Becerite dan Bedande

Becerite dan bedande adalah dua tradisi tutur orang Melayu Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Becerite artinya bercerita dengan apa adanya. Sementara bedande adalah bercerita sambil didendangkan dengan diiringi musik, tari, dan lagu. 
 
1. Asal-usul

Salah satu tradisi sastra lisan yang masih lestari hingga kini di Sambas, Kalbar, adalah tradisi becerite dan bedande. Keduanya berisi tentang ajaran, doa, mantra, dan petuah leluhur tentang kehidupan. Becerite dan bedande menjadi ruang mencari nilai dari sebuah cerita rakyat (A. Teeuw, 1984).

Becerite dan bedande merupakan dua hal yang serupa tapi tak sama. Becerite artinya bercerita dengan apa adanya, sementara bedande adalah bercerita sambil didendangkan. Bedande terdapat tiga jenis, yaitu bedande tunggal murni (didendangkan 1 orang) dengan properti bantal, bedande tunggal dengan iringan musik gong dan kendang yang dimainkan oleh 4 orang, serta bedande tunggal yang diiringi musik dan selingan tari (3 orang penari dan beberapa penari yang seluruhnya laki-laki) (Chairil Effendy, 2006).

Tema becerite dan bedande umumnya berkaitan dengan kehidupan binatang, kehidupan para pangeran di istana, dewa-dewa di kahyangan, tokoh-tokoh yang memiliki sifat-sifat setengah manusia atau setengah dewa, asal usul suatu tempat, atau kehidupan kaum miskin, seperti kisah Raja Ngalam. Dalam perkembangannya, tradisi bedande lebih dimintai daripada becerite karena bedande lebih dianggap menghibur dengan iringan musik dan tari (Effendy, 2006; Sukanto, A.R dkk, 1996).

2. Pemain dan Busana
Pelantun becerita disebut pencerite, sedangkan pendendang bedande disebut pedande. Saat tampil dalam pergelaran khusus, mereka mengenakan pakaian adat Melayu Sambas. Namun, jika hanya untuk bercerita biasa, mereka hanya memakai pakaian biasa juga. Terdapat beberapa syarat untuk menjadi pedande, yaitu memiliki sifat bidadarian (lemah lembut) dan rattak badan (bakat).

3. Peralatan dan Musik Pengiring
Pada saat becerite, pencerite tidak memerlukan peralatan apapun. Sementara itu, untuk bedande disyaratkan adanya sesaji, jika tidak disediakan, dipercaya pedande akan kemasukan roh raja alam, kulit pedande bersisik, atau pedande akan serasa hidup di awang-awang selamanya. Selain itu, dalam bedande juga memerlukan alat musik berupa gong dan gendang, serta peralatan tari.

4. Waktu dan Tempat Pementasan
Waktu pementasan becerite bisa kapan saja, namun untuk bedande umumnya digelar saat malam hari seusai shalat Maghrib atau Isya’ hingga larut malam. Becerite dan bedande biasanya digelar di rumah, di tengah ladang atau sawah di sela-sela waktu menanam padi, atau di panggung pertunjukan saat upacara adat. Waktu malam hari merupakan syarat pementasan dan tidak boleh dilanggar.

5. Proses Pementasan
Proses pementasan becerite cukup sederhana dan tidak memerlukan persiapan yang rumit. Seorang pecerite akan langsung bercerita dengan dikelilingi orang-orang yang duduk mendengarkan. Berbeda dengan bedande, pedande dibantu oleh kelompok musik akan terlebih dahulu melakukan persiapan, seperti sesaji, peralatan musik, dan bantal. Pada umumnya, teks bedande panjang. Oleh karena itu, ketika dilagukan, terkadang nafas pedande tidak kuat. Untuk itu pedande harus lihai dalam mengatur nafas. Bagi pedande yang masih pemula disarankan agar memilih cerita yang sesuai dengan kemampuannya.

Setelah semuanya siap, pergelaran dimulai dengan membunyikan kendang dan gong dalam irama lagu tertentu. Beberapa waktu kemudian, pedande memulai bedande dengan memperkenalkan tema bedande yang akan dikisahkan. Di tengah-tengah berkisah, terkadang pedande berinteraksi dengan penonton dengan meminta penonton menebak apa lanjutan ceritanya. Bedande juga diselingi tarian dan lagu. Lagu dan tari ini bertujuan agar penonton tidak bosan dan memiliki waktu untuk mencerna cerita yang disampaikan pedande. Lagu dan tari umumnya juga yang berhubungan dengan tema bedande. Bedande akan selesai jika pedande sudah menyimpulkan makna ceritanya. Pementasan diakhiri dengan penampilan lagu dan tari.

6. Nilai-nilai
Seni bertutur becerite dan bedande mengandung nilai-nilai luhur bagi orang Sambas, antara lain:
  • Pendidikan. Nilai ini terkandung dalam makna becerite dan bedande, biasanya berupa nasehat berbakti kepada orangtua, taat kepada agama, hidup bersih, hidup bermasyarakat yang baik, dan sebagainya. Dalam konteks ini, becerite dan bedande mengandung nilai pendidikan agama, sosial, dan budi pekerti.
  • Kebersamaan. Nilai ini tampak dari interaksi sosial para penonton yang menyaksikan pergelaran becerite dan bedande. Para penonton dapat tertawa bersama dan menikmati pertunjukkan. Rasa kebersamaan sebagai kesatuan masyarakat menjadi semakin erat karena direkatkan oleh kebudayaan rakyat. Apalagi jika tema yang disampaikan berupa kerukunan hidup bermasyarakat, tentu hal ini akan menambah rasa kebersamaan penonton.
  • Pelestarian budaya. Mementaskan becerite dan bedande merupakan bentuk nyata pelestarian kebudayaan yang akan menumbuhkan perasaan memiliki terhadap kesenian becerite dan bedande. Saat ini, becerite dan bedande memerlukan perhatian dari semua pihak karena hampir punah. Nilai pelestarian budaya juga tampak dari busana, alat musik, dan bahasa yang digunakan dalam becerite dan bedande.
  • Pelestarian sastra lokal. Nilai ini tampak dari teks yang dilantunkan dengan menggunakan bahasa Sambas serta tema-tema lokal. Dalam konteks ini, pergelaran becerite dan bedande perlu dikembangkan untuk mengajarkan kepada generasi muda agar mencintai sastra lokal.
7. Penutup
Becerite dan bedande adalah kesenian tradisional orang Sambas yang sarat akan nilai-nilai pendidikan agama, sosial, dan budi pekerti. Dalam konteks untuk membentengi generasi muda, becerite dan bedande menuntut dilestarikan, serta pecerite dan pedande perlu diberi penghargaan. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk memelihara kesenian tradisional ini.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Chairil Effendy, 2006. Becerite dan Bedande. Tradisi Kesastraan Melayu Sambas. Tanjungpura: STAIN Pontianak Press.
  • Sukanto, A.R dkk, 1996. Citra Hero. Telaah Unsur Tokoh Teks Raje Ngalam. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
  • A. Teeuw, 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Raya.



Komentar

Postingan Populer