agar memberikan hasil yang baik (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008; Yan Sukanda, 1996).

Upacara adat buah terdiri dari empat tahap, yaitu: (1) Memorum Dowun Memangkah Doha, yakni ritual saat kuntum mulai tumbuh (biasanya berpatokan pada pohon durian); (2) Merimbang Bunga atau memelihara bunga, yakni pada saat bunga sudah mulai kembang; (3) Menimang atau Mamandian Pansai (memandaikan buah) yakni saat kembang berubah jadi buah; (4) Menyambit Buah yakni mengambil buah saat masak (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008).

Upacara adat buah juga menjadi penanda bahwa masyarakat tidak dibolehkan memanjat pohon-pohon buah apalagi mengambil buah pada malam hari. Belian atau betara buah sejak saat itu juga tidak boleh memakan buah apapun, kecuali buah pinang dan sirih. Bagi warga yang melanggar akan dikenakan denda adat (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008; Yan Sukanda, 1996).

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
  
Upacara adat buah digelar pada saat musim buah, biasanya ditandai dengan munculnya putik dan bunga pada pohon buah semisal durian. Sementara itu, tempat upacara dipusatkan di rumah adat dan di bawah pohon durian besar (durian kepemalian).

3. Pemimpin dan Peserta Upacara 

Upacara dipimpin oleh betara buah (dukun adat) dan diikuti oleh sebagian masyarakat. Pada acara ini, seluruh masyarakat memang tidak diwajibkan ikut upacara, akan tetapi mereka wajib menaati pantangan yang ada.

4. Peralatan dan Bahan 

Upacara adat buah memerlukan beberapa peralatan dan bahan-bahan, antara lain:
  • Ancak gantung sebagai tempat sesaji.
  • Contoh buah-buahan sebagai sesaji.
  • Ayam untuk dipotong sebagai persembahan.
  • Daging untuk ditaruh di ancak sebagai sesaji.
  • Pepalit.
  • Daun roso.
  • Kampur jampi atau kunyit dengan kapur sirih.
  • Tuak.
  • Pinggan tua atau piring tua.
  • Ketela.
  • Beras ketan hitam .
5. Proses Pelaksanaan 

Secara umum, proses pelaksanaan upacara adat buah meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penutup.

a. Persiapan 

Pada tahap persiapan, para petani pemilik kebun buah setelah melihat adanya bunga di pohon durian, mereka bersama-sama menghadap tetua kampung untuk menyampaikan maksud bahwa mereka akan mengadakan upacara adat buah. Setelah disampaikan, lalu mereka bermusyawarah untuk menyepakati waktunya. Setelah itu, segala perlengkapan dan bahan-bahan upacara segera disiapkan. Saat semua lengkap, betara buah akan merangkai sesaji bertempat di rumah tempat musyawarah dan upacara sudah bisa dimulai.

b. Pelaksanaan 

Pelaksanaan upacara adat buah meliputi 4 tahap, yaitu Memorum Dowun Memangkah Doha (saat kuntum mulai tumbuh), Merimbang Bunga (memelihara bunga), Menimang atau Mamandian Pansai (memandikan buah), dan Menyambit Buah (memanen saat buah masak).

· Memorum Dowun Memangkah Doha 

Setelah sesaji di ancak telah siap, betara buah keluar dari rumah menuju ke pohon durian besar. Di bawah pohon besar itu, sang betara mengoleskan darah ayam ke salah satu daun lalu dipercikkan ke semua orang yang hadir. Setelah itu, sang dukun membersihkan batang pohon, daun, dan dahan dari rumput dan akar-akar serta ranting yang sudah mati.

Selesai itu, sang dukun menancapkan kayu runcing sepanjang 50-60 cm untuk mengikat bambu dan memasang ancak di pohon tersebut. Sang dukun lalu mengambil beberapa helai daun untuk diminyaki dan dibacakan doa atau mantra kepada Duwata agar pohon tersebut berbuah dengan baik dan melimpah. Kemudian, sang dukun memasang ancak di dahan tersebut.

Seusai ritual tersebut, dukun dan masyarakat pulang ke rumah salah satu warga untuk makan bersama. Namun, sebelum makan, dukun akan menyembelih manuk (ayam) dan menumpahkan tuak. Ritual ini dimaksudkan agar semua perjanjian yang telah dibuat dengan Duwata dilaksanakan oleh seluruh masyarakat. Bagi masyarakat yang melanggar, ia akan didenda dengan mengumpulkan lagi tuak yang sudah dibuang dan menghidupkan manuk yang disembelih.

· Merimbang Bunga 

Tujuan ritual ini adalah agar bunga yang muncul tidak berguguran. Upacara ini tetap dimulai dari rumah tempat dukun meracik ancak untuk sesaji, lalu menuju durian kepemalian.

Ritual bagian ini hampir sama dengan ritual pertama, hanya bedanya setelah berdoa dan memercikkan darah ayam ke orang-orang yang hadir dan membersihkan sekitar pohon, dukun mengambil bunga yang jatuh di sekitar pohon untuk dimandikan. Namun sebelumnya, bunga tersebut dibersihkan dari pasir dan tanah yang melekat dan dicampur dengan air kapur, jampi, darah ayam, dan tuak di atas piring.

Setelah itu, sang dukun membaca doa dan mantra, meminta kepada Duwata agar putik buah itu menjadi buah yang banyak. Lalu, piring diletakkan di bawah pohon dan kemudian sambil diiringi hadirin, sang dukun pulang ke rumah untuk makan bersama.

· Menimang/Mamandian Pansai

Ritual ini dilakukan saat bunga sudah berubah menjadi putik (pansai) atau buah kecil. Tujuannya agar buah tersebut tetap melekat pada tangkainya dan menjadi buah yang besar.

Ritual ketiga ini juga hampir sama dengan ritual kedua. Hanya bedanya, seusai upacara dan makan bersama, sang dukun memberi pantangan kepada semua warga masyarakat agar mereka tidak mengganggu semua pohon dengan cara memanjat atau memakan buahnya hingga saatnya tiba. Namun, larangan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang sakit dan perempuan hamil yang menginginkan makan buah atau sedang nyidam (pehondak penyawo).

· Menyambit Buah 

Ritual keempat ini adalah ritual terakhir dan terbesar dari rangkaian upacara adat buah. Ritual ini digelar ketika beberapa buah sudah mulai jatuh karena masak. Ritual ini ditandai dengan dimainkannya senggayung, yakni alat musik pukul yang biasa dimainkan mengiringi ritual memetik buah.

Ritual dimulai dengan membawa sesaji yang telah disiapkan ke durian kepemalian. Di sana betara buah meletakkan ancak di bawah pohon disusul menebarkan kapur jampi dan kapur sirih diiringi doa dan mantra. Dalam doanya, betara buah mengucapkan rasa syukur kepada Duwata yang telah memberikan buah dan itu mereka ungkapkan dengan memberikan sesaji.

Setelah itu, sambil diringi bunyi senggayung, orang-orang mulai mengambil buah di hutan sampai habis. Jika sudah selesai, masih ada satu ritual lagi, yaitu mengembalikan alat musik senggayung ke tempatnya dan setelah itu orang tidak boleh membunyikannya lagi sampai panen buah berikutnya. Namun demikian, masyarakat masih boleh mencari buah di hutan tanpa membunyikan senggayung. Jika ada yang melanggar, akan terkena denda adat.

c. Penutup 

Ritual memulangkan senggayung di atas diadakan di rumah salah satu warga berdasarkan musyawarah. Ritual berlangsung sepanjang malam dengan hidangan buah-buahan sambil minum tuak. Dengan selesainya ritual ini, maka selesai pula rangkaian upacara adat buah.

6. Doa-doa 

Dalam upacara adat buah, terdapat beberapa doa yang dilantunkan, antara lain:
  • Doa syukur kepada Tuhan dan memohon restu agar tanaman berbuah dengan baik.
  • Doa permohonan agar putik dan bunga menjadi buah dan tidak dimakan hama.
  • Doa permohonan agar dapat panen raya yang melimpah.
7. Pantangan dan Larangan 

Satu pantangan yang harus ditaati adalah semua penduduk tidak boleh memanjat pohon yang sedang kembang atau masih putik. Saat itu juga semua masyarakat dilarang makan buah kecuali bagi orang yang sakit dan perempuan hamil yang ingin makan buah.

8. Nilai-nilai 

Upacara adat buah mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan orang Dayak Pesaguan, antara lain:
  • Pelestarian tradisi leluhur. Melaksanakan upacara adat buah ini secara langsung tentu saja akan melestarikan tradisi leluhur. Pelestarian tradisi leluhur seperti ini akan menjadikan tradisi tersebut berharga untuk pemiliknya sendiri maupun orang lain.
  • Simbol kesahajaan. Upacara ini juga mengandung nilai simbol, yakni simbol kehidupan agraris yang bersahaja. Bagaimana tidak, orang Dayak Pesaguan begitu menghargai alam sehingga sedari masih putik dan bunga, mereka sudah merawat pohon buah dengan ritual adat yang sakral.
  • Penghargaan pada alam. Nilai ini tercermin dari digelarnya upacara ini. Alam yang dianggap telah memberikan buah yang banyak, mereka hormati dengan merawatnya.
  • Nilai spiritual. Nilai ini tercermin dari doa-doa yang dibaca sepanjang ritual upacara berlangsung. Doa dipanjatkan sebagai ungkapan masyarakat dan kedekatan mereka dengan Tuhan yang memberi rejeki.
9. Penutup 

Upacara adat buah merupakan wujud penghargaan dan kebersahajaan orang Dayak Pesaguan terhadap alam dan Tuhan. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika keberadaan dan tradisi lain suku ini dijaga.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008. Upacara adat masyarakat Dayak Pesaguan Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang. Pontianak: Departemen Pendidikan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
  • Yan Sukanda dan F Rajiin, 2007. Kanjan Serayong, Ritual Kematian dalam tradisi Dayak Pesaguan. Ketapang: Yayasan Warisan dan Kantor INBUDPAR
  • Yan Sukanda, 1996. Bersenggayung dan Kelestarian Alam Bagi Masyarakat Pesaguan. Makalah dalam “Temu Ilmiah dan Festival Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia” Pemda Kabupaten Kutai, Tenggarong.

Komentar

Postingan Populer