Upacara Meminta Hari

Upacara adat minta hari adalah upacara adat orang-orang Dayak Pesaguan untuk meminta panas dan hujan. Upacara minta panas biasanya digelar saat akan membuka dan saat membakar ladang namun sering terjadi hujan. Sementara itu, upacara meminta hujan digelar ketika musim panas berlangsung berkepanjangan. 

Asal-usul

Suku Dayak Pesaguan yang tinggal di pedalaman Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) memiliki cara unik dalam menyikapi musim. Mereka menggelar upacara yang disebut dengan upacara meminta hari. Upacara ini tidak digelar setiap tahun, melainkan hanya ketika cuaca dirasakan tidak baik bagi kehidupan. Meskipun tidak sesering dulu, upacara ini masih tetap digelar hingga kini (Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008).


Upacara adat minta hari adalah upacara adat meminta datangnya panas dan hujan. Upacara minta panas biasa digelar saat akan membuka atau menugal dan saat membakar ladang. Pada masa ini, biasanya hujan turun terus-menerus sehingga para peladang tidak bisa membakar rumput dan menanam bibit di ladang. Sementara itu, upacara meminta hujan digelar ketika terjadi panas yang berkepanjangan (F. Rajiin dan Yan Sukanda, 2007).


Kedua upacara itu memiliki proses pelaksanaan yang hampir sama, hanya tempat pelaksanaan dan waktunya saja yang berbeda. Secara umum, keduanya juga memiliki tujuan yang sama, yakni memohon pada Duwata (Tuhan) agar diberi panas dan hujan, memohon keselamatan warga, menghormati alam, dan panen yang melimpah. Pada kedua upacara ini, warga berjanji bahwa jika panen tiba, mereka akan menggelar upacara panen sebagai ungkapan terima kasih (Yan Sukanda, 1996).


Waktu dan Tempat Pelaksanaan 

Upacara minta hari panas digelar saat akan membuka ladang. Upacara ini tidak digelar setiap tahun, melainkan hanya terjadi hujan yang terus-menerus. Upacara ini digelar di rumah domong (pemimpin upacara) dan di lapangan. Sementara itu, upacara minta hari hujan digelar saat terjadi panas berkepanjangan dan dilaksanakan di rumah domong dan di pinggir sungai desa.


Pemimpin dan Peserta Upacara

Kedua upacara dipimpin oleh tokoh adat yang sama, yaitu domong (pemimpin upacara) dan betara atau belian (dukun). Kedua upacara ini tidak wajib diikuti oleh seluruh warga, hanya sebagian anggota suku saja yang dilibatkan.


Peralatan dan Bahan 

Upacara adat minta hari panas memerlukan peralatan dan bahan-bahan antara lain: nasi beras hitam, nasi beras putih, dan nasi merah terbaik yang dimasak dalam ruas bambu, ayam yang masih muda, tuak, dan bagian-bagian tubuh ayam seperti hati, empedu, daging, dan telur ayam, ancak untuk tempat sesaji, dan tangguk atau jala. Sedangkan untuk upacara minta hujan memerlukan peralatan dan bahan-bahan yang meliputi: ayam, babi, telur ayam (digoreng atau direbus),ketan (berwarna hitam, putih, dan merah), gula tebu, nasi (dari beras merah, kuning, hitam, dan putih, batang pisang, serta ancak untuk tempat sesaji.


Proses Pelaksanaan 

a. Upacara Adat Minta Hari Panas 

Tahap persiapan dilakukan 2-3 hari sebelum hari pelaksanaan. Pada tahap ini, sebagian masyarakat khususnya para pemuda yang telah ditunjuk oleh tetua kampung, mengumpulkan dan mencari bahan-bahan untuk membuat ancak (sesaji) yang terbuat dari buluh hijau di hutan. Sebelum berangkat, beberapa orang laki-laki dan perempuan tua menyanyikan rondau masing-masing satu bait. Nyanyian ini sebagai doa agar mereka selamat. Setelah buluh di dapat, lalu mereka membawanya pulang untuk diisi beragam sesaji dan dihias dengan daun kelapa yang masih muda. Satu hari sebelum pelaksanaan, persiapan dilanjutkan dengan memasak untuk sesaji dan makanan yang akan disantap seusai upacara, yang dikerjakan oleh ibu-ibu dan kaum perempuan. Pembagian peran ini sudah diatur dalam hukum adat Dayak Pesaguan.


Setelah tahap persiapan selesai, maka dilakukan pelaksanaan upacara adat minta hari panas dimulai dengan berkumpulnya orang-orang di rumah domong (pemimpin upacara) dan di lapangan. Dari rumah domong, ancak yang sudah siap dibagi menjadi 2 bagian, yaitu satu bagian untuk diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti sudut-sudut desa, pohon besar, atau batu besar sebagai penolak bala. Sedangkan satu ancak besar dibawa ke lapangan tempat upacara digelar untuk persembahan kepada Duwata.


Setelah itu, orang berduyun-duyun ke lapangan. Para pengantar ancak untuk persembahan makhluk halus juga harus segera kembali ke lapangan. Di tengah lapangan, sudah terdapat tangguk atau jala besar. Kemudian, belian berdiri di dekat tiang tangguk dan bersiap membaca doa untuk keselamatan warga kepada Duwata. Doa juga dipanjatkan kepada Duwata agar menghentikan hujan agar warga dapat membakar ladang dan menanam bibit. Hujan diharapkan berhenti seperti air yang jatuh ke jala. Belian juga mengucapkan niat, bahwa jika Duwata mengabulkan permintaan warga, maka warga akan memotong 5 ekor manuk (ayam) atau niat lainnya.


Setelah selesai pembacaan doa, semua peserta pulang lagi ke rumah domong untuk makan bersama. Sebelum makan bersama, belian melakukan ritual berupa menyembelih ayam dan menumpahkan tuak ke tanah. Ritual ini merupakan simbol persetujuan warga atas upacara dan niat yang telah dikerjakan. Bagi mereka yang melanggar adat, maka mendapat sangsi adat. Namun jika mau menjalankan sangsi adat, maka ia harus menciduk kembali tuak yang sudah tumpah ke tanah dan menghidupkan lagi manuk yang sudah mati.


Upacara minta hari panas dinyatakan selesai jika seusai makan bersama terdengar bunyi gong sebagai tanda bahwa semua peserta upacara akan menari bersama. Orang yang pertama menari adalah domong dan betara, lalu diikuti oleh para peserta yang telah dipilih oleh pesuruh domong. Mereka akan menari secara berpasangan dan tari ini disebut dengan tari tampung. Setelah semua peserta menari, sebagai penutup, domong dan betara akan kembali menari.


b. Upacara Adat Minta Hari Hujan 

Tahap persiapan ini dilakukan 2-3 hari sebelum hari pelaksanaan. Pada tahap ini, kaum laki-laki yang telah di tunjuk oleh tetua kampung akan pergi ke hutan untuk mencari bahan-bahan ancak (sesaji). Sebelum berangkat, beberapa orang laki-laki dan perempuan tua menyanyikan rondau masing-masing satu bait, sebagai doa agar mereka selamat. Setelah bahan didapat, lalu dibawa pulang untuk diisi beragam sesaji dan dihias dengan daun kelapa yang masih muda. Persiapan lainnya adalah memasak makanan untuk sesaji dan makanan yang akan disantap seusai upacara. Kegiatan ini dikerjakan oleh ibu-ibu dan kaum perempuan.


Pelaksanaan upacara adat minta hari hujan dimulai dengan berkumpulnya masyarakat di rumah domong dan di sungai. Dari rumah domong, 2 ancak diletakkan di tempat-tempat tertentu sebagai penolak bala. Sedangkan 3 ancak besar dibawa ke sungai, tempat upacara digelar untuk persembahan kepada Duwata. Setelah itu, ancak diletakkan pada sebuah tiang setinggi kurang lebih 2-3 meter. Kemudian, belian atau betara turun ke sungai bersiap membaca doa sambil membawa batang pisang. Belian membaca doa permintaan keselamatan warga kepada Duwata dan doa agar Duwata menurunkan agar sungai yang mengairi sawah dapat mengalir tidak kering seakan dapat ditanami pisang.


Setelah selesai pembacaan doa, betara mengajak warga untuk turun ke sungai dan saling memercikkan air. Maksud dari ritual ini adalah pemberitahuan kepada Duwata bahwa warga sangat membutuhkan air. Belian juga mengucapkan niat, bahwa jika Duwata mengabulkan permintaan warga, maka warga akan memotong 5 ekor manuk atau niat lainnya.


Setela ritual itu selesai, semua peserta kembali ke rumah domong untuk makan bersama. Sebelum makan, belian melakukan ritual berupa menyembelih ayam dan menumpahkan tuak ke tanah. Ritual tersebut merupakan simbol persetujuan warga atas upacara dan niat yang telah dikerjakan. Bagi yang melanggar adat, maka akan mendapat sangsi. Jika tidak mau menjalankan sangsi adat, maka ia harus menciduk kembali tuak yang sudah tumpah ke tanah dan menghidupkan lagi manuk yang sudah mati.


Sama dengan upacara minta hari panas, selesainya upacara minta hari hujan ditandai dengan bunyi gong sebagai isyarat bahwa semua peserta upacara akan menari tari tampung bersama, yang dimulai oleh domong dan betara lalu setelah itu diikuti oleh para peserta yang telah dipilih oleh pesuruh domong.


Doa-doa 

Doa yang dibaca dalam kedua upacara ini meliputi doa permohonan keselamatan, doa datangnya panas, dan doa totau serapah (memohon hujan).


Pantangan dan Larangan 

Seluruh peserta upacara dan warga harus mematuhi larangan dan pantangan yang ditentukan oleh domong dan betara selama 7 hari. Pantangan dan larangan yang berlaku saat upacara digelar maupun setelahnya ini antara lain:
  • Warga harus hidup dengan damai, tidak boleh bertengkar, mencaci-maki, dan bersumpah serapah. Jika melanggar, maka akan dikenai sangsi adat.
  • Pada 3 malam pertama setelah upacara digelar, warga kampung tidak boleh keluar rumah ketika sore menjelang malam hari atau mulai matahari tenggelam.
Nilai-nilai 

Upacara adat minta hari panas dan hujan mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan orang Dayak Pesaguan, antara lain:
  • Pelestarian tradisi leluhur. Melaksanakan upacara adat ini secara langsung merupakan wujud pelestarian tradisi leluhur yang akan menjadikan tradisi itu tetap bertahan.
  • Kesahajaan. Upacara ini juga mengandung nilai simbol kehidupan agraris yang bersahaja. Orang Dayak Pesaguan sangat menghormati Duwata sehingga untuk mempersiapkan musim tanam dan tanam mereka meminta perlindungan dan bantuan dari Duwata.
  • Penghormatan pada alam. Nilai ini tercermin dari digelarnya upacara ini. Hujan dan panas adalah hukum alam, dan jika alam itu dirasakan mengganggu, maka mereka mengadukannya kepada pemilik alam, bukan melawannya.
  • Spiritual. Nilai ini tercermin dari doa-doa yang dibaca di sepanjang pelaksanaan upacara. Doa dipanjatkan sebagai ungkapan masyarakat dan kedekatan mereka dengan Duwata yang memberi rejeki.
Penutup 

Upacara adat minta hari merupakan bukti kearifan lokal orang Dayak Pesaguan. Melalui upacara ini, orang Dayak Pesaguan tampaknya cukup cerdas dalam menyiasati cuaca dengan kearifan lokal mereka. Mereka tidak merusak atau melawan alam, melainkan mendoakannya agar alam mengetahui kebutuhan warga. Kebijaksanaan itu tampak tercermin dari sikap saling membutuhkan ini.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonlien.com)


Referensi
  • Tim Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2008. Upacara Adat Masyarakat Dayak Pesaguan Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang. Pontianak: Departemen Pendidikan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
  • Yan Sukanda dan F. Rajiin, 2007. Kanjan Serayong, Ritual Kematian dalam Tradisi Dayak Pesaguan. Ketapang: Yayasan Warisan dan INBUDPAR
  • Yan Sukanda, 1996. Bersenggayung dan Kelestarian Alam Bagi Masyarakat Pesaguan. Makalah dalam “Temu Ilmiah dan Festival Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia” Pemda Kabupaten Kutai, Tenggarong.

Komentar

Postingan Populer