Batih dan kaum biak

Sistem kekerabatan orang Melayu Tamiang secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu keluarga kecil (batih) dan keluarga luas (kaum biak). Keluarga luas sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu belah ibu dan belah bapak. 

1. Asal-usul

Suku Tamiang adalah masyarakat Melayu yang tinggal di wilayah Aceh Tamiang, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Suku ini memiliki sistem kekerabatan yang unik dan hingga kini masih dipertahankan. Dalam acara adat dan agama, keluarga dari kerabat tertentu masih menjadi tokoh yang dituakan karena berasal dari leluhur (endatu) yang baik. Hal ini membuktikan bahwa jalur kekerabatan masih dianggap penting (Dado Meuraxa, 1956).

Sistem kekerabatan orang Tamiang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu keluarga kecil (batih) dan keluarga luas (kaum biak). Keluarga luas sendiri dibagi menjadi dua, yaitu belah ibu dan belah bapak. Kedua jalur kekerabatan ini memiliki fungsi dan peran masing-masing. Keduanya berjalan beriringan sesuai aturan adat dan agama (Islam) yang dianut oleh orang Tamiang (T. Syamsudin dkk., 1979/1980).

Secara umum, sistem kekerabatan orang Tamiang memperlihatkan sebuah konsep kehidupan keluarga dan sosial yang diikat oleh ajaran leluhur. Dari sini juga tampak bahwa kaum laki-laki dan perempuan Tamiang mendapat porsi yang berbeda, baik posisi mereka sebagai anak, istri, maupun saudara. Selain itu, tampak pula bahwa ajaran Islam begitu berpengaruh dalam kehidupan orang Tamiang (Rusdi Sufi, et.al., 2004).

2. Konsep Sistem kekerabatan Orang Tamiang 

Konsep sistem kekerabatan orang Tamiang dapat dikatakan cukup sederhana, yakni dibagi menjadi keluarga kecil dan keluarga besar. Kelompok kekerabatan terkecil disebut dengan keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak. Pada saat dewasa, anak-anak yang sudah menikah akan membentuk suatu kelompok keluarga yang luas.

Pada orang Tamiang, keluarga luas ini disebut kaum biak, yang terbagi menjadi dua, yaitu belah ibu dan belah ayah. Perbedaan jarak jauh dan dekat antar belah ibu dan ayah tergantung pada sistem sosialnya yang mengatur hak dan kewajiban yang umumnya menganut prinsip kekeluargaan bilateral (parental). Meskipun demikian, dalam beberapa hal, seperti warisan misalnya, kedudukan anak sangat dipengaruhi oleh hukum Islam di mana sistem sosialnya cenderung menganut prinsip patrilineal.

Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi, adat istiadat, dan agama. Kaum laki-laki diberikan beban lebih berat dalam tanggung jawab soal usaha pertanian dan kemasyarakatan. Sementara itu, kaum perempuan tugas utamanya dalam bidang pendidikan dan mengurus rumah tangga. Meskipun demikian, kaum perempuan juga membantu kaum laki-laki pada saat tertentu, misalnya dalam pekerjaan pertanian.

Kedudukan laki-laki sangat penting karena merupakan pewaris keluarga, pewaris gelar, hak atas tanah, bahkan pewaris pusaka dan ilmu gaib (pada keluarga tertentu hal ini masih dipraktekkan). Dalam keluarga, anak laki-laki yang lebih tua mendapat sebutan tersendiri sesuai urutan kelahiran, seperti ulung (anak pertama), ngah (anak kedua), alang (anak ketiga), andak (anak keempat), uteh (anak kelima), dan uncu (anak keenam).

Dalam hal wali waris keluarga, terdapat tiga tingkatan, yaitu wali syarak, wali adat, dan wali karung. Wali syarak memiliki hak mutlak selaku wali nikah dan berhak menerima pusaka seperti aturan pada bab nikah. Sementara itu, wali adat berhak atas upacara kematian dan hidup, seperti orang wafat dan membela kehormatan keluarga. Kedudukannya tercermin dalam ungkapan orang Tamiang yang berbunyi; utang sama ditanggung, malu sama ditudung. Sedangkan wali adat ditentukan dari garis ayah ke atas atau dari anak laki-laki ke bawah. Sementara itu, wali karung adalah anggota keluarga yang terdiri dari saudara perempuan ke bawah sehingga urusannya sangat terbatas dibandingkan dengan wali adat. Meskipun demikian, dalam hal kasih sayang dan keakraban keluarga, keluarga akan menginduk pada wali karung.

Pada keluarga luas, dalam masyarakat terdapat 2 jalur kerabat, yaitu suku akat dan kaum biak. Suku akat adalah hubungan kekerabatan yang diambil dari jalur wali adat dan wali karung. Sedangkan kaum biak garis keturunannya diambil dari wali karung saja. Sistem kekerabatan di Tamiang identik dengan ikatan keluarga berdasarkan keturunan sehingga untuk mengetahui kedudukan suatu keluarga dan peranannya dalam masyarakat termasuk kemampuan mereka dalam memimpin, sering dikaitkan dengan leluhur (endatu) mereka.

Endatu dianggap sebagai cikal bakal orang Tamiang. Tinggi rendah atau luasnya suatu perkauman dalam sistem kekerabatan Tamiang, tercermin dalam silsilah kedatuan, seperti Datu Empat Suku, Datu Delapan Suku, dua belas pihak, tiga puluh dua kerabat, dan handai taulan. Semuanya itu berhubungan dengan kebanggaan, kehormatan, dan status sosial di masyarakat.

3. Nilai-nilai 

Sistem kekerabatan orang Melayu Tamiang mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain:
  • Pembagian peran. Nilai ini tercermin dari sistem kekerabatan yang dibagi dalam bagian-bagian tertentu. Secara sosial, pembagian ini ditujukan untuk membagi peran masing-masing, baik di keluarga maupun masyarakat.
  • Harmoni masyarakat. Sistem ini secara sosial juga bernilai kepada harmonisasi masyarakat. Dengan ini tentunya kehidupan sosial akan berjalan dengan baik jika masing-masing menjalankan perannya dan tidak melanggar aturan.
  • Melestarikan tradisi. Pelaksanaan sistem ini dalam kehidupan keluarga maupun sosial adalah menjadi bukti tindakan orang Tamiang dalam pelestarian tradisi.
  • Menghargai sesama. Melalui sistem ini, orang Tamiang dalam satu keluarga telah diberi porsi masing-masing. Hal ini akan berefek pada sikap saling menghormati antarsesama anggota keluarga.
  • Menjaga adat. Salah satu tugas yang diemban orang Tamiang adalah menjadi wali adat. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa salah satu tujuan sistem kekerabatan ini adalah untuk menjaga adat Tamiang agar tetap lestari.
  • Menjaga keturunan. Satu hal penting dari sistem kekerabatan adalah berlangsungnya keturunan agar bertahan dan bermanfaat bagi sesama. Melalui sistem ini, leluhur Tamiang ingin menjaga nasab setiap orang agar tetap tersambung.
  • Menjaga persatuan dan kesatuan suku. Dalam konteks suku, sistem kekerabatan bernilai untuk menjaga persatuan dan kesatuan suku. Hal ini disebabkan oleh kesadaran mereka yang diikat oleh satu leluhur dari suku yang sama.
4. Penutup 

Masyarakat Tamiang sangat mengutamakan keberlangsungan suku di masa yang akan datang dan harmonisasi kehidupan. Dapatlah dibayangkan jika sistem kekerabatan ini tidak terbentuk, tentunya mereka akan terpecah-belah. Oleh karena itu, kebudayaan ini penting untuk dijaga.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
  • Rusdi Sufi, et.al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1998/1999.
  • T. Syamsudin dkk, 1979/1980. Sistim Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.





Komentar

Postingan Populer