Tenun Sulawesi Selatan

Secara umum, ragam hias tenun khas Sulawesi Selatan dibuat dengan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan peralatan dari kayu dan pewarna alami. Keterikatan manusia dengan alam dan lingkungan menjadi tema atau simbol yang khas dari tenun Sulsel. 
 
1. Asal-usul

Sulawesi Selatan (Sulsel) cukup terkenal dengan hasil seni tenunnya. Perkembangan tenun di Sulsel bermula dari pemakaian benang sutera yang dihias dengan benang perak dan emas pada abad ke-15 dan 16 M. Di waktu yang hampir bersamaan, masyarakat di Indonesia telah membudidayakan tumbuhan murbei dan memelihara ulat sutera dengan diawali di Palembang dan menyusul kemudian di Tajuncu, Sulsel (Sahriah dkk., 1990/1991).

Ragam hias tenun di Sulsel dibuat dengan cara tradisional, yaitu menggunakan peralatan dari kayu dan pewarna tradisional. Ragam hias tenun Sulsel meliputi tiga corak, yaitu geometris, antropomorfis (manusia), zoomorfis (hewan), dan floralistis (tumbuh-tumbuhan). Bentuk berbagai ragam hias tersebut ada yang mengandung simbol tertentu atau hanya sekadar hiasan bernilai seni. Keterikatan manusia dengan alam dan lingkungan menjadi tema atau simbol yang khas dari tenun Sulsel (Sahriah dkk, 1990/1991; Abdul Kahar Wahid, 1988). 

Tenun Sulsel sebagai salah satu warisan leluhur masih dijaga kelestariannya sampai saat ini. Para perajin di pedesaan Sulsel masih memproduksi tenun, baik untuk pakaian keseharian, keperluan upacara adat, atau untuk dijual.

2. Jenis-jenis Tenun Sulsel

Tenun Sulsel terdiri dari beragam jenis, antara lain:

· Lipa Wennang (Sarung Benang Kapas)
Berbahan dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, berasal dari Kabupaten Bone. Lipa Wennang bercorak geometris dengan motif kotak-kotak dan umumnya berwarna hitam dan biru kabur. Pada bagian kepala sarung, terdapat garis-garis rapat berwarna biru kabur.

· Lipa Garrusu (Sarung untuk Upacara Tradisional)
Berbahan dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, juga dari Kabupaten Bone. Tenun jenis ini bercorak geometris dengan motif segiempat atau kotak-kotak kecil berwarna dasar biru tua. Bagian kepala bercorak garis-garis vertikal agak jarang dengan warna sama.

· Sekomandi
Berbahan dasar kapas dan ditenun dengan cara tradisional, paling banyak dihasilkan di Kabupaten Mamuju. Tenun jenis ini bercorak geometris dengan motif garis-garis, tumpal, mendaer, dan swastika dengan warna biru, hitam, krem, dan cokelat. Kedua ujung sekomandi dibuat berumbai dan biasa digunakan untuk selimut.

· Pori Londong
Berbahan dasar kapas dan ditenun secara tradisional dengan teknik ikat lungsi. Tenun dari Kabupaten Mamuju ini umumnya bercorak bunga, ketupak, sulur-sulur bunga, dan segitiga pucuk rebung. Berwarna biru, hitam, dan krem dengan dasar warna cokelat. Kedua ujung tenun ini dibuat rumbai dan umumnya digunakan untuk taplak meja.

· Sekeng Sirendeng Sipomande
Berbahan dasar kapas dan ditenun secara tradisional, berasal dari Kabupaten Luwu. Ragam hiasnya geometris garis-garis vertikal dengan pucuk rebung dan belah ketupat. Warna hitam, biru, dan krem dengan dasar cokelat. Ujung tenun dibuat berumbai dan biasanya digunakan untuk taplak meja.

· Rundung Lolo
Berbahan dasar kapas dan ditenun secara tradisional, dari Kabupaten Luwu. Corak ragam hias berupa garis-garis sejajar dengan pucuk rebung atau gunung berjejer. Warna hitam, biru, dan cokelat kehitaman. Tenun jenis berfungsi sebagai penutup mayat.

· Pori Situtu
Berbahan dasar kapas dan ditenun secara tradisonal, berasal dari Kabupaten Luwu. Corak ragam hias berbentuk kali dan swastika serta kedua ujung jenun dihiasi pucuk rebung. Warna cokelat, hitam, dan krem. Kain ini umumnya difungsikan untuk alas atau tikar dalam pesta adat karena secara filosofis menyimbolkan pandangan hidup masyarakat Luwu dalam menjaga kesatuan suku.

· Tenun Toraja
Berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias garis-garis sejajar rapat berwarna kuning, putih, merah, dan cokelat. Kedua ujung kain dibuat berumbai dan biasanya digunakan untuk sarung saat upacara adat di Tana Toraja.

· Pesambo
Berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias teknik songket berupa belah ketupat di mana bagian tengahnya dipagari garis vertikal dan horisontal berwarna kuning, putih, di atas warna merah. Kain ini biasa digunakan untuk taplak meja oleh masyarakat Tana Toraja.

· Kain Toraja
Berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional. Bercorak ragam hias teknik ikat berupa kepala kerbau dan belah ketupat. Warna cokelat, hitam, biru, dan krem. Kain ini biasa digunakan untuk penutup jenazah oleh masyarakat Tana Toraja.

· Sarung Sutera Mandar
Berbahan dasar benang sutera dan ditenun secara tradisional. Beragam hias garis vertikal warna hijau, kuning, merah, benang emas di atas dasar warna cokelat. Pada bagian kepala sarung, diberi hiasan tangkai bunga dengan teknik ikat pakan. Kain biasa digunakan saat upacara adat atau untuk bepergian. Kain ini banyak diproduski oleh masyarakat Polmas.

· Gambara
Tenun jenis ini berbahan dasar benang katun dan dibuat secara tradisional, berasal dari Bulukumba. Bercorak ragam hias teknik ikat pakan dan lungsi berupa geometris yang dipadukan dengan bunga-bunga. Pada bagian kepala kain, dihias dengan pucuk rebung berhadap-hadapan warna merah hati, kuning, putih, jingga, dan hitam. Gambara dicetak dan tiga jenis ragam hias berbeda. Kain ini biasanya digunakan untuk penutup jenazah.

· Sarung Kajang
Tenun jenis ini mirip dengan jenis Lipa Garrusu dari Kabupaten Bone, namun yang ini berasal dari Kajang, Bulukumba.

· Sarung Sutera
Tenun ini berbahas dasar sutera dan ditenun dengan cara tradisional. Ragam hias dibuat dengan teknik ikat pakan berupa cobo-cobo (segitiga berjejer) berwarna biru muda dan biru tua. Kain ini biasanya digunakan untuk upacara adat di Kabupaten Gowa dan diproduksi dalam berbagai ragam hias dan corak dari Wajo.

· Sarung Curak Cinta
Tenun jenis ini berasal dari Kabupaten Bantaeng dengan sarung berbahan katun dan ditenun secara tradisional. Beragam hias geometris berupa kotak-kotak kecil warna merah. Kain ini merupakan pakaian perempuan saat upacara adat.

· Sarung Samarinda
Tenun ini merupakan produk lain dari Kabupaten Wajo. Berbahan benang katun dan umumnya ditenun secara tradisional, tenun ini memilik ragam hias dengan bentuk garis-garis berpadu bunga-bunga dengan teknik ikat pakan. Oleh masyarakat Wajo, kain ini biasa digunakan untuk bepergian. Sarung Samarinda dicetak dalam tiga model dengan ragam hias yang berbeda.
3. Bahan dan Cara Pembuatan
Bahan yang digunakan untuk membuat tenun di Sulsel meliputi benang dari kapas, benang katun, benang emas, benang wol, dan benang sutera. Sedangkan peralatan yang dibutuhkan meliputi alat dari kayu untuk mengulur, menggulung, dan menyusun benang, serta untuk mengatur dan menyelipkan benang tenun songket, menggulung kain yang sudah ditenun, dan tempat kaki berpijak. Bahan lain yang perlu disiapkan adalah pewarna tradisional, seperti kesumba (nila) dan daun kabuau untuk warna hitam. Daun kabuau direbus kemudian bahan yang akan diwarnai dicelupkan ke dalam rebusan.
Untuk cara pembuatan, tenun Sulsel umumnya menggunakan dua teknik desain, yaitu pakan dan lungsi. Dalam perkembangannya, keduanya ditambah teknik songket. Cara membuatnya dengan menyisipkan benang tambahan di atas dan di bawah silangan benang lungsi dan benang pakan sesuai pola corak ragam hias yang diinginkan. Penambahan benang dilakukan dengan cara mengangkat atau mencungkil beberapa helai benang lungsi dan menyisipkannya di antara rongga jalinan benang pakan dan benang lungsi.
4. Fungsi Tenun Sulsel
Tenun Sulsel memiliki banyak fungsi sesuai dengan daerah asalnya masing-masing. Meskipun demikian, secara umum, tenun Sulsel di antaranya berfungsi untuk pakaian sehari-hari, pakaian upacara adat, penutup jenazah, alat denda dalam hukum adat, pelengkap perkawinan adat, dan untuk bepergian.
5. Nilai-nilai
Tenun Sulsel mengandung nilai-nilai tertentu bagi kehidupan masyarakat setempat, antara lain:
  • Ekonomi. Tenun Sulsel dibuat tidak hanya untuk konsumsi pribadi, namun juga untuk dijual. Harga tenun yang berbahan dasar emas dan sutera dikenal mahal. Dengan corak tertentu, selembar kain tenun Sulsel bisa dihargai hingga jutaan rupiah. Secara ekonomi, hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sulsel.
  • Pelestarian tradisi. Tenun Sulsel merupakan peninggalan leluhur yang berharga. Hingga kini, keberadaan tenun Sulsel masih cukup terjaga. Keterjagaan tenun Sulsel ini juga didukung oleh pelaksanaan upacara adat yang sering menggunakan kain tenun.
  • Simbol. Nilai ini tercermin dari penggunaan ragam hias yang oleh masyarakat Sulsel untuk perlambangan sesuatu. Bunga dan bentuk geometris dipercaya menyimbolkan semangat tertentu dalam hidup orang Sulsel.
  • Seni. Ragam hias dan tenun sendiri merupakan seni. Tanpa mempunyai jiwa seni, orang Sulsel tidak mungkin dapat menciptakan kain tenun yang indah dilihat dan nyaman dipakai.
  • Kelas sosial. Bagi masyarakat Sulsel, memakai tenun adalah sebuah kebanggaan dan menyatakan identitas status sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Penutup
Tenun Sulsel merupakan salah satu warisan leluhur yang harus dilestarikan keberadaannya. Adanya tenun Sulsel ini semakin memperkaya keberagaman hasil budaya yang dimiliki bangsa Melayu Serumpun.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Sahriah dkk,, 1990/1991. Ragam Hias Tenunan Nusantara. Sulawesi Selatan: Proyek Pembinaan Permuseuman.
  • Rukmini, 1979. Tenun Tradisional Bugis Makasar. Sulawesi Selatan: Proyek Pembinaan Permuseuman.
  • Abdul Kahar Wahid, 1988. Ragam Hias Sulawesi Selatan dan Pengembangannya. Disampaikan dalam Ceramah pembukaan Pameran Khusus Ragam Hias Tradisional Sulawesi Selatan di Museum Negeri La Galigo.





Komentar

Postingan Populer