Orang Melayu di Bali

Wisata Bali tidak hanya menawarkan keindahan alam dan budayanya saja. Bali ternyata juga menyuguhkan wisata kebhinekaan yang sudah berlangsung ratusan tahun. Siapa yang menyangka jika di Bali, tepatnya di Kabupaten Jembrana, terdapat komunitas orang Melayu yang berkehidupan di sana. Keberadaan mereka ini menunjukkan bahwa kekuatan Indonesia terletak pada keberagaman masyarakatnya. 

Keberadaan orang Melayu di Bali sudah ada sejak ratusan tahun silam. Mereka hidup berdampingan dengan penduduk asli, tanpa harus menghilangkan identitas kemelayuan mereka. Menurut sejarah yang ada, kedatangan orang Melayu di Bali berkait dengan kejatuhan Kerajaan Wajo di Makassar, Sulawesi Selatan, ke tangan Belanda pada 1667. 

Belanda merasa, bahwa keturunan Sultan Wajo harus dibasmi karena bisa menjadi ancaman. Rombongan Sultan Wajo pun melarikan diri hingga akhirnya sampai ke daerah yang sekarang dikenal sebagai daerah Jembrana, Bali. Atas izin I Gusti Ngurah Pancoran yang berkuasa di Jembrana kala itu, pelabuhan tempat mereka berlabuh diberi nama Bandar Pancoran, yang terletak di Kampung Loloan Barat. Sejak saat itu, banyak orang Bugis datang ke Jembrana. Mereka menggunakan perahu Pinisi dan Lambo mengarungi samudera. 

Pada abad ke-18 M, datang rombongan orang Melayu dari Pontianak yang dipimpin oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry. Anak Agung-Jembran Putu Seloka (1795-1842), raja ketiga di Jembrana yang berkuasa kala itu, membolehkan rombongan Syarif untuk tinggal di Loloan. Dalam rombongan tersebut, terdapat juga orang Melayu dari Terengganu (Malaysia) bernama Ya`qub. Ia menikah dengan penduduk Melayu yang sudah lebih dulu datang. Nama Ya`qub disebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim, Loloan, yang telah ada sejak era 1600-an Masehi. Di pelataran masjid itu pula Ya`qub dimakamkan. 

Orang-orang Melayu diterima di Bali karena mereka bersedia membantu Kerajaan Jembrana ketika diserang kerajaan lainnya. Sebagai imbalannya, mereka dihadiahi sebidang tanah untuk tempat bermukim. Eksistensi budaya Melayu di Bali bertambah kuat dan kokoh ketika para keturunan orang Melayu di Bali membangun pesantren setelah pulang dari Mekkah untuk belajar agama. 

Orang Melayu di Bali mayoritas tinggal di dua kampung, yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur. Saat ini, jumlahnya kurang lebih 55.000 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka hidup dengan adat-istiadat Melayunya. Orang Melayu di sana umumnya beragama Islam dan berpakaian Melayu. Di kampung tersebut juga berdiri masjid dan sejumlah pesantren. 

Orang Melayu sangat terbuka dengan orang Bali dan adat-istiadat lokal di sana. Mereka iktu menghormati jika orang Bali merayakan Nyepi. Begitu juga sebaliknya, orang Bali sangat menghormati orang Melayu yang kerap menyelenggarakan acara-acara bernuansa Islam. Seperti perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad (maulud) atau hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. 

Dalam kesehariannya, orang Melayu di Bali memakai bahasa Melayu. Mereka mengganti kata saya dengan awak, kamu dengan kau, atau dia dengan die. Namun, tidak sedikit pula bahasa Melayu terpengaruh dengan Bahasa Bali. Menurut informasi yang saya baca, pada mulanya orang Melayu di Bali umumnya berbahasa Bugis. Akan tetapi, tersebab dakwah agama waktu itu menggunakan bahasa Melayu, bahasa Bugis menjadi agak tersisih dan digantikan dengan bahasa Melayu. 

Orang Melayu di Bali tinggal di rumah-rumah panggung berbahan kayu kendati sekarang sudah banyak rumah orang Melayu yang berpondasi tanah dan bertembok batu bata. Meskipun demikian, corak Melayu tetap tak hilang dari rumah mereka. Penduduk Melayu di Bali juga sering menampilkan pertunjukkan seni Melayu, seperti rebana dan silat ala Bugis. 

Apa yang dialami orang Melayu di Bali ini adalah bukti kebhinekaan Indonesia. Tugas selanjutnya adalah menjadikan kebhinekaan itu sebagai semangat untuk mencari persamaan manusia, bukan memperuncing perbedaannya. 

(Tulisan ini pernah dimuat di MelayuOnline.com dan WisataMelayu.com)

Komentar

Postingan Populer