Reklame dan Mural di Kota Jogja

Oleh Empuesa

Dalam konteks pariwisata dan ekonomi global, reklame dan mural memang penting. Dengan adanya reklame dan mural, program-program pariwisata akan mudah tersampaikan. Jalan raya yang dihiasi berbagai macam reklame satu sisi memang baik, begitu juga dengan mural. Apalagi reklame dan mural itu berisi slogan atau kata-kata yang mencerahkan. Namun, jika reklame itu terlalu banyak, tidak rapi, dan tidak teratur, maka justru akan membuat wajah kota menjadi kotor, tidak sedap dipandang, dan mengganggu pengguna jalan.

Sekilas Tentang Reklame

Definisi reklame adalah media periklanan besar yang ditempatkan pada ruang yang sering dilalui orang, misalnya pada sisi persimpangan jalan raya yang padat. Reklame berisi ilustrasi yang menarik dan disertai dengan slogan, yang ditujukan untuk dilihat pengguna jalan yang melewatinya.

Saya mencermati, banyak orang yang menganggap berbeda antara reklame dan iklan. Reklame untuk di luar ruangan, sedangkan iklan di dalam. Padahal, jika ditinjau dari sisi etimologinya, keduanya mempunyai makna yang setara, yakni berupa kegiatan penyampaian informasi atau promosi ke masyarakat. Kata reklame dari bahasa Latin re (berulang) dan clame (seruan). Sementara itu, kata iklan dari bahasa Arab i'lan yang berarti pengumuman.

Konon, reklame atau iklan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Dalam perkembangannya, di Inggris muncul metode periklanan yang ditulis dengan tangan dan kertas. Kurang lebih hingga tahun 1850-an, di Eropa iklan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur dan belum sepenuhnya dimuat di suratkabar. Iklan pertamakali muncul dalam majalah Harper tahun 1864. Sementara itu, sejarah Indonesia mencatat, iklan pertamakali diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Jan Pieterzoon Coen (1619-1629).

Reklame atau Iklan di Kota Yogyakarta 

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota yang hiruk-pikuk oleh reklame. Beragam produk berlomba-lomba mengiklankan diri. Dalam prinsip ekonomi modern, reklame menjadi ujung tombak kesuksesan. Tanpa reklame, produk tidak akan dikenal apalagi dibeli. Oleh karena itu, tidak heran jika mereka berlomba-lomba membuat reklame sebanyak-banyaknya.

Reklame ada di setiap sudut bahkan sepanjang jalanan Kota Yogyakarta. Apa yang salah dengan reklame-reklame tersebut? Banyak hal yang dapat dikritik dari keberadaan reklame-reklame itu, dari mulai bahasa yang digunakan hingga teknis pemasangannya. Saya mencermati beberapa di antaranya, yaitu: 
  • Reklame-reklame itu terpasang tidak teratur, satu dengan yang lain saling menutupi dan berdekat-dekatan. Ini tentu saja tidak efektif karena membuat pengguna jalan malas membaca apalagi mencermatinya, dan tentu saja membuat kotor pemandangan kota.
  • Iklan yang dibuat menggunakan spanduk, lalu diikatkan pada pagar atau bambu, terlihat dipasang dengan asal-asalan dan tanpa perawatan. Di antara spanduk itu ada yang robek dan akibatnya menjulur ke jalan, menganggu pengguna jalan. Bahkan, ada yang jatuh ke badan jalan.
  • Secara psikologis, para pengguna jalan justru tidak akan memperhatikan reklame, karena tulisan dan warnanya yang terlalu ramai.
  • Beberapa reklame memang dipasang di tempat yang jelas (bilboard). Namun, banyak pula reklame yang dipasang seenaknya, seperti hanya ditalikan di pagar jembatan, rambu-rambu lalu lintas, atau ditempelkan dan dipaku di pohon di tepi jalan. Bahkan, juga ada yang hanya sekadar mencetaknya di kertas lalu ditempelkan di tembok-tembok rumah atau di lampu merah.
Mural dan Grafiti
Beberapa kelemahan dalam reklame di atas menjadi sebuah pemikiran akan pentingnya mural dan grafiti. Mural menggunakan kuas untuk mencat, sedangkan garfiti menggunakan cat semprot. Seni lukis media dinding ini marak di Kota Yogyakarta. Sudah banyak tembok dan dinding yang dihiasi mural.

Dibandingkan dengan reklame di jalan raya, mural lebih efektif, estetis, ekonomis (jangka panjang), dan lebih mendidik. Bagi produk-produk yang terus berganti, semacam produk elektronik, mural tentu saja bukan pilihan tepat karena merupakan iklan jangka panjang. Namun, jika melihat reklame yang membuat kotor, mural adalah pilihan yang perlu dipertimbangkan.

Coba Anda bayangkan jika reklame-reklame itu dibuat dalam bentuk mural dan dibuat dengan konsep seni yang matang. Tentu akan lebih enak dinikmati daripada spanduk yang berjubel di pojok-pojok kota. Coba Anda bayangkan, jika dinding-dinding kota dipenuhi mural-mural yang mendidik, tentu suasana kota akan lebih nyaman daripada kertas-kertas yang ditempel sembarangan.

Tantangan Vandalisme

Meskipun demikian, mural bukan berarti tanpa tantangan. Ulah anak-anak remaja yang suka mencorat-coret dinding seenaknya (vandalisme) untuk menunjukkan eksistensinya, menjadi tantangan bagi seniman mural di Yogyakarta. Bahkan, tidak hanya di tembok, vandalisme juga merambah sampai ke jalan raya. Saya melihat, beberapa dinding mural yang ada di Yogyakarta dikotori oleh ulah vandalisme, biasanya adalah gank anak-anak muda atau suporter sepakbola yang mencoretkan nama mereka di mural-mural itu. Akibatnya, lukisan mural tidak jelas dan kotor.

Di abad modern yang serba digital sekarang ini, reklame dan mural memang sangat penting. Bagi sebuah kota, reklame menjadi penanda kemodernan. Bagi sebuah usaha, iklan menjadi ujung tombak dan syarat lakunya sebuah produk jual. Namun, yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana penciptaan iklan dan mural itu dapat mendidik anak bangsa untuk mengenali dirinya sendiri. Tanpa itu, tujuan baik dari iklan dan mural itu hanya akan dilawan oleh “kenakalan” yang memang akan selalu ada pada usia remaja.


(kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)



Komentar

Postingan Populer