Dia yang Selalu Tersenyum

Aku lebih suka memanggilnya waria. Lebih manusiawi rasanya. Karena ia berkuasa atas tubuhnya sendiri. Kuasaku hanya memanggil. Menghukuminya buruk, aku tak berhak. Aku justru wajib menghormatinya. Ia, waria, wanita pria. Pria yang jadi wanita. 
 
Saya selalu melihat dan menemuinya di setiap lampu merah, sepanjang Prambanan-Yogyakarta. Dan yang paling menarik perhatianku adalah mereka yang di proliman (simpang lima). Kurang lebih satu kilo dari candi Prambanan.

Di proliman itu mereka beregerombol. Jumlahnya tak tentu. Terkadang lima, kadang hanya dua. Mereka makhluk kolektif. Bukan apa-apa, agar mereka dapat melawan bersama jika ada yang menggangunya. Sendirian bisa berarti “mati” bagi mereka. Maklum, petugas dan masyarakat masih belum ramah pada mereka.


Mereka berdandan bak wanita mau ke pesta atau mall. Rok panjang semata kaki, baju ngejreng. Rok mini dipadu stocking tipis, seksi. Celana pensil ketat, kaos juga demikian. Wajahnya putih, meski kulitnya hitam. Bibir selalu merah. Bertopi dengan beragam model. Sepatu kulit, kets, kadang juga hak tinggi. Jika jalan berjingkat, mungkin mereka berasa di catwalk. Mereka terlihat cantik, bahkan ada yang melebihi cantiknya wanita asli.


Tidak lupa, mereka selalu tersenyum dengan siapapun. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bermobil, atau bersepeda. Hidupnya terlihat bahagia. Meski pipi dan hidung mereka tidak simetris lagi. Rusak karena suntik silicon. Mereka menyuntik sendiri, kadang oleh temennya. Memang ada yang sukses, tapi banyak yang gagal.


Jika lampu sedang merah, mereka berhambur menghampiri mobil. Sambil terus tersenyum, mereka bernyanyi seadanya diiringi kricik-kricik. Tutup botol dari seng yang digepengkan, dilubangi tengahnya, lalu dirangkai dengan paku pada sepotong kayu. Jika dimainkan, bunyinya kricik-kricik.


Dua tiga mobil mereka hampiri, terkadang hanya lima ratus rupiah yang digenggam. Mereka tetap tersenyum. Jika beruntung, ribuan ia genggam. Mereka tetap tersenyum. Jika beruntung lagi, beberapa batang rokok mereka dapat. Mereka senang, karena rokok kadang lebih penting dalam hidupnya. Dan…mereka tetap juga tersenyum.


Seusai menggenggam uang, mereka kembali berkumpul di bawah pohon, bercengkrama. Ada yang membetulkan make up, terus menyanyi, berjingkrak, berjoget, dan tentunya tetap tersenyum.


Dua bulan yang lalu, aku mendengar dari televisi, ada waria ditemukan mati di pinggir rel kereta api. Diketahui ia sudah mati tiga hari sebelumnya. Mayatnya bau. Di tubuhnya tidak ditemukan luka berdarah. Pakaiannya pun tak ada yang sobek. Aksesoris gelang, cincin, dan anting-anting palsunya masih lekat di badan.


Tidak ada yang merawat lalu menguburkan mayatnya. Masyarakat memandang waria itu jelek. Waria lekat dengan HIV AIDS, masyarakat takut tertular. Waria jenis kelaminnya tidak jelas, agama bingung menguburkannya, dengan cara perempuan atau laki-laki. Waria juga tidak tercatat di catatan sipil. Karena negara hanya mengakui dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. “Waria umumnya orang jauh, seharusnya keluarganya atau temennya nyariin dong!” kata masyarakat yang lain lagi.


Sore itu, dua hari yang lalu, bertepatan aku berhenti di proliman. Aku tak melihat lagi waria yang selalu tersenyum itu. Hatiku cuma menangis dan bertanya. Mungkinkah itu dia?....


Tegalharjo saat gerimis

Komentar

Postingan Populer