Mendaki Demi Bangsa

Oleh Empuesa

Kabar gembira itu datang dari puncak Everest. Sekelompok anak muda Indonesia berhasil menaklukkan ganasnya udara dingin dan kerasnya medan gunung tertinggi di dunia itu. Mereka adalah Tim Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Katholik Parahyangan, yang terdiri dari Broery Andrew Sihombing (23), Jonathan Ginting (23), Sofyan Arief Fesa (28) dan Xaferius Frans (24). 

Tim ini ditemani pemandu dari Mountain Experience, Hiroyuki Kuraoka, serta Pemba Nuru dan Gelgen Dorji. Dua nama terakhir adalah sherpa, pemandu gunung dari penduduk lokal yang bertugas membawa barang-barang untuk pendakian. Tim mencapai puncak Everest tidak secara bersamaan. Jumat pukul 05.22 waktu setempat, Broery Andrew Sihombing berhasil menapak puncak Everest setelah mendaki selama 7 jam. Hari yang membanggakan itu adalah tanggal 20 Mei 2011, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
 
Tentang Everest
 
Gunung Everest adalah gunung tertinggi di dunia jika diukur dari paras laut. Terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet, dengan puncak berada di Tibet. Di Nepal, gunung ini disebut Sagarmatha atau "Dahi Langit", sedangkan orang Tibet menyebutnya Chomolangma atau Qomolangma yang berarti "Bunda Semesta". Pemberian nama Everest dalam bahasa Inggris diambil dari seorang Inggris bernama George Everest, ketika India masih menjadi koloni Inggris.

Adalah Radhanat Sikdar, orang Bengal, India, yang dipercaya sebagai orang pertama yang mengukur gunung ini menggunakan perhitungan trigonometrik pada tahun 1852. Jadi, menurut orang India, nama untuk gunung itu seharusnya Gunung Sikdar. Everest dipercaya memiliki ketinggian sekitar 8.850 meter, meskipun ukuran ini belum disahkan secara resmi.

Sejak dinyatakan aman untuk dinaiki, Everest menjadi gunung yang banyak diminati. Everest menjadi lokasi pendakian yang banyak diminati meskipun medannya cukup berat, belum lagi cuacanya yang terkadang tidak menentu dan suhu udara yang teramat dingin. Edmund Hillary dan Tenzing Norgay diyakini sebagai orang pertama yang mampu mencapai puncak Everest pada tahun 1953.

Sikap pada Gunung
 
Menurut kesaksian para pendaki, gunung yang mereka daki biasanya bersih dari sampah. Negara mewajibkan para pendaki membawa plastik untuk menampung sampah yang hendak mereka buang. Sampah harus diletakkan di tempat yang telah ditentukan dan kemudian akan diangkut dengan pesawat untuk dibuang. Jika aturan ini dillanggar, maka akan dikenai denda. Pengelola gunung juga menyediakan tempat-tempat tertentu bagi para pendaki untuk membuang hajat, yang biasanya ditandai dengan bendera hitam. Di luar tempat-tempat yang telah ditentukan tersebut, orang dilarang keras untuk buang hajat sembarangan. Selain itu, di setiap basecamp, pengelola juga menyediakan rumah tenda untuk menginap, lengkap dengan penghangat. Semuanya didanai dari karcis masuk dan sponsor.

Sikap pada gunung yang bersahaja ini berefek pada persepsi orang terhadap negara tempat di mana gunung itu berada. Sikap ini tentu saja berasal kesadaran pentingnya gunung dalam kehidupan. Gunung tidak hanya dipandang sebagai gundukan tanah semata, melainkan juga simbol kepribadian masyarakatnya. Bagaimana dengan gunung di Indonesia? Gunung-gunung di negeri ini belum dikelola sebagai tempat pendakian yang menyenangkan. Tidak ada fasilitas yang memadai bagi pendaki, demikian pula dengan perilaku pendaki sendiri yang masih belum sadar lingkungan.

Realitas ini tentu saja sangat berbeda dengan perilaku leluhur zaman dulu yang terkenal dekat dengan alam. Tengoklah perilaku Suku Kubu di Jambi, orang-orang Dayak di Kalimantan, suku Tengger di Bromo, atau Suku Bayan di Lereng Rinjani, Lombok. Alam bagi mereka adalah pelindung. Sedari dulu leluhur mengajarkan agar memperlakukan gunung dan hutan seperti makhluk yang bernyawa. Sayangnya, kisah mereka itu kini hanya terekam dalam cerita dongeng.

Demi Bangsa
 
Apa yang bisa dipelajari dari keberhasilan pemuda-pemuda pecinta gunung ini? Tidak lain adalah pembangunan karakter bangsa melalui olahraga. Demi mengharumkan nama bangsa, mereka rela menapaki puncak dunia yang penuh risiko. Selain itu, prestasi ini juga menjadi kritik bagi kita, bisakah kita arif dalam menyikapi gunung?

Mencapai puncak gunung-gunung tinggi di dunia bukanlah yang pertama bagi pemuda-pemuda pecinta gunung ini. Everest adalah puncak keenam yang berhasil capai. Sebelumnya mereka telah menapaki puncak Carstensz Pyramid (Papua), Kilimanjaro (Tanzania), Elbrus (Rusia), dan Vinson (Antartika). Setelah menaklukkan puncak Aconcagua (Argentina), pada bulan Juni mendatang mereka akan melanjutkan mendaki puncak Denali (Alaska).

Keberhasilan para pemuda Indonesia ini tentu saja membanggakan karena di tengah kondisi bangsa yang carut-marut, segelintir anak negeri masih bisa meraih prestasi. Dalam konteks ini, pendakian oleh para pemuda Indonesia ini menjadi bukti nasionalisme alias kecintaan mereka terhadap bangsa dan negara.

(Kolom ini pernah dimuat di www.WisataMelayu.com)



Komentar

Postingan Populer