Pesan Cinta dari Jogja

Oleh  Empuesa 

Sudah sejak sore, halaman Taman Budaya Yogyakarta (TBY) ramai orang. Rupanya malam ini akan digelar pementasan “Laskar Dagelan”, ajang para seniman Jogja dalam menyikapi kondisi bangsa. Di dalamnya ada protes, kepedihan, dan pastinya gelak tawa. Malam itu, saya pun tidak mau ketinggalan.

Selain pementasan “Laskar Dagelan”, ternyata juga digelar “Pasar Kangen”. Beragam jenis kuliner tradisional dijajakan di sini. Ada gatot, tiwul, getuk, jamu, sate klatak, dan masih banyak yang lainnya. “Pasar Kangen” ini digelar dari tanggal 14-23 Juni 2011. Selain kuliner, juga dipamerkan berbagai produk kerajinan kreatif, seperti topeng, keris, lukisan, produk dari bahan bekas, dan lainnya.
Seusai adzan Maghrib, suasana semakin ramai. Acara malam itu kian meriah karena duet pembawa acara, Indro Plered dan Mas Tedjo, memakai pakaian yang nyentrik ala superhero, mereka mengenakan kostum Superman dan Batman. Pembukaan “Pasar Kangen” diawali dengan permainan perkusi jimbe dari komunitas Balungan Percusion yang dimainkan oleh beberapa anak laki-laki usia SD. Mereka terlhat begitu bersemangat dan cukup piawai menabuh alat musik dari Afrika itu. Setelah itu, acara dibuka oleh Walikota Heri Zudianto yang memberi sambutan dari atas gerobak motor sampah sambil didampingi “Superman” dan “Batman”.
Dari sini saya melihat, betapa di Yogyakarta budaya egaliter betul-betul dipupuk dalam ruang-ruang tertawa, dan itu sungguh efektif. Realitas ini seakan membalikkan anggapan monarki yang bertentangan dengan demokrasi.
Setelah itu, penonton dihibur tarian “Bangun Tidur” dari Pusat Latihan Tari Bagong Kusudiarjo. Seluruh penari perempuan yang memakai pakaian tidur tipis (daster) melenggak-lenggok sambil membawa semacam handuk seakan ingin pergi mandi. Tari ini menandai resminya pembukaan “Pasar Kangen”.
Kritik Sosial yang Sarat Tawa
Saat tertawa itu tiba. Tepat pukul 20.00 WIB pentas dagelan Jogja dimulai. Saya dan istri pun beranjak masuk ke TBY. Di dalam, ternyata sudah banyak kursi yang terisi. “Laskar Dagelan” pun dimulai. Sang sutradara, Butet Kertaradjasa, tampil di panggung. Dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Butet menyapa penonton dan Sultan Hamengkubuwono X dan Walikota Yogyakarta yang saat itu ikut menonton. “Kebudayaan lokal memiliki andil dalam pembangunan bangsa. Kebudayaan lokal justru menjadi pengingat atau pengontrol penguasa saat mereka menyelewengkan kekuasaannya,” seru Butet lugas.
Cerita dimulai dengan suasana pagi bersetting tempat di sekitar Tugu Jogja. Seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu jalanan, seorang anak bermain gasingan, dan seorang penjual gudeg yang diperankan oleh Yu Beruk, pun muncul. Sejenak kemudian, seorang abdi dalem Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Marwoto Kawer) datang bersepeda. Tiba-tiba terdengar pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menuding Yogyakarta sebagai bentuk negeri monarki. SBY bahkan menegaskan bahwa hal itu akan menghambat demokrasi.
Sejenak kemudian, anak-anak muda dari Jogja Hip Hop Foundation (JHHF) menyanyikan lagu Jogja Istimewa diiringi penari latar. Di belakang mereka muncul beriringan para awak pemain pentas dagelan ini. Mereka menari bersama, merayakan keistimewaan dalam lagu dan gerak. Tak terasa, saya pun ikut bernyanyi, begitu juga penonton yang lain.
Lagu ini mungkin sengaja dilantunkan untuk membantah langsung tudingan SBY dalam pidatonya. Yogyakarta dengan filosofi hidup keraton dan masyarakatnya justru menjadi semangat mereka dalam menegakkan demokrasi. Kata-kata ngluruk tanpo bolo, sugih tanpo bondo, menang tanpo ngasorake, sepi ing pamrih rame ing gawe merupakan demokrasi itu sendiri. Raja bukanlah hambatan untuk hidup saling menghormati hak sesama dan menghargai perbedaan. Pesan cinta inilah yang diusung dalam pagelaran “Laskar Dagelan” ini.
Adegan berikutnya adalah penampilan trio Gareng (Wisben), Petruk (Joned), dan Bagong (Gareng Rakasiwi). Mereka melakukan dialog khas dagelan Jogja, lucu dan sedikit slengekan. Dialog masih seputar kehidupan seniman yang sepi undangan manggung. Mereka menyindir para koruptor yang dipenjara tapi masih hidup enak, hingga operasi payudara pun memakai jatah uang rakyat miskin (Jamkesmas). Penonton pun terpingkal-pingkal.
Dialog mereka terhenti sejenak ketika tiba-tiba ada gempa yang menyebabkan miringnya pendopo Kraton. Pak Bekel menafsirkan bahwa ada orang luar yang sengaja membuat Yogyakarta menjadi “miring” dengan isu-isu negatif. Mereka adalah orang-orang pusat yang sengaja mengusik ketenangan orang Jogja.
Adegan demi adegan pun mengalir. Penonton terus tertawa dan terhibur. Pagelaran ini semakin menarik karena dalam beberapa dialog diselilingi dengan musik dan nyanyian dari gadis desa (Soimah) dan JHHF. Mereka menyanyikan lagu-lagu rap bahasa Jawa. Lagu-lagu ini unik dan mendalam, karena semua syair lagu digubah dari filosofi Jawa dalam Serat Centhini atau Kitab Pararaton. Misalnya lagu yang mengisahkan tentang budaya gotong-royong orang Jawa. Lagu-lagu tersebut semakin menguatkan pesan bahwa monarki adalah sekadar simbol. Sebaliknya, semangat orang Yogyakarta adalah salah satu yang paling demokratis.
From Jogja with Love
Pesan penting dalam pentas ini terlihat dari aksi bintang tamu, yakni aktor nasional dan sutradara yang juga wong Jogja, Slamet Raharjo. Aktor kawakan dari Lempuyangan ini begitu apik melakoni perannya. Ia berperan sebagai sutradara dari kota yang mencari bakat di daerah. Saat itu, ia bertemu dengan Soimah dan ibunya, Yu Beruk. Soimah terlihat narsis dan terus mendekati sang sutradara agar dijadikan artis ibukota. Namun ternyata, sang sutradara lebih memilih ibunya daripada anaknya.
Pemilihan ibunya ini dimaknai sebagai sikap bijak memilih yang tua. Artinya, seseorang seharusnya tidak mentang-mentang kuasa dan berpendidikan lalu memilih yang muda (baca: modern/demokrasi). Padahal, yang tua (baca: tradisi/monarki) bisa jadi memiliki semangat hidup berbangsa yang lebih kuat. Dalam sejarah bangsa, Yogyakarta dan tradisinya memiliki jejak kearifan lokal yang memperkuat Indonesia. Meskipun demikian, orang Jogja juga ojo dumeh, jangan mentang-mentang. Oleh karenanya, pesan ini harus disampaikan dengan cinta. From Jogja with love.   
Kaum seniman Jogja memang seolah-olah tidak pernah kehabisan amunisi untuk mengkritisi kondisi sosial. Apa yang dialami masyarakat, bangsa, dan negara justru menjadi peluru ampuh untuk menyikapi masalah yang ada. Mengutip kata feminis Prancis, Marleu Ponty, bahwa tubuh para seniman itu berbicara. Mereka “melawan” keadaan ini, dan asyiknya mereka melawan dengan canda-tawa dan cinta.   

(Kolom ini pernah dimuat di www.Jogjatrip.com)

Komentar

Postingan Populer