Berkunjung ke Pura Para Dewa

Oleh Empuesa

Dari penginapan murah di sekitar Kuta, Bali, hari itu saya dengan seorang teman sengaja bangun jam 4 pagi. Sesuatu yang jarang kami lakukan jika tidur di kos-kosan. Pagi itu, kami ingin mengunjungi Tanah Lot, pura para dewa yang konon dijaga oleh sekelompok ular. Menurut penjaga penginapan, jarak dari Kuta ke Tanah Lot kurang lebih sejam berkendara motor. Secara administratif, Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, sekitar 13 km barat Kota Tabanan. Seusai sarapan, kami pun meluncur ke sana.


Pagi itu udara Bali sangat sejuk. Bersepeda menyusuri jalanan Bali pagi sungguh mengasyikkan. Selain karena tidak macet, suasana bangunan pura yang ada di hampir setiap rumah memberikan rasa yang berbeda. Matahari menghangati tubuh kami yang agak menggigil tersapu udara pagi. Meski demikian, pemandangan hijau persawahan Bali dapat menghilangkan lelah Kami. Sawah-sawah itu masih luas menghijau. Namun sangat disayangkan, konon kabarnya, persawahan di Bali sudah mulai menciut akibat ekspansi orang asing yang mengubahnya untuk bisnis. Air di sekitarnya pun mulai tercemar. Panen padi orang Bali pun tidak sejaya dahulu.

Lingkungan menuju Tanah Lot tampak tertata dengan rapi. Di kanan dan kiri jalan, berdiri beragam kios seni kerajinan, baju, makanan dan minuman khas Bali. Salah satu kios menjual kaos dan baju yang unik, dicetak dengan gambar kehidupan khas orang Bali, seperti orang berdoa, mandi dan buang air besar di kali, atau gambar orang naik motor dengan berpakaian khas Bali. Tidak sedikit gambar tersebut ditambah kata-kata sebagai kritik sosial. Unik, bukan?

Tiba di Tanah Lot
Suara deru pantai mulai terdengar. Pura Tanah Lot itu mulai tampak dari kejauhan. Tanah lot adalah pura di atas batu besar dan tebing yang menjorok ke pantai. Dari daratan ke pura disambungkan dengan karang yang di bawahnya konon dijaga oleh ular. Pura di atas tebing banyak terdapat di Bali, Tanah Lot dan Pura Uluwatu salah duanya. Oleh karena itu, Tanah Lot sebenarnya sangat tepat dikunjungi sore hari, karena matahari terbenam sangat indah disaksikan dari atas tebing.

Setelah membeli tiket, kami pun mendekat ke pura. Pura ini memang indah apalagi ditambah pemandangan pantai yang biru dan tebing yang kokoh. Di Tanah Lot, saya melihat ada dua pura. Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing. Menurut cerita, Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari Pura Dang Kahyangan, pura laut tempat pemujaan untuk dewa-dewa penjaga laut. Lot sendiri artinya “selatan”, sehingga Tanah Lot berarti pura yang ada di selatan. Tempat ini berkait erat dengan legenda Danghyang Nirartha.

Menurut legenda, Pura Tanah Lot dibangun oleh seorang brahmana yang mengembara dari Jawa, bernama Danghyang Nirartha, pada sekitar abad ke-16 M. Sang brahmana mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat Tanah Lot. Namun, Bendesa Beraben, pemimpin Tanah Lot, merasa “iri” terhadap Danghyang Nirartha atas keberhasilannya mengajak masyarakat Tanah Lot. Pengikut Bendesa Beraben banyak yang berpindah mengikuti Danghyang Nirartha. Akhirnya, Danghyang Nirartha disuruh meninggalkan Tanah Lot. Ia pun menyanggupi. Akan tetapi, sebelum pergi, dengan kesaktiannya Danghyang Nirartha memindahkan sebongkah batu ke tengah pantai, lalu dibangunlah pura di sana, itulah Pura Tanah Lot itu.

Dalam kisahnya, Danghyang Nirartha menyulap selendangnya menjadi ular yang hingga kini masih sering terlihat di bawah batu karang. Sayangnya, kami tak melihatnya saat itu. Ular tersebut berekor pipih seperti ikan, berwarna hitam dengan belang-belang kuning, termasuk jenis ular laut dan mempunyai racun 3 kali lebih kuat dari ular kobra. Meskipun demikian, legenda ini berakhir manis, karena Bendesa Beraben pada akhirnya justru menjadi pengikut Danghyang Nirartha.

Menikmati Upacara Adat
Pada saat kami berkunjung, Tanah Lot penuh dengan penjor, hiasan dari janur daun kelapa. Rupanya saat itu akan ada sembahyang adat. Benarlah adanya, sejenak kemudian laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak dengan pakaian adat serba putih mulai berdatangan. Mereka membawa sesajian untuk sembahyang. Para gadis Bali itu tampak anggun, apalagi di telinganya terselip bunga kamboja yang membuat kami terpesona.

Tanah Lot memang selalu ramai pada hari-hari tertentu, misalnya, saat Odalan atau hari raya Pura yang biasa diperingati setiap 210 hari sekali. Perayaan ini berdekatan dengan perayaan Galungan dan Kuningan. Saat kami berkunjung, ternyata bertepatan dengan hari itu.

Gamelan Bali mengalun bergantian, sebentar pelan sebentar lagi rancak. Terlihat pemimpin upacara menggemirincingkan lonceng yang dipegangnya. Para peserta upacara duduk bersila di belakangnya tanpa alas. Sejenak kemudian, tangan mereka menguncup ke atas dengan wajah menunduk ke bawah. Dengan dipandu pemimpin adat, mereka komat-kamit membaca doa untuk dewa penjaga laut. Deburan ombak pantai menjadikan suasana upacara itu serasa tenteram. Kami melihat jalannya upacara itu dari dekat. Doa mengalun ritmis, merdu, dan serentak. Saya mencoba memahami makna kata-kata dari doa itu. Beberapa saya pahami seperti yang ditulis di kitab Upanishad yang pernah saya baca, namun lebih banyak lagi yang tidak saya mengerti.

Menjelang tengah hari, setelah puas mengelilingi lokasi, kami meninggalkan Tanah Lot. Namun, sebelum keluar lokasi, kami mampir ke beberapa kios dan toko kerajinan. Sebagai kenang-kenangan, kami membeli beberapa kaos dan baju batik Bali. Unik dan khas Bali.

Dari kunjungan ke Tanah Lot ini, legenda Danghyang Nirartha mengajarkan kepada kami untuk selalu rendah hati dan tidak merasa paling pintar. Dari upacara adat, kepasrahan pada yang kuasa adalah penting. Dari keanggunan gadis Bali, kami sadar bahwa dunia memberikan banyak pilihan kecantikan dan keanggunan. Dan di penginapan murah dekat Kuta itu, saya bermimpi meminang gadis Bali. Indahnya…

(Kolom ini pernah dimuat diwww. WisataMelayu.com)

Komentar

Postingan Populer