Konsep Kekuasaan Jingitiu

Jingitiu adalah kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat Melayu di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut mereka, kekuasaan terwujud dalam hierarki yang jelas, dari mulai Tuhan hingga pemimpin adat. 

Asal-usul

Sebagian suku bangsa di NTT masih menganut keyakinan tradisional, salah satunya adalah kepercayaan Jingitiu. Kepercayaan leluhur ini masih dianut oleh masyarakat di Pulau Sabu, NTT. Jejak dari kepercayaan ini adalah banyaknya kuburan batu, gua pemujaan, dan hukum adat serta kekuasaan di masyarakat. Eksistensi kepercayaan Jingitiu menjadi penanda bahwa agama modern belum menyentuh sisi terdalam kebudayaan orang Sabu (Nico L. Kana, 1983; Tim DepDikBud, 1984).

Menurut sejarahnya, kekuasaan menurut kepercayaan Jingitiu ada sejak nenek moyang orang Sabu yang dikenal dengan nama Kikaga dan Liura. Konon, mereka tinggal di Pulau Sabu, tepatnya di Gua Merabu. Kekuasaan dalam kepercayaan orang Sabu tertata secara hierarkis mulai dari Tuhan hingga pemimpin adat. Konsep kekuasaan ini masih dijalankan meskipun mayoritas penduduk Sabu saat ini beragama Kristen (J.J. Djeki, dkk, 1992/1993).

Konsep kekuasaan ini diperoleh Kikaga atas petunjuk Lirubala (Tuhan langit) di atas sebuah batu merah (Wadumea). Hingga kini, gua Merabu dan Wadumea dikeramatkan oleh orang Sabu. Selain tidak boleh sembarangan orang menjamahnya, di kedua tempat ini juga sering digelar upacara adat (The Sawunese, in F. Lebar (ed.), 1972).

Konsep Kekuasaan dalam Kepercayaan Jingitiu di NTT 

Konsep kekuasaan menurut ajaran Jingitiu merupakan ajaran lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Ajaran ini mengendap dalam ingatan orang Sabu dan hingga kini masih dipraktekkan sebagai acuan kehidupan bermasyarakat penganut Jingitiu di Pulau Sabu. Kekuasaan bermula dari Tuhan mereka yang bernama Lirubala yang bersemayam di langit. Lirubala lalu memilih orang yang pertamakali dipercaya menerima ajaran Jingitiu, yaitu Kikaga (orang suci). Kikaga memiliki saudara bernama Hau. Kata Hau berkembang menjadi Hawu dan selanjutnya Sabu atau Sawu, hingga menjadi nama pulau. Kikaga dan Hau dipercaya datang dari India atau Timur Tengah. Di Pulau Sabu, keduanya tinggal di Gua Merabu yang dikeramatkan hingga kini.

Kepercayaan ini bermula dari cerita rakyat Sabu. Syahdan, awalnya Kikaga adalah seorang pencari ikan. Suatu ketika, datanglah sosok dari langit bernama Ludji Liru, yang menanyakan dari mana asalnya apa yang ia cari. Kikaga menjawab, ia berasal dari seberang dan sedang mencari ikan. Kikaga lalu diajak Ludji Liru ke khayangan menghadap Lirubala. Selama di khayangan, Kikaga terus menangis terus. Karena itu, ia dikembalikan ke bumi dan diminta untuk tidur di atas batu merah (Wadumea) untuk menantikan sesuatu yang akan diturunkan dari langit. Hingga sekarang, penganut Jingitiu menjaga Wadumea yang dianggap sebagai tempat Kikaga mendapat petunjuk dari Tuhan langit atau Lirubala.

Keesokan harinya, Kikaga mendapatkan dua hal dari langit. Pertama, kepandaian dan keterampilan untuk mengajarkan budi luhur tentang Tuhan, kemanusiaan, dan lingkungan. Kedua, Kikaga mendapatkan Liura (puteri matahari) sebagai isterinya. Selanjutnya, keduanya tinggal di dalam Gua Merabu dan beranak-pinak menurunkan orang Sabu sekarang ini. Dalam perjalanan suci mengajarkan budi luhur, Kikaga mengendarai kerbau. Oleh karena itu, hingga sekarang kerbau menjadi binatang yang dikeramatkan oleh orang Sabu.

Penganut ajaran Jingitiu percaya bahwa keturunan Kikaga dan Liura mulai berkembang dari kampung yang bernama Teriwu Raeae. Mereka membentuk sebuah komunitas bernama Mone Ama yang artinya “7 laki-laki yang dibapakkan”. Sejak dahulu, di wilayah ini sudah terbagi dalam 7 bagian yang dipimpin oleh 7 pejabat, yaitu Deorai, Doheleo, Rue, Bangu Uda, Pulodo, Maukia, dan Bawairi. Tujuh pejabat tersebut memiliki tugas masing-masing, yaitu:
  • Deo Rai bertugas menjalankan dan memimpin upacara yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, seperti upacara meminta hujan, upacara mencegah hama, upacara memohon panen yang melimpah, upacara untuk menangkal bencana atau penyakit, dan lainnya.
  • Dohe Leo bertugas mengawal wilayah dan pengamat upacara. Misalnya, jika terdapat kesalahan dalam pelaksanaan upacara yang bisa mendatangkan kutukan, Dohe Leo akan meminta bantuan Deo Rai.
  • Rue bertugas melaksanakan upacara penyucian. Artinya Rue akan menggelar upacara penyucian pengganti jika ada pelaksanaan upacara yang salah.
  • Bangu Uda bertugas mengurus tanah warga.
  • Pulodo Muhu adalah panglima perang yang bertugas menjaga keamanan wilayah.
  • Mau Kia bertugas melaksanakan pengadilan dan menyelesaikan sengketa atau konflik di antara warga atau dengan warga kampung lain.
  • Bawa Iri bertugas menjaga, memelihara, dan membawa alat-alat upacara.
  • Do Hau bertugas mengikuti upacara, melaksanakan anjuran dan petunjuk.
Dalam pelaksanaan upacara adat, ketujuh pejabat di atas memiliki anggota-anggota yang terdiri dari: Kiru Lihu (penolak perang), Lado Aga (penjaga kedamaian), Lado Lade (penjaga keindahan dan kelestarian alam), Hawa Ranga (pengatur musim), dan Puke Dudu (penenang gelombang laut). 

Pengaruh Sosial 

Pengetahuan Suku Sabu tentang kekuasaan turut mempengaruhi kehidupan sosial mereka, antara lain:
  • Keteraturan dan ketertiban sosial. Dalam kebudayaan Suku Sabu, kekuasaan pemimpin yang diberikan adat dianggap sebagai amanat. Pelaksanaan amanat tersebut akan menciptakan keteraturan sosial. Kekuasaan dalam aturan adat memiliki makna agar pemimpin serius menjalankan tugasnya karena jika tidak maka pemimpin dianggap melanggar adat, begitu pula masyarakatnya. Di sisi lain, pengetahuan ini juga berdampak pada ketertiban sosial, karena segala permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan baik dan tertib.
  • Status sosial. Bagi para pemangku adat, pengetahuan ini berpengaruh pada status sosial mereka. Mereka akan dihormati karena status sosial mereka. Namun, hal ini akan terjadi jika para pemimpin dapat menjalankan kekuasaannya sesuai dengan amanat rakyat, jika tidak maka status tersebut justru menjadi beban sosial.
  • Pelestarian ajaran leluhur. Pengetahuan ini merupakan wujud usaha suku Sabu dalam melestarikan ajaran leluhur. Dalam konteks pelestarian tradisi, hal ini penting untuk diapresiasi karena hanya melalui pengetahuan dan hukum adat, keberadaan suku-suku dapat bertahan.
  • Perbandingan antara hukum adat dan nasional. Keberadaan pengetahuan ini secara khusus dapat menjadi media perbandingan antara hukum adat dengan hukum nasional (undang-undang negara). Perbandingan ini penting untuk dilakukan agar tercipta sikap saling memahami antara adat budaya dan pemerintah. Pemahaman bersama ini dirasa penting karena keduanya memiliki kewajiban dalam menjaga ketertiban adat dan nasional.
Penutup 

Pengetahuan Suku Sabu tentang kekuasaan hingga sekarang masih diaplikasikan dalam kehidupan mereka, meskipun mereka mayoritas sudah memeluk agama Kristen. Pengetahuan tradisional dan agama ini ternyata dapat hidup berdampingan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Suku Sabu dapat menyelesaikan perbedaan dalam kehidupan mereka.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com) 

Referensi
  • J.J. Djeki, dkk, 1992/1993. Pengkajian Nilai-nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Nico L. Kana, 1983. Dunia Orang Sawu. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Tim DepDikBud, 1984. Upacara Tradisional Daerah NTT. Jakarta: Tim DepDikBud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
  • The Sawunese, in F. Lebar (ed.), 1972. Ethnic Groups of Insular Southeast Asia. New Haven, Connecticut: Human Relations Area Files Press.



Komentar

Postingan Populer