Basunat

Oleh Empuesa

Basunat adalah tradisi khitan dalam kehidupan Orang Melayu Banjar (Orang Banua) di Kalimantan Selatan. Basunat wajib dilakukan oleh anak laki-laki pada usia sebelum remaja. Namun, ada sebagian kalangan yang juga menerapkan tradisi ini untuk anak perempuan. Selain karena perintah agama dan sebagai penanda kedewasaan, basunat dianggap penting untuk dilakukan demi kesehatan. 

1. Asal-usul

Orang Melayu Banjar, atau yang sering juga dikenal sebagai Orang Banua, di Kalimantan Selatan (Kalsel) memiliki berbagai macam tradisi dan adat budaya yang masih terus dijaga kelestariannya, salah satunya adalah tradisi basunat. Tradisi ini sudah dikenal sejak lama oleh Orang Banua, bahkan sebelum datangnya Islam. Setelah Islam masuk ke Kalsel dan dianut oleh sebagian besar orang Banua, tradisi ini menjadi semakin penting dan wajib.

Dalam ajaran Islam juga terdapat kewajiban basunat sebagai salah satu penanda siklus kehidupan dan kesempurnaan bagi seorang muslim. Namun, Orang Banua yang masih menganut ajaran leluhur maupun agama non-Islam juga melakukan basunat (Alfani Daud, 1997; Tim Haeda, 2009). Selain itu, basunat ddianggap penting untuk dilakukan karena alasan kesehatan.

Basunat diwajibkan untuk anak laki-laki Melayu ketika menginjak usia 7 tahun ke atas. Sedangkan untuk anak perempuan, basunat hanya dilakukan oleh mereka yang percaya akan tradisi ini saja. Basunat untuk laki-laki adalah membuang kulit kemaluan (kulup) yang menutupi kepala kemaluan. Sedangkan bagi anak perempuan dilakukan dengan memotong sebagian jaringan klitoris yakni dengan cara dikerik (Daud, 1997; Yustan Azidin dkk., 1990). Namun Khitan untuk anak perempuan mendapat tentangan dari kaum feminis karena sang anak dikhawatirkan akan mengalami gangguan infertilitas saat dewasa kelak. 

2. Konsep Basunat 

Bagi anak laki-laki, basunat dilakukan oleh tukang sunat tradisional yang disebut panyunatan. Sedangkan untuk anak perempuan dilakukan oleh bidan. Orang Banua mengenal tiga metode khitan untuk anak laki-laki, yaitu:
  • Basupit, yakni kulit zakar yang akan dipotong dijepit dengan supitan yang terbuat dari kayu yang keras atau bambu selama 2-3 minggu. Setelah kulup yang dijepit tersebut kering, baru akan dipotong. Metode ini jarang dilakukan lagi karena rasa sakitnya luar biasa. Metode ini dilakukan oleh penyunat tradisional.
  • Basunat, yakni hampir mirip dengan basupit, hanya saja kulup dijepit pada saat dipotong. Metode ini juga dilakukan oleh penyunat tradisional.
  • Basunat oleh dokter atau mantri kesehatan, dilakukan dengan memotong kulup menggunakan gunting atau pisau, namun sebelumnya sudah disuntik penghilang rasa sakit (bius).
Basunat harus dilakukan untuk anak laki-laki pada usia 7 tahun ke atas. Waktu ini dianggap tepat karena pada umur itu sang anak sudah siap mental. Basunat biasa dilakukan pada pagi hari karena kulit kelamin masih segar dan mudah dipotong. Bahkan, pada waktu subuh, anak laki-laki biasanya disuruh merendam kelaminnya ke dalam panai yang berisi campuran air dan tanah liat. Tujuannya agar kulit kelamin mudah dipotong dan diyakini dapat mengurangi (bahkan menghilangkan) rasa sakit dan pendarahan. Setelah dipotong, kulup biasanya diletakkan di bawah pohon pisang atau melati, atau diberikan kepada ayam jantan yang nantinya diberikan kepada penyunat (Azidin, 1990).

Sebelum basunat, sang anak biasanya diberi pakaian bagus, cincin, dan gelang emas, di lehernya digantungi azimat sebagai penangkal gangguan makhluk halus. Azimat itu terbuat dari jeruk nipis, bawang tunggal, dan daun jariangau. Cara ini dipercaya agar si anak tidak pusing pada saat disunat. Khusus untuk keturunan bangsawan, sarung yang dipakai harus berwarna kuning.

Sementara itu, sunat perempuan dilakukan saat anak umur 1 tahun. Hal ini dikarenakan pada umur itu sang anak belum malu untuk disunat. Sisi emosional anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki. Sunat perempuan biasanya dilakukan dengan dua cara:
Selembar kain putih dilubangi bagian tengahnya lalu ditempelkan pada kemaluan anak perempuan hingga klitoris mencuat keluar kemudian dipotong atau dikerik. Jika dipotong, terkadang menimbulkan pendarahan, sedangkan jika dikerik biasanya tidak ada pendarahan. Bagian ”luka” pada klitoris diolesi dengan irisan kunyit untuk mengurangi sakit.
Penyunatan dilakukan secara simbolis tanpa melakukan pemotongan jaringan klitoris, akan tetapi memberikan warna merah pada ujung klitoris sehingga seolah-olah telah disunat.

Seusai basunat, anak harus mematuhi beberapa larangan adat, misalnya dilarang melangkahi kotoran ayam, karena ”hawa” kotoran ayam, khususnya yang masih baru, dipercaya dapat mengakibatkan luka sunat mengalami peradangan atau bengkak sehingga dapat menghambat proses penyembuhan. Namun, beberapa masyarakat memahami bahwa larangan ini hanyalah cara orangtua agar anak berjalan pelan dan hati-hati (tidak banyak gerak) agar luka bekas sunatan cepat sembuh. Seusai basunat, biasanya tuan rumah akan menggelar acara syukuran dengan mengundang warga masyarakat. 

3. Pengaruh Sosial 

Pengetahuan masyarakat Banua tentang basunat tampak berpengaruh pada beberapa hal dalam kehidupan, antara lain:
  • Menguatnya iman kepada Tuhan. Tradisi basunat adalah perintah Tuhan. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi ini akan semakin menguatkan iman Orang Banua terhadap Tuhan.
  • Pelestarian tradisi leluhur. Selain ajaran agama, basunat merupakan tradisi leluhur Orang Banua sejak dulu. Oleh karena itu, pelaksanaan basunat juga merupakan upaya melestarikan tradisi leluhur.
  • Solidaritas masyarakat. Pengaruh ini terlihat dari diadakannya acara syukuran yang mengundang masyarakat sekitar untuk makan bersama atau menikmati pentas seni tradisional.
  • Kasih sayang kepada anak. Basunat juga merupakan media untuk mengekspresikan rasa kasih sayang orangtua kepada anak, yakni dengan memberikan hadiah setelah disunat.
4. Penutup 

Tradisi basunat menggambarkan harmonisasi antara tradisi leluhur dan ajaran agama Islam, meskipun kedua hal ini kerap dipandang saling bertolak belakang. Adanya tradisi basunat membuktikan keterbukaan ajaran leluhur dengan ajaran Islam itu sendiri dan menegaskan kearifan Orang Banua dalam menjalankan tradisi nenek moyang yang diselaraskan dengan ajaran agama.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Alfani Daud, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press.
  • Tim Haeda, 2009. Islam Banjar; Tentang Akar Kultural dan Revitalisasi Citra Masyarakat Religius. Banjarmasin: Lekstur.
  • Sam’ani dkk., 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Kalimantan Selatan: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.
  • Yustan Azidin dkk., 1990. Pengobatan Tradisional Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional.






Komentar

Postingan Populer