Belajar dari Angklung

Oleh Empuesa

Setelah beberapa kali mendapat penghargaan, baik nasional maupun internasional, musik tradisional angklung Indonesia tercatat dalam Guiness Book of Record. Permainan angklung dengan peserta multinasional terbanyak di dunia, yaitu hampir sekitar 5.000 peserta, yang berlangsung di National Mall, Washington DC, Amerika Serikat, berhasil menorehkan rekor dunia. Berita ini tentunya membuat kita bangga karena kesenian tradisi Indonesia mendapat apresiasi dunia. Bisakah kesenian tradisional yang lain mendapatkan apresiasi serupa? Tentunya bisa, hal itu sangat bergantung pada kemauan dari berbagai pihak. Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari angklung dan prestasinya? 

Keunikan Angklung 

Angklung adalah alat musik tradisional terbuat dari bambu dan dianggap sebagai alat musik tradisional yang unik. Bayangkan, bambu yang dipotong-potong dapat menghasilkan bunyi yang beragam. Kelebihan angklung adalah dapat dimainkan oleh banyak orang, ratusan bahkan ribuan orang. Hal ini tidak ada pada alat musik tradisional lainnya. Nada dan suara angklung yang beragam menjadikannya dapat dimasukkan ke dalam lagu apapun secara bersamaan. Pembuatan angklung pun tidak terlalu sulit. Seorang yang ahli seperti Mang Udjo bisa menghasilkan puluhan angklung dengan berbagai model dalam sehari. Angklung juga mudah untuk dimainkan. Hanya butuh sedikit pembelajaran, orang yang belum pernah mengenal angklung dapat langsung memainkannya.

Angklung juga enak dipegang dan dimainkan, yakni hanya dengan menggerakkan tangan. Satu lagi hal yang penting, secara kosmologi, bambu adalah tumbuhan yang memiliki nilai filosofi yang tinggi bagi orang Indonesia. Tumbuhan tropis ini telah digunakan oleh leluhur sejak dulu, baik untuk alat kesenian, membuat rumah, alat rumah tangga, dan sebagainya. Karena nilainya yang berakar dalam kebudayaan, tidak mengherankan jika angklung pada tahun ini mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai bentuk warisan budaya tak benda dari Indonesia.

Regenerasi

Sekarang ini banyak kesenian tradisional yang mulai punah meskipun sebenarnya berbagai upaya pelestarian telah banyak dilakukan. Namun, tidak semua bernasib beruntung seperti angklung. Hal yang sering dilupakan oleh para pemelihara tradisi adalah tidak memperhatikan regenerasi. Sebenarnya negeri ini tidak kekurangan orang yang tulus memelihara kesenian tradisional. Tidak sedikit orang yang berusaha memelihara tradsi leluhur, tetapi sayang, usaha pelestariannya tidak ada yang meneruskan dan akhirnya berhenti di tengah jalan.

Belajar dari apresiasi yang diperoleh kesenian angklung, ternyata pelestarian kesenian tradisi tidak cukup hanya dengan semangat. Pelestarian tradisi tidak segampang membalikkan telapak tangan, perlu waktu yang panjang. Oleh karena itu, menyiapkan generasi penerus adalah bagian terpenting dalam pelestarian tradisi.

Angklung dilestarikan oleh Udjo Ngalagena sejak era 1950-an, dan baru tahun 2011 mendapat pengakuan dunia. Pada tahun 1966, Mang Udjo, panggilan akrab Udjo Ngalangena, bersama istrinya, Uum Sumiati, mendirikan Saung Angklung Udjo (SAU). Dalam melestarikan angklung, hal pertama yang dilakukan oleh Mang Udjo adalah mendidik anak-anaknya agar mencintai angklung, dan itu berbuah manis karena kesepuluh anak Mang Udjo tidak ragu-ragu untuk meneruskan upaya yang telah dirintis sang ayah.

Proses evolusi tidak hanya berlaku pada hewan saja, namun juga pada kebudayaan manusia. Hidup matinya sebuah peradaban manusia salah satunya ditentukan oleh alih pengetahuan peradaban tersebut kepada generasi selanjutnya. Peradaban yang pandai mengalihteruskan pengetahuan mereka, akan berpeluang bertahan hidup lebih lama. Sebaliknya, mereka yang tidak peduli dengan alih pengetahuan maka akan terlindas. Saat kita membaca berita tentang kesuksesan angklung, mestinya kita ingat pula bahwa itu juga dapat disandang oleh cabang tradisi yang lain, sebelum kita berteriak saat semua itu diambil dan diakui milik bangsa lain.

(Opini pernah dimuat di www.MelayuOnline.com)



Komentar

Postingan Populer