Mengenal Ragam Kereta Kuda

Oleh  Empuesa 

Saat aku masih belia, sebuah gerobak yang ditarik oleh sapi selalu membuatku ingin berlari, melompat, menggelayutkan tanganku ke gerobak itu. Cikar, sebutan untuk gerobak sapi itu, digunakan untuk mengangkut padi dan hasil pertanian di kampungku, sebuah desa kecil di Madiun, Jawa Timur. 

Saat ini, cikar sudah tidak terlihat lagi dan digantikan oleh lalu lintas kendaraan bermotor yang semrawut. Ketika aku menempuh studi di Yogyakarta, aku juga tidak melihat cikar. Namun aku menyaksikan kendaraan yang nyaris sama, tapi bukan ditarik oleh sapi, melainkan kuda. Orang menyebutnya andong, sebagian lain menyebut delman. Jika cikar beroda dua, andong atau delman ini beroda empat.

Saat aku berkunjung ke Museum Kereta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, aku melihat andong atau delman dengan berbagai model. Ada delman yang seperti umumnya aku lihat di Malioboro, namun ada juga yang mewah dengan model tinggi dan ditarik oleh lebih dari 4 kuda. Menurut cerita petugas museum, kereta itu khusus untuk raja dan keluarga raja di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ragam dan Fungsi Kereta
 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga cetakan Balai Pustaka tahun 2005, kata kereta diartikan sebagai kendaraan yang beroda (biasanya ditarik dengan kuda). Namun, arti ini oleh umumnya masyarakat masih dianggap belum jelas, karena ada juga kereta api tanpa kuda. Masyarakatpun memperjelas sendiri menjadi kereta kuda. Kereta kuda ada yang beroda 2 dan ada juga yang beroda 4.

Seiring perkembangan transportasi, kereta kuda yang dulunya hampir ada di sebagian besar tempat di Indonesia, kini mulai hilang. Akan tetapi tidak dengan di beberapa daerah, seperti di Yogyakarta, Surakarta, atau Cirebon. Di luar Jawa, kereta dalam bentuk dan sebutan berbeda juga masih ada, seperti di Lombok yang disebut cidomo, kereta yang kerap dijadikan sebagai angkutan wisata.

Dalam sejarahnya, ternyata kereta kuda memiliki sebutan dan fungsi yang berbeda-beda, antara lain:
  • Kahar. Kereta raga mini ini dulu banyak dipakai di Batavia (Jakarta) sebagai alat angkutan. Kahar beroda 2, ditarik oleh seekor kuda. Namun, jika dibawa untuk ke tempat yang jauh, kahar ditarik dengan 4 ekor kuda.
  • Sado. Sebutan ini berasal dari kata "dos ados" yang artinya beradu punggung (bahasa Prancis). Sado umumnya berpenumpang 4 orang. Dua orang duduk di jok depan bersama kusir dan dua lainnya duduk di jok belakang dengan posisi saling membelakangi. Tampilan sado lebih pendek sehingga gampang dinaiki, berbeda dengan kahar yang bermodel tinggi.
  • Delman. Nama kereta jenis ini diambil dari nama penciptanya, seorang Belanda bernama Charles Theodore Deeleman. Kereta kuda jenis ini sering dianggap mewah karena banyak dipergunakan oleh orang Belanda dan kaum bangsawan.
  • Palanklijm. Kereta jenis ini banyak dipergunakan oleh orang-orang Cina pemilik toko besar. Palanklijm beroda 4, ditarik oleh 2 ekor kuda, dan berpenumpang empat orang yang semuanya duduk berhadapan. Di masanya, palanklijm disebut kereta istimewa karena penutupnya yang dapat dibuka dan ditutup kembali serta memiliki dua jendela yang berjeruji.
  • Embro. Kereta kuda yang dilengkapi dengan tenda, beroda 4, dan ditarik 2 ekor kuda. Nama embro diambil dari nama perusahaan kendaraan Belanda pertama di Batavia, yakni singkatan dari Eerste Bataviasche Ritjuig Onderneming (EMBRO).
  • Ropo. Kereta jenis ini juga disebut berdasarkan perusahaan pembuatnya, yakni Ritjuig Onderneming Petodjo Oost (ROPO) yang artinya “Perusahaan Kendaraan Petojo Timur”. Ropo mirip dengan andong namun lebih bagus bentuknya.
  • Milor. Kereta jenis ini berbentuk terbuka. Umumnya disediakan di hotel-hotel di Batavia untuk disewa. Bentuk Milor lebih panjang dibanding kereta-kereta lainnya, beroda 4 di mana 2 roda belakang lebih besar dari roda depan.
  • Andong. Kereta jenis masih banyak kita lihat di Yogyakarta atau di Surakarta. Kereta ini beroda empat dan ditarik oleh satu atau 2 ekor kuda.
Mari Lestarikan Kereta
 
Andong saat ini masih dilestarikan sebagai kendaraan umum maupun untuk upacara adat istana. Meskipun demikian, andong tidak luput dari kritik dan gerutu orang. Kotoran kuda yang berbau tidak sedap terkadang mengotori jalanan. Belum lagi andong juga dianggap membuat macet jalan. Tidak sedikit pengendara mobil yang dongkol jika beriringan dengan andong.

Para pemerhati budaya rupanya tersinggung dengan gerutu ini. Apalah artinya bau kotoran kuda dibanding dengan banyaknya kendaraan bermotor yang membuat jalanan semrawut, asapnya yang membuat polusi udara, dan suara bisingnya yang dituding sebagai biangnya polusi suara?

Bagi mereka yang memiliki kesadaran lingkungan yang baik, tentunya akan lebih memilih andong daripada kendaraan bermotor. Bagaimanapun, polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor lebih besar dan berbahaya ketimbang sekadar kotoran kuda. Jika demikian adanya, sudah selayaknya kita melestarikan kendaraan tradisional ini bukan? Mungkin tidak harus seesktrim dengan kereta kuda, sepeda pun juga bisa.

(Kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)



Komentar

Postingan Populer