Indahnya Meugle dalam Masyarakat Aceh

Oleh Empuesa 

Orang Aceh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki tradisi gotong-royong yang unik dalam kehidupan sosial mereka, meugle namanya. Kegiatan tolong-menolong ini dilakukan masyarakat Aceh saat hendak membuka ladang di hutan. Oleh karena itu, kegiatan ini juga biasa disebut dengan istilah meuladang.

Prosesi meugle diawali dengan membabat hutan (ceumeucah). Tanah yang akan dijadikan ladang dibersihkan dulu sebelum ditanami padi atau palawija. Meugle biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki secara berkelompok dan dilakukan dengan mekanisme timbal-balik. Artinya, jika anggota kelompok ada yang ingin membuka ladang, maka anggota kelompok yang lain wajib membantu. Pemilik ladang tidak akan memberi imbalan apa-apa kecuali akan memberi makanan dan minuman sekadarnya.

Jika tanah ladang sudah siap ditanami, kegiatan berladang selanjutnya dilakukan oleh peladang sendiri dengan dibantu oleh istri dan anak-anaknya. Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu, misalnya ketika sakit atau ladang terlalu luas, peladang biasanya akan meminta bantuan tenaga dari keluarga batih. Dalam hal ini, keluarga yang membantu kelak akan diberi imbalan hasil ladang atau balas jasa yang lain.

Dulu, tradisi berladang orang Aceh dilakukan secara berpindah-pindah. Tanah yang sudah digunakan sekali atau dua kali mereka tinggalkan karena dianggap tidak subur lagi. Lalu, mereka pergi mencari ladang baru dan akan kembali ke ladang semula beberapa waktu kemudian setelah ladang tersebut sudah subur lagi.

Setelah menemukan ladang baru, biasanya mereka membuat gubuk-gubuk untuk tempat tinggal sementara. Karena peladang semakin lama semakin banyak, gubuk-gubuk itu juga kian padat. Dari sinilah awal mula terbentuknya seuneubok atau perkampungan baru. Kemudian, muncul juga seuneubok-seuneubok lainnya sehingga jadilah sebuah desa. Di lingkungan satu seuneubok, masyarakat hidup dengan saling bergantung. Jika ada yang akan membuka ladang baru atau mendirikan rumah, masyarakat akan kembali bergotong-royong.

Tradisi yang Mulai hilang
 
Kegiatan meugle dalam berladang sudah mulai hilang atau mengalami pergeseran makna. Terkadang, meugle diartikan sebagai berkebun, bukan berladang. Kegiatan membuka ladang di hutan saat ini lebih banyak diupahkan, karena tanah hutan terlalu jauh dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat dimaklumi karena kegiatan meugle lebih banyak dilakukan oleh pegawai dan orang-orang kaya yang hidup di kota.

Sementara itu, bukit atau hutan saat ini lebih banyak dijadikan kebun untuk menanam cengkeh, kelapa, atau jambu. Pemeliharaan tanaman ini dianggap lebih menguntungkan karena tahan lama dan tidak banyak memerlukan air. Hal ini berbeda jika dibuat ladang dan ditanami padi, di mana harus ditunggui dan selalu diperiksa airnya. Pembukaan lahan kebun juga banyak diupahkan, karena para pemilik kebun memilih bekerja lain.

Kecenderungan mengupah untuk kegiatan meugle sedikit banyak juga mempengaruhi warga pedesaan, karena orang desa juga banyak yang menjadi pegawai dan tidak lagi suka turun ke ladang. Akibatnya, kegiatan-kegiatan yang dahulu biasa dikerjakan secara gotong-royong mulai hilang karena mereka tidak mau repot menyediakan makanan. Para pekerja pun jadi berpikir singkat, mereka lebih suka diupah karena bisa menghasilkan uang dengan cepat.

Hilangnya tradisi meugle dapat dikatakan karena individualisme dan runtuhnya kolektivitas masyarakat. Kemodernan yang tampak memudahkan kehidupan manusia memiliki sisi negatif bagi kehidupan masyarakat. Ironisnya, banyak orang melihat ini sebagai sebuah kewajaran. Padahal, hilangnya tradisi gotong-royong adalah hilangnya budi pekerti.

Rasa kebersamaan merupakan budi pekerti yang sebenarnya dapat menghindarkan manusia dari kesusahan. Bayangkan, jika semua orang menjunjung tinggi semangat gotong-royong, maka bagi mereka yang memiliki kehidupan ekonomi yang kurang beruntung akan dibantu oleh sesama.

Tidak dapat dipungkiri, rasa kebersamaan di dalam masyarakat Aceh saat ini sudah hampir punah. Seyogyanya, meskipun saat ini tanah, sawah, ladang, dan kebun sudah berkurang, namun jika masyarakat masih memelihara semangat gotong-royong, maka orang yang hidup di kota atau di desa, dan tidak menjadi petani, niscaya rasa kebersamaan akan senantiasa terjaga.

(Opini ini pernah dimuat di www.MelayuOnline.com)

















Komentar

Postingan Populer