Midodareni

Midodareni berasal dari kata widodari atau bidadari. Widodari adalah titah berjenis kelamin perempuan yang hidup di kerajaan para dewa. Ia cantik tiada tara, tiada kurang tiada cacat. Pendek kata ia sangat sempurna. Widodari tinggal di kahyangan jonggring salaka atau syailendra bawana. Prosesi midodareni dilakukan dengan harapan pengantin perempuan yang didandani diharapkan cantik bagaikan bidadari. 

Midodareni adalah tahap terakhir sebelum upacara pernikahan dilaksanakan. Midodareni ditujukan untuk merayakan malam terakhir calon pengantin perempuan berstatus lajang. Upacara ini digelar pada malam hari menjelang pernikahan di kediaman pengantin perempuan. Dalam proses ini, pengantin perempuan akan didandani lalu “disembunyikan” dalam kamar untuk dipersiapkan “menerima tamu”, yaitu dewi atau widodari dari khayangan.

Jika mencermati pengertian midodareni di atas, maka imajinasi orang Jawa tentang seorang bidadari yang cantik jelita menjadi alasan kenapa tradisi ini diadakan. Dengan demikian, midodareni sebenarnya tidak hanya sekadar ritual upacara adat. Lebih dari itu, midodareni adalah sebuah kebudayaan leluhur penuh makna yang mengikat orang Jawa.

Harapan secantik bidadari sebenarnya bukanlah hanya ada di kebudayaan Jawa. Kebudayaan suku bangsa Melayu di Burma (sekarang Myanmar) juga memiliki imajinasi tentang seorang perempuan cantik bernama Nat. Sosok Nat dipercaya tinggal di dekat para dewa. Namun, Nat memiliki wakilnya di bumi, yaitu laki-laki memiliki kecenderungan sifat perempuan. Seorang perempuan Burma yang ingin cantik seperti Nat, secara simbolis akan menikah dengan Nat dengan perantara wakilnya tersebut. Upacara ritual pernikahan dengan Nat ini mereka sebut dengan Nat Kahdow.

Upacara midodareni berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi disukai perempuan karena mengandung makna harapan secantik bidadari, namun di sisi lain dianggap ribet dan sebagian menganggap hanya mitos. Akibatnya, saat ini upacara midodareni jarang lagi dipraktekkan.

Realitas tersebut tentunya sangat menyedihkan, karena kebudayaan tradisional dikalahkan oleh anggapan modern yang terkadang tidak seimbang. Padahal, sebenarnya ritual midodareni ini ditujukan untuk memohon doa restu dari para tetua, keluarga, kerabat dan tetangga agar pelaksanaan upacara pernikahan bisa berjalan lancar. Seharusnya, doa restu dari orang-orang tua itulah yang dijadikan pijakan berfikir orang sekarang sehingga midodareni menjadi penting untuk dilakukan.

Sebenarnya kebudayaan manusia, baik yang tradisional maupun modern tidak lepas dari mitos. Orang modern pun sekarang menciptakan mitos kecantikan mereka sendiri, contohnya dengan membuat peralatan kecantikan bagi mereka yang ingin berkulit putih meski kulit mereka hitam. Dalam hal ini, bukan hanya mitos, kebudayaan modern juga telah menciptakan rasisme baru.

Minggu siang yang terik

Komentar

Postingan Populer