Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Kajian Perubahan Sosial

Oleh Empuesa

Penulis      : W.F. Wertheim
Penyunting : Agus Fahri Husein, Amirudin, dan Imron Rosyidi
Penerbit     : Tiara Wacana, Yogyakarta
Cetakan     : Februari, 1999
Tebal         : xvii + 304 halaman
Ukuran       : 14,7 x 20,3 cm

Tarik ulur antara paham sosialisme dan kapitalisme sebenarnya tidak hanya terjadi di Barat, tetapi terjadi di hampir setiap negara, termasuk Indonesia. “Pertarungan” dua ideologi yang salin berseberangan ini selalu berlangsung seru karena masing-masing memiliki penganut fanatik, hanya eksistensinya saja yang berbeda. Dalam hal ini, negara dituntut untuk menerjemahkan konflik ideologi tersebut, baik kelemahan dan kelebihannya.

Buku di hadapan Anda ini adalah hasil kajian W.H wertheim, seorang sosiolog Barat, tentang perubahan sosial di Indonesia pada awal-awal abad ke-20 hingga memasuki era kemerdekaan dan setelahnya. Oleh Wertheim, masa itu dianggap tepat untuk diamati karena Indonesia mendapat tantangan berat dari berbagai pengaruh asing maupun dari kelompok-kelompok politik di Indonesia sendiri. Namun demikian, periode yang bergejolak dan keras yang dilewati Indonesia mendorong terjadinya kemajuan sosial, meskipun ada tekanan politik dan ekonomi. Tidak ada kekuatan di bumi ini yang dapat menolak kecenderungan perkembangan sosial (h.297).

Buku ini di bagi dalam 12 bab dan cukup seimbang dalam pembahasannya. Pada Bab I, Wertheim membahas tentang Bhineka Tunggal Ika sebagai azas persatuan dan kesatuan Indonesia (h. 1-8). Pembahasan ini diperkuat dengan survei geografis dan penduduk (h. 11-14). Wertheim memperluas surveinya dengan perkembangan sosial di Asia Selatan dan Tenggara (h.25-32). Bab VI membincangkan tentang sejarah umum politik Indonesia (h. 35-56). Bab V membahas perubahan dalam sistem ekonomi (h. 65-78). Bab VI tentang perubahan sistem status (h. 103-121).

Bab VII tentang perkembangan kota (h.133-144). Bab VIII tentang reformasi agama (h.151-161). Bab IX tentang perubahan pola hubungan kerja (h. 185-199). Bab X tentang dinamika kebudayaan di Indonesia (h. 223-246). Bab XI tentang nasionalisme dan sesudahnya. Terakhir, Bab XII membahas tentang fase pamungkas sebagai kesimpulan sekaligus pertanyaan lanjutan dari Wertheim. Buku ini dirasa tepat dijadikan bacaan pokok bagi Anda para pengkaji sosial dan mahasiswa sosiologi, sejarah, atau politik.

Kekuatan Para Pemimpin Militer 

Dalam buku ini, Wertheim seperti meramalkan apa yang terjadi dalam peta politik di Indonesia. Wertheim menulis bahwa permasalahan lain yang semakin menekan adalah tumbuhnya kekuatan para pemimpin militer. Hal ini terlihat dari bersinarnya Jenderal Nasution dan rekan-rekannya benar-benar telah memperkuat kekuatan aktual korps perwira Indonesia (h.297). Jika mencermati apa yang terjadi sekarang, ramalan itu tampak benar. Indikasinya dapat dilihat dari banyak hal, misalnya presiden di Indonesia seakan tidak dapat dilepaskan dari sosok tentara, di mana ini memunculkan anggapan bahwa kaum sipil belum mampu memimpin. Meskipun reformasi di tubuh TNI tampak diusahakan, namun dalam beberapa hal kekuatan TNI masih menjadi masalah tersendiri bagi rakyat.

Kuatnya pengaruh TNI tidak lepas dari lamanya Soeharto berkuasa yang juga seorang jenderal bintang lima. Kekuasaan Soeharto identik dengan cengkeraman kekuasaan TNI atas rakyat. Pemerintahan Soeharto mendirikan berbagai lembaga dari pusat hingga daerah dengan corak militer, seperti Hansip, Babinsa, hingga Resimen Mahasiswa (Menwa). Dengan begitu, masyarakat dapat terus dikontrol, jika ada gejolak dapat langsung dipadamkan. Sayangnya, dalam buku ini Wertheim tidak secara lugas menyinggung hal ini.

Anak Muda 

Periode reformasi seakan menjadi pertaruhan dari apa yang “diramalkan” oleh Wertehim dalam buku ini. Harapan akan kehidupan demokrasi tercermin dari pemilihan umum langsung dan sistem multipartai sekarang ini. Dalam era keterbukaan, masyarakat dituntut untuk ikut menentukan arah bangsa. Namun demikian, harapan itu ternyata tidak mudah diwujudkan. Sistem multipartai ternyata juga rumit. Banyak partai ternyata justru hanya melahirkan pemimpin yang hanya mementingkan kelompok dan partainya sendiri. Banyaknya orang partai yang menjadi tersangka kasus korupsi menjadi bukti akan hal ini.

Saat ini, harapan demokrasi ada pada generasi muda. Mereka yang belum terkontaminasi dengan penyakit masa lalu diharapkan mampu menghadirkan kehidupan demokrasi di Indonesia. Pertarungan ideologi mungkin bisa akan terjadi lagi. Namun, jika generasi muda berkarakter cerdas, mereka tentunya akan bisa menyikapi konflik perbedaan pandangan itu secara dewasa. Satu yang penting untuk diingat adalah bahwa perubahan sosial akan selalu terjadi di setiap zaman.

(Resensi ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Komentar

Postingan Populer