Kritik Sastra

Bagi kalangan awam, karya sastra seperti puisi hanya bisa dipahami oleh penulisnya sendiri. Suara miring di masyarakat bahkan menyebut, penyuka sastra hanyalah orang-orang “gila” yang hidupnya tidak teratur dan suka “memberontak”. 
Pandangan ini pastinya belum tentu benar, karena menilai karya sastra tidak harus dari sis pelakunya (sastrawan). Orang hanya mengerti bahwa bahasa sastra itu indah. Namun, mereka tidak tahu, bahwa nilai karya sastra tidak hanya dari sisi bahasanya saja. 

Para pemerhati sastra pun kerap bingung dalam menilai sebuah karya sastra, karena hampir sama sulitnya dengan membuat karya itu sendiri. Sementara itu, terkadang sastrawan juga tidak menyadari nilai dari karyanya. Mereka hanya menulis kata hati dan apa yang dirasakan. Bahkan, kadang memilih kata tanpa sengaja.  

Membaca dan Menafsirkan Tanda

Berbicara tentang sastra adalah bicara tentang teks. Teks sastra adalah tanda. Kenapa demikian, karena teks sastra merupakan bentuk komunikasi sastrawan dengan kata-kata bersayap. Karena itu, pemerhati sastra harus terlebih dahulu menguasai semiotika. Semiotik adalah suatu disiplin ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system ‘ sistem tanda’.

Dalam kajian antropologi, mayoritas manusia sebenarnya berkomunikasi dengan tanda. Karena bahasa itu sendiri adalah simbol. Hanya saja ada bahasa yang langsung dapat dipahami dan ada pula yang sulit. Sastrawan lebih banyak menggunakan bahasa yang sulit dipahami, karena itu dianggap sebagai seni dalam berkata-kata.

Dengan demikian, penilaian sastra adalah cara untuk membaca dan menafsirkan tanda. Meskipun demikian, penilaian teks sastra tidak boleh disampaikan serampangan, karena sastrawan memiliki tujuan dan maksud tertentu dalam karyanya. Dalam konteks ilmu pengetahuan, diperlukan metode khusus untuk menilai karya sastra yang salah satunya ditujukan untuk mengetahui makna dan maksud dari teks sastra.
Pentingnya Kritik Sastra
Dalam sejarahnya, banyak ditemukan sastrawan yang berkarya untuk melanggengkan dan melayani penguasa. Hal ini berbeda dengan karya sastra yang mengkritik penguasa dengan mengungkapkan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Karya mereka umumnya disebut dengan sastra pembebasan dan cenderung mendobrak sistem yang ada. 
Di Indonesia, pada setiap zamannya selalu diisi oleh dua kelompok sastrawan di atas. Mereka yang memilih untuk menjadi sastrawan anti kemapanan, umumnya dikucilkan bahkan dibunuh. Sebaliknya, mereka yang memilih membela status quo, mereka hidup enak.

Dalam konteks pembangunan manusia dan kemandirian karya sastra, di sinilah pentingnya kritik sastra. Sastra status quo cenderung membuat manusia berhayal dan larut dalam romantisme. Sementara itu, sastra pembebasan cenderung menyadarkan manusia akan ketidakdilan di sekitarnya. 
Jogja, siang hari diiringi gerimis

Komentar

Postingan Populer