Kepercayaan Tradisional Orang NTT

Oleh Empuesa

Keyakinan tradisional yang dianut orang-orang Melayu serumpun di Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari 4 jenis, yaitu Lera Wulan Tana Ekan, Marapu, Uis Neno, dan Jingitiu. Keempat keyakinan tersebut hingga kini masih lestari dan dilindungi oleh Pemerintah daerah. 


Asal-usul

Suku-suku yang tinggal di Pulau NTT dikenal sebagai masyarakat yang masih menganut keyakinan tradisional. Di pedesaan NTT, masih banyak ditemui kuburan batu dan upacara adat berdasarkan 4 keyakinan yang kini masih dianut, yaitu keyakinan Lera Wulan Tana Ekan, Marapu, Uis Neno, dan Jingitiu. Hal ini menguatkan kesan, bahwa meskipun agama-agama baru sudah masuk ke NTT, namun mereka masih terikat kuat dan menjaga ajaran leluhur (Nico L. Kana, 1983; Tim DepDikBud, 1984). 

Menurut sejarahnya, semua keyakinan tersebut diperoleh dari Tuhan melalui leluhur yang terpilih. Ajaran tersebut lalu disampaikan secara lisan dan turun-temurun. Secara umum, ajaran 4 keyakinan tersebut berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, masyarakat, dan lingkungan. Keempat ajaran tersebut memiliki pemeluk masing-masing yang tersebar di NTT dan hidup berdampingan serta saling menghormati (J.J. Djeki, dkk, 1992/1993; The Sawunese, in F. Lebar (ed.), 1972). 

Konsep Keyakinan Tradisional Orang Melayu NTT

Terdapat setidaknya 4 keyakinan tradisional yang berkembang di masyarakat NTT yang masih tercermin dalam beberapa ritual upacara adat, artefak arkeologis, bahasa, mitos, dan pola pikir. Berikut penjelasan keempat keyakinan tersebut: 

1. Lera Wulan Tana Ekan. Keyakinan ini banyak dianut oleh masyarakat Lamaholot yang tersebar di wilayah Adonara, Solor, Lembata, dan daratan ujung Flores Timur. Lera Wulan adalah wujud tertinggi yang diyakini sebagai pencipta bumi beserta isinya (Tana Ekan). Keyakinan ini dipercaya muncul sejak keberadaan bumi ini. Dalam ungkapan tmasyarakat Lamaholot disebutkan: Wakone buta mete walan mara, tana tawa ekan sere, allapet pe nowa kae (Sejak bumi dan isinya mulai menyatu adanya, sesungguhnya Tuhan itu telah ada, karena dialah pemula segalanya). 

Secara kronologis, sejak manusia menghuni Lamaholot, sejak itu pula lahir koda (sabda) yang senantiasa melekat di hati dan sanubari mereka bahwa moripet ni noo allapet (hidup dan kehidupan ini ada sumbernya, ada asalnya, dan ada mulanya). Koda-koda (sabda) itu akhirnya menjadi koda kirin (ajaran) yang dipercaya secara bersama. 

Mereka percaya, mati hidup manusia sangat bergantung pada koda. Koda moen muren moon lewo tobo, koda moen nalan moon lewo pana (Dalam setiap kehidupan manusia, kita tidak bisa terlepas dari rangkaian bahasa, tutur kata, perbuatan, sikap, dan tindak tanduk yang kesemuanya merupakan manifestasi dari kata batin, terutama yang berhubungan dengan makhluk lain). Atau tite ata-dikeni, allapet mete raga gerihan reron rema (Setiap manusia dalam menjalani kehidupannya, Tuhan senantiasa menjaga, memelihara, serta menaungi saat siang maupun malam). 

Ajaran Lera Wulan Tana Ekan diajarkan oleh para leluhur (Nubanara) yang tinggal di alam gaib. Nubanara menjadi penghubung antara manusia dan Lera Wulan Tana Ekan dan penghubung antara surga dan bumi. Keyakinan ini pada mulanya hanya dianut sebagai kepercayaan lokal. Namun dalam perkembangannya, keyakinan ini ditabalkan dalam sebuah organisasi resmi pada 1985 oleh Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diberi nama organisasi Lera Wulan Tana Ekan. 

2. Marapu. Keyakinan ini tumbuh dan berkembang pada masyarakat Sumba. Menurut penganut keyakinan ini, ajaran Marapu pertamakali diterima oleh Ina (ibu) dan Ama (bapak). Keduanya diturunkan di suatu tempat bernama Hutan Tua Bukit Keramat (Haharo Malangi-Kataka Lenja Watyu) dan menetap di sana sejak zaman es mencair. Ina dan Ama mempunnyai anak 8 pasang, laki-laki dan perempuan. Menurut ajaran Marapu, Ina dan Ama mendapat perintah dari Tuhan (Ama Wolo-Ama Rawi) untuk membuat haloman rato, nataro (lapangan kecil dengan batu melingkar bersusun) yang akan dijadikan sebagai tempat mengatur tata tertib dan hukum dalam kehidupan masyarakat serta untuk menyimpan simbol-simbol leluhur. 

Ina dan Ama mengajarkan budi pekerti sehingga masyarakat saat itu hidup damai dan sejahtera. Oleh orang Sumba, arwah keduanya disebut dengan Marapu yang berarti “Yang Dipertuan atau Didewakan”. Untuk menghormati dan mengenang keduanya, orang Sumba menciptakan sepasang patung manusia dari emas, mamoli (perhiasan), dan tabele (lambang bulan sabit dan matahari). Benda-benda tersebut dalam ritual upacara adat dijadikan media komunikasi dengan Ina dan Ama. Hingga sekarang, keyakinan Marapu masih dipelihara oleh orang Sumba. Kisah-kisah ajaran leluhur masih selalu diajarkan oleh orang khusus yang disebut Rato Marapu. Keyakinan Marapu resmi menjadi organisasi masyarakat sejak tahun 1979. 

3. Uis Neno. Keyakinan ini banyak dianut oleh masyarakat Timor Tengah Utara. Mereka memperolehnya lewat tuturan lisan, bukan tulisan (kitab). Penerima pertama ajaran ini adalah leluhur bernama Soi Liurai yang dianggap sebagai penguasa tertinggi yang mengatur masyarakat, baik jasmani maupun rohani. Ia dipercaya sebagai keturunan penguasa Kerajaan pertama di Pulau Timor, Maromak Oan. 

Menurut ajaran Uis Neno, pada mulanya Pulau Timor ditutupi air dan hanya tumbuh sebatang pohon beringin sebagai daratan. Suatu ketika, Noi Maromak (Dewa Langit) menurunkan seorang ibu dari langit di atas pohon beringin tersebut dan 2 buah benda langit. Benda pertama jatuh ke dalam air dan berubah menjadi binatang-binatang air. Benda kedua mengenai Ibu Langit dan masuk ke dalam sarungnya. Ibu langit lalu mengandung dan melahirkan 2 anak, Mau Kiak dan Bau Kiak. Setelah melahirkan, Ibu Langit kembali ke langit dan berpesan agar keduanya berketurunan hingga memenuhi daratan, kelak akan diturunkan pula Putra Langit. 

Petunjuk pokok ajaran Uis Neno terangkum dalam ungkapan Monit fua uis neno, monit fua nitu, dan monit moe alekot. Artinya, manusia harus menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati roh leluhur sebagai perantara dengan Tuhan, dan menghormati masyarakat dan lingkungan dengan budi pekerti. Ajaran Uis Neno yang lain adalah tentang hubungan antara manusia, Tuhan, dan lingkungan yang akan menciptakan keselarasan, kebahagiaan, dan keharmonisan kehidupan di dunia dan alam nanti. Para penganut Uis Neno sudah terhimpun dalam organisasi resmi sejak tahun 1980 dengan nama Neopan. Organisasi ini dikelola oleh orang-orang khusus untuk menjalankan program rohani dan sosial kemasyarakatan. 

4. Jingitiu. Ajaran ini banyak dianut oleh penduduk di Pulau Sabu. Orang pertama yang dipercaya menerima ajaran ini adalah Kikaga (orang suci). Ia memiliki saudara bernama Hau. Kata Hau berkembang menjadi Hawu dan selanjutnya Sabu atau Sawu, hingga menjadi nama pulau. Kikaga dan Hau dipercaya datang dari India atau Timur Tengah, dan di Pulau Sabu tinggal di Gua Merabu yang dikeramatkan hingga kini. 

Kikaga mendapat petunjuk dari Liru Bala (Tuhan) melalui anaknya Ludji Liru (Anak Langit). Ajaran utama Liru Bala adalah tentang budi luhur yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia, dan lingkungan. Ajaran ini harus disampaikan kepada anak keturunan Kikaga yang menikahi Liura (Puteri Matahari). Pemeluk ajaran Jingitiu sudah terhimpun dalam organisasi resmi bernama Mone Ama (7 laki-laki yang dibapakkan) yang masing-masing memiliki 7 pejabat, yaitu Deorai, Doheleo, Rue, Bangu Uda, Pulodo, Maukia, dan Bawairi. Kesemuanya mengurus tata kelola masyarakat dan upacara adat orang Sabu. 

Nilai-nilai

Sistem kepercayaan orang Melayu di NTT mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan, antara lain: 
  • Religius. Nilai ini tercermin dari ajaran kepercayaan orang NTT yang menekankan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa kehidupan manusia. 
  • Sosial dan budi pekerti. Nilai ini tercermin dari ajaran keyakinan yang menekankan pentingnya berperilaku baik dalam kehidupan sosial, sesuai perintah Tuhan. 
  • Menjaga lingkungan atau alam. Nilai ini tercermin dari ajaran-ajaran yang mewajibkan untuk merawat lingkungan. 
  • Harmoni masyarakat. Pengaturan masyarakat yang diperintahkan Tuhan serta pembentukan organisasi masing-masing penghayat semakin menguatkan harmoni kehidupan sosial masyarakat. 
  • Melestarikan tradisi. Keempat keyakinan di atas merupakan tradisi leluhur masing-masing suku. karena itu, pelaksanaannya merupakan wujud nyata pelestarian tradisi leluhur. 
  • Menjaga adat. Keempat keyakinan tersebut dianut oleh berbeda suku dengan adat yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, pelaksanaan keyakinan tersebut juga bagian dari upaya menjaga adat masing-masing suku. 
  • Menjaga persatuan suku dan antarsuku. Keempat keyakinan tersebut dianut oleh suku-suku yang berbeda, namun mereka hidup berdampingan. 
Penutup

Sebagai salah satu wilayah Melayu di nusantara yang heterogen, kerukunan hidup masyarakat di NTT penting untuk diteladani. Keyakinan tradisional mereka ternyata memberikan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. 

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com

Referensi 
  • J.J. Djeki, dkk, 1992/1993. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Nico L. Kana, 1983. Dunia Orang Sawu. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Tim DepDikBud, 1984. Upacara Tradisional Daerah NTT. Jakarta: Tim DepDikBud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 
  • The Sawunese, in F. Lebar (ed.), 1972. Ethnic Groups of insular Southeast Asia. New Haven, Connecticut: Human Relations Area Files Press. 

Komentar

Postingan Populer