Meusaraya

Meusaraya atau Meuramee Meuneugoe adalah konsep gotong-royong yang diterapkan dalam kehidupan pertanian tradisional oleh masyarakat Melayu Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tradisi gotong-royong orang Aceh ini dilakukan secara timbal-balik atau bergiliran tanpa menuntut pamrih. 

1. Asal-usul

Orang Aceh yang bermukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dikenal memiliki budaya pergaulan sosial yang mengandung nilai-nilai budi pekerti, salah satunya adalah tradisi Meusaraya atau Meuramee Meuneugoe. Meusaraya adalah suatu konsep gotong royong dalam kehidupan pertanian tradisional orang Aceh. Tradisi yang sudah ada sejak Aceh masih berwujud pemerintahan kerajaan ini dilakukan dengan timbal-balik atau bergiliran tanpa memperhitungkan imbalan. Di era kolonial, Meusaraya pernah disalahgunakan oleh penjajah Belanda dalam bentuk kerja paksa (T. Syamsudin dkk, 1979/1980).

Pada zaman dahulu, para ketua adat di Aceh memiliki hak untuk mengerahkan warganya sehubungan dengan pekerjaan demi kepentingan umum, misalnya kerja bakti membangun masjid, pesantren, jalan, rumah warga, dan sebagainya. Para pemuka adat atau pemilik rumah akan menyediakan makan dan minum secukupnya untuk para warga yang bekerja bakti (Rusdi Sufi et.al., 2004).

Tradisi gotong-royong ini meliputi hampir seluruh proses menanam padi, dari mulai membajak sawah hingga memanen padi dan membawanya ke rumah pemilik sawah. Warga Aceh biasanya cukup antusias dalam melakukan kegiatan gotong royong ini karena pekerjaan tidak lagi terasa berat sebab dikerjakan secara massal. Selain itu, solidaritas antar warga menjadi semakin kuat (T. Syamsudin dkk, 1979/1980).

2. Konsep Meusaraya atau Meuramee Meuneugoe
Tradisi Meusaraya umumnya diwujudkan dalam kegiatan sosial bidang pertanian meuneugoe, yakni pengerjaan seluruh tahap dalam penanaman padi. Tahap meuneugoe meliputi muue (membajak tanah), bohateueng (membuat pematang sawah), seumula (menanam padi), meuempoe (membuang rumput), keumeukoh (menuai padi), ceumeulhe (menggirik padi), keumekrui (membersihkan gabah), dan meuangkot (membawa gabah ke rumah). Berikut ini adalah sedikit penjelasannya.
  • Muue (membajak tanah). Proses ini pada dasarnya dapat dilakukan oleh pemilik tanah sendiri. Namun, karena terkadang tanahnya luas, maka kemudian ia meminta kepada sanak keluarga atau warga desa untuk membantunya. Tidak terdapat imbalan dalam pemberian bantuan ini, pemilik tanah hanya menyediakan makan dan minum selayaknya.
  • Bohateueng (membuat pematang sawah). Proses ini biasanya segera dilakukan setelah proses membajak tanah selesai.
  • Seumula (menanam padi). Pada umumnya, proses ini dilakukan oleh kaum laki-laki. Apabila kaum perempuan turut berpartisipasi, maka proses menanam padi dilakukan dalam dua cara, yaitu me urup dan meu uroe. Meu urup adalah gotong-royong menanam padi oleh kaum perempuan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari 15-20 orang. Masing-masing anggota memiliki sejumlah petak sawah yang sama. Jika ada anggota yang tidak memiliki sawah sendiri untuk ditanami, maka ia mengambil upah dari anggota kelompok yang kelebihan sawahnya atau dari orang lain. Model ini umumnya yang banyak disukai mengingat proses ini harus dilakukan dalam waktu yang singkat dan sama, agar padi nantinya dapat dipanen secara bersamaan.
  • Meu uroe adalah pengerjaan dalam bentuk kelompok namun tidak diperhitungkan jumlah atau ukuran sawah masing-masing anggota. Tiap-tiap anggota menghitung sendiri berapa hari ia telah memberikan pertolongan kepada masing-masing anggotanya dan dari siapa saja ia telah menerima pertolongan. Selain kedua model itu, kaum perempuan petani Aceh juga membuat kelompok untuk mengambil ongkos menanam padi. Model ini disebut meuripee, yakni sekelompok perempuan yang bersama-sama menanam padi dengan mengambil ongkos. Uang yang diperoleh tersebut lalu dibagi sama rata untuk semua anggota.
  • Meuuempoe (membuang rumput atau menyiangi padi). Pada umumnya, proses ini dilakukan oleh keluarga inti pemilk tanah. Akan tetapi, banyak juga yang dibantu oleh kerabat dan warga. Bantuan ini akan dibalas secara timbal-balik, atau bisa juga pemilik tanah akan memberi hadiah berupa uang telah ditentukan lebih dulu.
  • Keumeukoh (menuai padi). Proses ini biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Dalam melaksanakan keumeukoh, tuan rumah menyediakan sarapan pagi dan makan minum selama pekerjaan berlangsung.
  • Ceumelheu (memotong padi). Proses ini dilakukan oleh kaum kaum laki-laki dengan berkelompok antara 15-20 orang. Sama seperti keumeukoh, tuan rumah menyediakan sarapan pagi dan makan minum selama pekerjaan dilakukan.
  • Keumeurui (membersihkan gabah). Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh istri dan anak pemilik sawah. Namun, bisa juga dibantu oleh 2 atau 3 orang kerabat atau warga yang dekat. Warga yang membantu nantinya akan diberi imbalan berupa gabah. Kegiatan ini tidak dilakukan secara timbal-balik. Tuan rumah hanya memberikan kopi dan makan siang selama kegiatan. Proses ini tidak hanya membersihkan gabah, namun juga memasukkan gabah dalam karung sebelum dibawa ke rumah.
  • Meuangkot (membawa padi ke rumah). Proses ini biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Warga yang membantu hanya diberikan makan siang dan minum kopi. Kegiatan ini tidak dilakukan secara timbal-balik.
3. Nilai-nilai
Pengetahuan orang Aceh tentang Meusaraya atau Meuramee Meuneugoe dalam kehidupan pertanian tradisional mereka mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain:
  • Harmoni masyarakat. Tradisi gotong-royong dalam bidang pertanian ini menguatkan harmoni kehidupan masyarakat Aceh. Dengan bergotong-royong, segala kesusahan dapat mereka diselesaikan dengan baik.
  • Melestarikan tradisi. Pelaksanaan etika pergaulan Meuramee Meuneugoe ini menjadi bukti bahwa pelestarian tradisi leluhur adalah hal yang penting untuk dilakukan dan patut diapresiasi.
  • Menghargai sesama manusia. Etika pergaulan Meuramee Meuneugoe adalah wujud penghargaan sesama manusia. Gotong-royong ini menjadi simbol kebudayaan agraris orang Aceh yang sangat menghargai sesama.
  • Menjaga adat. Etika pergaulan masyarakat ini juga mengandung nilai menjaga adat, karena para petani Aceh menjadikannya sebagai pedoman dalam mengolah sawah. Sayangnya, seiring perkembangan zaman dan menyusutnya tanah pertanian, tradisi ini mulai jarang dilakukan.
  • Menerapkan ajaran agama. Mayoritas orang Aceh memeluk agama Islam dan Islam mengajarkan agar sesama manusia saling membantu. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi ini secara tidak langsung merupakan pelaksanaan ajaran agama Islam.
  • Menjaga persatuan dan kesatuan. Gotong-royong adalah pondasi yang kuat untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan etika ini adalah upaya penguatan pondasi sosial tersebut.
4. Penutup
Tradisi Meusaraya atau Meuramee Meuneugoe memiliki nilai etika sosial yang luhur. Gotong-royong merupakan salah satu kunci untuk mempertahankan kehidupan sosial dengan saling melengkapi kekurangan masing-masing. Di tengah menyusutnya lahan pertanian dan kecenderungan masyarakat yang lebih suka menjual sawah untuk dijadikan perumahan yang memiliki kehidupan sosial yang berbeda dengan masyarakat agraris, selayaknya jika tradisi ini digalakkan kembali.

(Kolom ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)
Referensi
  • ------, 1998/1999. Perkampungan di Perkotaan sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin Kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
  • Rusdi Sufi & Agus B. Wibowo, 2004. Ragam Sejarah Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
  • Rusdi Sufi, et.al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • T. Syamsudin dkk, 1979/1980. Sistim Gotong-royong dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.





Komentar

Postingan Populer