Bergantung Hidup dari Calo

Sehari menjelang pertandingan final sepak bola Sea Games Indonesia lawan Malaysia, salah satu loket tiket di Gelora Bung Karno (GBK) dibakar pembeli tiket. Para penonton itu marah karena tiket habis. Usut-punya usut, tiket habis diborong para calo. Penonton curiga, panitia sengaja menjual ke calo agar mereka mendapat bagian.
 
Dalam setiap kegaduhan tiket, umumnya calo selalu disalahkan. Mereka dianggap makluk jahat, karena memborong tiket lalu dijual lagi dengan harga mahal. Saat mudik, konser, apalagi pertandingan sepak bola, calo selalu langganan dikutuk publik.

Umumnya para calo dituduh menjadi calo karena mereka miskin, pengangguran, dan tega dengan penderitaan orang lain. Tetapi menurut saya, seseorang menjadi calo tidak ada hubungannya dengan miskin atau pengangguran. Orang kaya dan berpendidikan pun bisa menjadi calo.


Saya berpandangan, calo bukanlah profesi yang merdeka. Calo itu diciptakan, baik oleh orang lain maupun si calo itu sendiri. Keduanya berhubungan dengan kepentingan publik. Calo yang pertama contohnya calo tiket sepak bola dan calo yang kedua contohnya calo di senayan.


Menurut saya, calo jenis pertama diciptakan oleh orang kaya yang pemalas. Mereka yang sibuk, semua waktunya untuk bekerja mencari uang. Waktunya tersekat oleh jam kerja dan gengsi sosial sebagai orang kaya. Sehingga tidak mungkin mereka mau mengantre di loket. Berpanas-panas, berpeluh, hujan-hujan, atau berdiri berjam-jam.


Orang kaya maunya serba cepat. Mereka mau mengantre, tapi umumnya tidak mau yang lama-lama. Orang kaya tentu saja merasa punya uang. Mereka bisa mendapatkan tiket, tapi tidak lewat mengantre. Terus lewat apa? Ya.. lewat orang-orang yang mau mengantre. Orang itulah calo. Karena itu menurut saya, calo jenis ini ada karena “dikonstruksi” oleh orang kaya. Bukan karena mereka miskin lalu menjadi calo.


Miskin adalah realitas ekonomi seseorang yang terbatasi. Mereka ingin ini dan itu, tapi tidak mampu (terbatasi). Namun, kemiskinan tidak secara langsung menjadi sebab orang menjadi calo. Karena banyak orang miskin yang menolak calo. Buktinya, para suporter itu umumnya datang dengan uang pas-pasan (terbatas/miskin). Tetapi mereka rela mengantre, berpeluh-peluh, hujan-hujan, dan berdesakan. Kalau karena miskin lalu orang menjadi calo, tentunya para suporter itu akan menjadi calo semua.


Bayangkan saja, mereka sengaja datang sejak sehari sebelumnya. Bahkan, mereka rela tidur di GBK, menahan dingin dan lapar, uang mereka patungan, cukup untuk bertahan di Jakarta sehari semalam. Ketika mereka marah lalu membakar loket, saya melihat itu karena membenci calo. Mereka ingin mendukung Timnas secara apa adanya. Mereka tunjukkan itu dengan membayar dan mengantre tiket. Bukan duduk di rumah mengharapkan bantuan calo.


Sehubungan dengan sepak bola, orang-orang kaya pemalas itu merasa nasionalisme perlu dikobarkan, tapi tidak harus dengan berkeringat. Mereka ingin mencari enaknya saja. Mereka memanfaatkan “kemiskinan” orang lain, lalu “membelinya” sebagai baju nasionalisme mereka. Saat orang berteriak “Indonesia”, mereka bangga, karena sudah merasa menonton. Meski tiketnya dari calo


Calo jenis kedua adalah orang-orang tertentu yang sebenarnya secara ekonomi mampu, tapi sengaja mengonstruksi dirinya sendiri menjadi calo. Ekonomi mereka lebih dari cukup, tapi mereka merasa kurang. Mereka punya banyak keinginan lalu memaksakan dirinya untuk memenuhi keinginan itu, tapi dengan cara menjadi calo.


Mereka bukan calo ecek-ecek, melainkan sesuatu yang dibutuhkan rakyat. Mereka bekerja saat ada proyek, pembahasan undang-undang, atau pemilihan pemimpin daerah atau pusat. Mencalokan “barang-barang” ini hasilnya lebih berkelas dari hanya sekadar tiket. Tempatnya tertutup, berkelas, dan prestisius.


Calo jenis ini susah dideteksi, meski seragam mereka sama. Pastinya mereka berdasi dan berjas. Calo jenis ini lebih susah diberantas, karena lebih banyak orang yang membutuhkan. Khususnya para penguasa. Karena itu, identitasnya terlindungi.


Calo jenis ini tinggalnya di rumah mewah, bukan di perkampungan kumuh. Mereka berkendara mobil, bahkan dengan sopir, bukan tukang ojek atau pengangguran. Mereka bersepatu Polo atau Bucheri, bukan sandal jepit atau sepatu butut. Mereka menjadi calo karena mereka sendiri. Mereka tidak malu, karena tidak banyak orang yang tahu, kecuali tangan kanan dan kiri mereka.


Pandangan ini bukan menuduh, tapi kenyataan. Calo jenis pertama ada karena orang kaya pemalas butuh. Sedangkan yang kedua, mereka ada karena menjadi calo adalah kebutuhan mereka. Mereka butuh, karena itu mereka ada. 


Artikel ini pernah dimuat di http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/1140-bergantung-hidup-dari-calo.html pada hari Selasa, 22 November 2011 | 19:47 WIB

Komentar

Postingan Populer