Membayangkan “Ratu” di Candi Boko

Oleh Empuesa

Sore itu, saya mengunjungi Candi Ratu Boko yang terletak tidak jauh dari Candi Prambanan, Yogyakarta. Meskipun tinggal puing-puing, candi yang terletak di atas bukit itu masih tersusun indah. Candi Ratu Boko menjadi bukti kebesaran nenek moyang bangsa ini. Sambil menerawang, saya membayangkan seorang ratu berdiri di atas puing-puing candi. 

Abadi dalam sejarah, terdapat sebuah prasasti yang menyatakan bahwa di atas bukit dekat Candi Prambanan, berdiri abhyagiri wihara, artinya wihara di bukit yang damai. Wihara itu lalu diubah menjadi keraton. Prasasti lain bernama Siwagraha menyebutkan adanya peperangan antara Raja Balaputra dan Rakai Pikatan. Balaputra yang kalah perang melarikan diri dan membangun tempat pertahanan di kaki bukit Ratu Boko. Konon, Ratu Boko adalah ayah Roro Jonggrang, seorang putri yang juga disebut dalam legenda Candi Prambanan.
 
Candi Ratu Boko terletak di atas bukit yang hijau dan luas. Lokasinya kurang lebih 3 kilometer ke arah selatan Candi Prambanan, dan termasuk ke wilayah Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Di area candi, terdapat gapura, petirtan (kolam renang), pendopo, keputren, pringgitan, dan gua tempat meditasi. Candi ini bukan hanya sekadar tempat ibadah, melainkan istana. Adalah Van Boeckholtzt, seorang arkeolog Belanda yang pada tahun 1970 melaporkan adanya kawasan purbakala di atas Bukit Boko, terusan dari Pegunungan Sewu yang membentang dari Yogyakarta hingga Tulungagung, Jawa Timur.

Bagian depan candi dihubungkan dengan anak tangga. Saat di anak tangga teratas, sajian pemandangan rumput hijau yang luas sudah terpampang di depan mata. Dari kejauhan, sebuah gapura batu tampak berdiri kokoh menantang langit. Kebesaran dan keagungan yang terpancar dari batu-batu candi itu. Dilihat dari ciri gapuranya, asumsi bahwa candi ini merupakan istana Hindu bisa jadi benar.

Masuk ke pelataran candi, saya melihat istana ini begitu besar. Tiga teras candi dipisah dengan dinding dan benteng batu. Sebuah gapura besar dengan teras-teras berundak menyimbolkan bahwa istana ini cukup megah pada masanya. Di sebelah barat teras, tampak sebuah benteng terbuat dari kapur, dinamai Candi Batu Kapur.

Setelah memasuki gapura pertama, saya disambut dengan gapura yang tak kalah gagah. Antara kedua gapura itu dipisahkan oleh sebuah benteng batu kapur dan tembok andelit. Saat berada di bawah gapura itu, terbayang kehidupan istana raja dengan para abdinya sedang hilir-mudik.

Saya kemudian masuk ke dalam teras ketiga. Di depan teras terdapat 5 gerbang. Gerbang paling besar di tengah, sedangkan 4 gerbang lainnya berukuran kecil. Atap gerbang itu simetris. Dari gerbang itu memperlihatkan bagaimana raja pada waktu itu memiliki jiwa seni arsitektur yang tiggi. Terbukti, meskipun sudah ribuan tahun, detail arsiktektur pada gerbang itu masih terlihat.

Teras ketiga terlihat paling besar dibandingkan teras yang lain. Tampaknya, teras inilah yang menjadi pusat istana Ratu Boko. Di dalamnya, saya menemukan bekas pendopo dan pondasi ruang pringgitan. Kedua bangunan tersebut dikelilingi pagar dengan 3 gerbang beratap di utara, selatan, dan barat. Di setiap gerbang, dilengkapi 3 buah tangga.

Puas menikmati teras ketiga, saya menuju puing-puing batu di atas pondasi yang terletak di timur pendopo. Saya menemukan kompleks kolam pemandian, namanya petirtan. Dalam bahasa Jawa, tirta berarti air. Petirtan itu dikelilingi pagar batu berbentuk persegi panjang dan terbagi dalam 2 kelompok, yaitu 3 kolam memanjang berbentuk persegi empat dan 8 kolam bundar yang dibagi dalam 3 baris.

Lalu saya bepindah ke puing lain, yakni ke ruang paseban (ruang resepsi) yang membujur dari utara ke selatan dan dibentengi oleh pagar batu yang tinggal puing. Di ruang ini, konon raja bercengkrama dengan keluarga sambil menikmati hiburan tari dan mendengar lantunan syair. Saya pindah lagi ke ruang khusus untuk putri-putri raja, keputren namanya. Di dalamnya, terdapat bekas kolam berbentuk persegi panjang yang dikelilingi pagar dengan 2 gerbang, di sebelah barat daya dan timur laut.

Candi Ratu Boko juga dilengkapi ruang berdoa dan meditasi yang terletak agak jauh dari ruang-ruang lain. Di sini, terdapat 2 gua yang bernama gua laki-laki dan gua perempuan. Gua ini menjadi identitas khas agama Hindu yang memang mengedepankan ajaran “kesunyian”, seperti semedi, meditasi, atau berdoa. Saya juga menemukan puing-puing bersejarah, seperti arca-arca Hindu dan Buddha. Selain itu, juga terdapat keramik dan beberapa prasasti berhuruf Prenagari dengan bahasa Sanskerta meskipun tidak utuh lagi. Di antara prasasti itu berisi tentang pendirian bangunan suci Awalokiteswara (Buddha Mahayana). Dari bentuk hurufnya, diperkirakan berasal dari abad ke-8 M.

Terdapat juga 3 prasasti berhuruf Jawa Kuno. Dua prasasti bertahun 778 Saka atau 856 M ini berisi pendirian lingga Kerttiwasa dan lingga Triyambaka atas perintah Raja Kumbhaya. Sedangkan yang satu berisi pendirian lingga atas perintah Raja Kalasodbhawa. Prasasti lainnya merupakan tulisan singkat yang tergurat pada lempengan emas.

Saat matahari mulai menghilang di ufuk barat, saya berkemas pulang. Dalam perjalanan pulang, saya berusaha mengambil pelajaran dengan membayangkan kebesaran nenek moyang. Betapa mereka telah memiliki peradaban yang tinggi pada masanya. Keberadaan Candi Ratu Boko dan candi-candi lain di negeri ini menjadi bukti betapa besarnya peradaban Nusantara di masa silam.

Satu pelajaran lain yang relevan dengan kehidupan sekarang, adalah keberadaan prasasti Buddha di Candi Ratu Boko yang menganut agama Hindu. Hal ini menjadi bukti bahwa leluhur bangsa ini sudah hidup rukun sejak dulu, meskipun berbeda agama. Perbedaan tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama.

Lalu, mengapa generasi bangsa sekarang ini justru kerap bertikai karena perbedaan? Sambil mengayuh sepeda menuju pulang, pertanyaan itu terus menggelayut di antara bayangan ratu yang bermain-main di benak saya.

(Kolom ini pernah dimuat di www.WisataMelayu.com & www.Jogjatrip.com)

Komentar

Postingan Populer