Batih dan Sedere

Sistem kekerabatan orang Melayu Gayo secara umum terbagi menjadi dua, yaitu keluarga kecil (batih) dan keluarga luas (sedere). Meskipun terkadang tinggal terpisah, tetapi keduanya diikat oleh jalinan klen atau belah.

1. Asal-usul

Suku Gayo adalah salah satu masyarakat Melayu terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Suku ini memiliki sistem kekerabatan yang masih dipertahankan dan masih menjadi ikatan serta panduan dalam menjalankan dalam acara adat dan agama. Hal ini membuktikan bahwa jalur kekerabatan masih dianggap penting (Dado Meuraxa, 1956).

Sistem kekerabatan orang Gayo memperlihatkan konsep kehidupan keluarga dan sosial yang diikat oleh ajaran leluhur. Selain dari rumah tingggal, pengaruh ajaran leluhur terlihat dari cara keluarga besar dalam mengambil keputusan bersama, sesuai dengan pepatah adat. ini menunjukkan bahwa ajaran leluhur menjadi tuntunan sosial (Rusdi Sufi, et.al., 2004).

2. Konsep Sistem kekerabatan Orang Gayo

Konsep sistem kekerabatan orang Gayo dibagi menjadi dua, yaitu keluarga inti/batih dan keluarga besar/luas. Kelompok kekerabatan terkecil disebut dengan keluarga batih atau keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin. Pada saat dewasa, anak-anak yang sudah menikah akan membentuk suatu kelompok keluarga yang luas.

Keluarga batih merupakan kesatuan ekonomi, adat istiadat, dan agama. Kegiatan dalam suatu keluarga batih merupakan tanggung jawab bersama, seperti kegiatan turun kuume (turun ke sawah), berkebun, atau menanam sayur-sayuran. Semua anggota keluarga mendapat jatah sesuai dengan kemampuannya, seperti orangtua hanya mengerjakan pekerjaan yang ringan, sedangkan yang muda untuk pekerjaan yang lebih berat.

Keluarga luas di masyarakat Gayo menempati sebuah rumah besar (umah time ruang). Rumah ini terdiri atas beberapa bagian dengan dapur masing-masing, yang didiami oleh satu keluarga luas. Antarsatu keluarga batih di sebuah umah time ruang tersebut memiliki pertalian keturunan darah. Ruang dalam rumah tersebut akan terus bertambah setiap ada anggota keluarga batih yang menikah, maka jadilah keluarga besar yang disebut dengan sedere. Dalam perkembangannya, ketika banyak sedere dan umah time ruang tidak dapat menampung, maka baru didirikan umah time ruang baru. Meskipun berpisah rumah mereka tetap terikat dengan jalinan klen atau belah (T. Syamsudin dkk., 1979/1980).

Dalam kesehariannya, sedere tidak ikut campur dalam kegiatan sehubungan dengan mata pencaharian. Akan tetapi, dalam kegiatan tertentu, seperti mengambil suatu keputusan, membuat masjid, membuat sumur, kantor desa dan upacara adat daur hidup, sedere ikut terlibat (pekat sedere). Seperti pepetah Gayo, bulet lagu umut, tirus lagu gelas, artinya “kebijaksanaan harus diambil melalui kata-kata mufakat untuk satu tujuan”.

Sehubungan dengan kekerabatan, terdapat 3 bentuk perkawinan dalam tradisi masyarakat Gayo, yaitu:
  • Ango dan juelen. Ketika seorang laki-laki menikah maka ia dianggap “membeli”. Saat itu, istri masuk ke dalam belah suami. Jika terjadi cere banci (sebab perselisihan), maka si istri menjadi ulak temulak (kembali ke asal), dan berhak memperoleh kembali hartanya, baik hasil pemberian orangtuanya (tempah) maupun yang diperoleh bersama (sekarat). Namun bila terjadi cere kasih (meninggal), maka tidak ada perubahan status bagi suami atau istri. Semisal suami meninggal, maka belah suami berkewajiban mencarikan jodoh istri tersebut dengan salah satu kerabat terdekat almarhum suami. Dan jika tidak memiliki keturunan, maka harta waris menjadi milik belah asal warisan tersebut. Jika memiliki keturunan, maka harta itu menjadi hak keturunannya.
  • Angkap. Ada 2 jenis. Pertama, angkap nasap, jika seorang laki-laki menikah, maka ia menjadi belah istri. Jika terjadi cerai banci, maka suami harus kembali ke belah asalnya dan hanya boleh membawa harta sekarat. Namun jika terjadi cerai kasih, maka suami tetap di belah istrinya. Bahkan, ia akan dikawinkan dengan kerabat istrinya. Apabila suami meninggal, maka istri tetap dalam belah asalnya. Jika ada harta warisan, maka itu milik keturunannya. Kedua, angkap sementara/angkap sejep/angkap edet. Jika laki-laki menikah, maka ia menetap di belah istrinya dalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian untuk memenuhi persyaratan saat peminangan. Jika terjadi cerai banci, suami kembali ke belahnya, harta sekarat dibagi-bagi apabila syarat telah dipenuhi. Sedangkan harta sekarat tetap kembali ke belah asalnya.
  • Kuso-kini. Perkawinan jenis ini memberikan kebebasan pada suami istri untuk memilih tempat menetap, belah istri atau suami. Pada masa sekarang, perkawinan jenis ini yang banyak terjadi di Gayo.
3. Nilai-nilai

Sistem kekerabatan orang Melayu Gayo mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain:
  • Pembagian peran. Nilai ini tercermin dari sistem kekerabatan yang dibagi dalam bagian-bagian tertentu. Secara sosial, pembagian ini ditujukan untuk membagi peran masing-masing, baik di keluarga maupun masyarakat.
  • Harmoni masyarakat. Sistem ini secara sosial juga bernilai kepada harmonisasi masyarakat. Dengan ini tentunya kehidupan sosial akan berjalan dengan baik jika masing-masing menjalankan perannya dan tidak melanggar aturan.
  • Melestarikan tradisi. Pelaksanaan sistem ini dalam kehidupan keluarga maupun sosial adalah menjadi bukti tindakan orang Gayo dalam pelestarian tradisi.
  • Menjaga adat. Salah satu tugas yang diemban orang Gayo adalah menjalankan upacara adat. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa salah satu tujuan sistem kekerabatan ini adalah untuk menjaga adat Gayo agar tetap lestari.
  • Menjaga keturunan. Satu hal penting dari sistem kekerabatan adalah berlangsungnya keturunan agar bertahan dan bermanfaat bagi sesama. Melalui sistem ini, leluhur Gayo ingin menjaga nasab setiap orang agar tetap tersambung.
  • Menjaga persatuan suku. Sistem kekerabatan bernilai untuk menjaga persatuan suku. Hal ini disebabkan oleh kesadaran mereka yang diikat oleh satu leluhur dari suku yang sama.
4. Penutup

Sebagai salah satu suku Melayu di nusantara, sistem kekerabatan orang Gayo turut membesarkan kekerabatan orang Melayu. Sistem ini juga menggambarkan bagaimana orang Melayu memiliki sistem kekerabatan dan perkawinan yang khusus dan tertata dengan baik.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com)

Referensi
  • Dado Meuraxa, 1956. Sekitar Suku Melayu, Batak, Atjeh dan Kerajaan Deli. Medan: Pengetahuan.
  • Rusdi Sufi, et.al., 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
  • Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial: Kehidupan di Perkampungan Miskin kota Banda Aceh. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 1998/1999.
  • T. Syamsudin dkk, 1979/1980. Sistim Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.










Komentar

Postingan Populer