Mengenang Ki Timbul Hadiprayitno

Oleh Empuesa 

Kamis, 12 Mei 2011, kabar duka itu datang dari Dusun Patalan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sang dalang kondang, Ki Timbul Hadiprayitno, wafat pada usia 79 tahun. Almarhum adalah seorang dalang wayang kulit yang juga tercatat sebagai abdi dalem Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Mas Rio Cermo Manggala.

Selama hidupnya, Ki Timbul dikenal sebagai dalang yang teguh memegang pakem. Ia resah dan tidak setuju apabila pementasan wayang kulit diselingi dengan suguhan dagelan (lawak), meskipun itu dilakukan dengan tujuan untuk menghibur penonton. Seperti dikutip dari Tempo, edisi 16 Mei 2011, Ki Timbul menganggap bahwa dagelan yang masuk ke jagat kelir wayang ibarat celana dalam yang dipakai untuk ikat kepala.

Ki Timbul bersikukuh, pementasan wayang kulit tetap menjadi ajaran, bukan hanya hiburan semata. Jika sudah menjadi hiburan, maka di kemudian hari orang akan enggan menonton wayang apabila tidak ada hiburannya. Hiburan yang digemari orang sekarang adalah lawak yang bisa membuat orang tertawa. Ironisnya, sosok pelawak yang dihadirkan justru tidak paham mengenai wayang, yang penting bisa membuat penonton senang.

Apa yang digugat Ki Timbul kini terbukti. Pada setiap pementasan wayang kulit, orang akan bertanya, siapa dagelannya? Ini berbeda dengan orang dulu di mana para penonton akan bertanya, siapa dalangnya? Apa lakon wayangnya? Oleh karena itu, orang zaman dulu sangat mengenal karakter masing-masing dalang. Jika dilihat dari sisi ini, pementasan wayang kulit saat ini boleh jadi telah mengalami kemunduran kualitas karena mulai hilangnya ajaran yang terkandung dalam pementasan wayang.

Wayang adalah kesenian khas Jawa, yang mengangkat kisah-kisah legendaris dari cerita Mahabarata atau Ramayana. Ketika wayang mendapat sentuhan para Walisongo sebagai penyebar agama Islam di Jawa, pementasan wayang kulit menjadi media dakwah. Istilah wayang sendiri diduga berasal kata Ma Hyang yang artinya “menuju kepada Yang Maha Esa”.

Antara Untung dan Rugi
Dalam sebuah pementasan wayang kulit, tampaknya juga ada ketakutan dari pihak panitia. Jika tidak ada dagelannya bisa membuat penonton tidak mau datang sehingga panitia pun merugi. Selain itu, dagelan didatangkan untuk “merayu” anak muda agar mau menonton. Tidak heran jika pelawak dalam suatu pementasan wayang didampingi oleh artis, biasanya perempuan, untuk menarik minat penonton. Upaya inipun berhasil, apalagi ditambah dengan promosi sponsor.

Ketakutan panitia bermuara pada perhitungan untung dan rugi. Tidak dapat dipungkiri, saat ini membuat pementasan wayang kulit memerlukan biaya yang cukup besar. Bahkan, banyak dalang yang memasang tarif. Jika panitia ingin mengundang dalang terkenal tertentu, maka ia harus memanggil pelawak yang terkenal pula, untuk menutup pengeluaran dari hasil penjualan tiket.

“Kekolotan” Ki Timbul seringkali membuat banyak dalang yang tidak suka kepadanya karena Ki Timbul biasanya memasang tarif yang paling murah. Bagi Ki Timbul, kualitas dalang tidak ditentukan oleh mahalnya ongkos pentas, melainkan kemahiran seorang dalang dalam mengupas sebuah cerita wayang. Pola pikir untung-rugi memang tidak ada salahnya. Hanya saja, pementasan wayang yang ditujukan untuk dakwah seringkali berubah menjadi sekadar hiburan belaka.

Mencari Dalang Berprinsip
Wafatnya Ki Timbul Hadiprayitno memunculkan kerinduan pada sosok dalang yang kukuh. Rela hidup susah tapi tetap memegang prinsip, dan tentunya tidak merasa malu dan hina karena kemelaratannya. Bagaimanapun, jagad kesenian tradisional sekarang sudah terkena imbas sistem bisnis modern yang selalu memperhitungkan untung dan ruginya.

Bagi para pemerhati budaya tradisional, wafatnya dalang seperti Ki Timbul menjadi sebuah kehilangan besar. Besar karena Ki Timbul adalah dalang besar. Besar karena kekukuhannya dalam mempertahankan keaslian tradisi. Tidak banyak sosok dalang seperti Ki Timbul. Korelasinya adalah bahwa di tengah pementasan wayang yang menonjolkan hiburan, kemurnian seni tradisional penting untuk dipertahankan, karena itu adalah wujud keaslian olah rasa manusia. Selamat jalan, Ki Timbul.
(Esai ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)

Komentar

Postingan Populer