Seblang Suku Osing

Ketika kekuasaan Majapahit runtuh, rakyatnya lari tak tentu arah. Sebagian menetap di bawah lereng gunung Bromo dan membentuk komunitas suku Tengger. Sebagian menetap di Bali dan sebagian lagi mendirikan kerajaan Blambangan di alas (hutan) Purwo, Banyuwangi. Kelak mereka menamakan dirinya suku Osing. 

Orang Osing adalah orang yang teguh pendirian. Mereka masih memegang erat tradisi leluhurnya. Meski ajaran Islam pernah masuk, tradisi leluhur dengan corak Hindu-Budhanya masih dipertahankan dan dipentaskan. Ada yang murni dan tidak sedikit pula yang berkelindan dengan ajaran Islam. 

Tradisi seblang misalnya. Upacara adat sebagai ucapan syukur pada yang kuasa atas rejeki dan keselamatan ini masih digelar hingga kini. Tepatnya saat tiga hari pasca hari raya Idul Fitri umat Islam. 

Seblang adalah upacara adat yang sakral. Karena menghadirkan seorang perempuan (umumnya masih anak-anak remaja) yang akan menari selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Penduduk menyebutnya penari seblang. Ia akan menari dalam kondisi tidak sadar (trance), karena seorang dukun seblang telah sengaja mengundang roh halus leluhur untuk masuk ke tubuh penari seblang. Penari seblang sendiri haruslah keturunan penari seblang sebelumnya. 

Penari seblang menari dengan diiringi musik tradisional Osing dan lantunan gending tradisional oleh delapan pesinden. Secara bergantian mereka akan menyanyikan gending-gending seperti lokentho, cengkir gadhing, lilira kantun, kembang pepe, atau ayun-ayun. Menurut informasi yang ada, gending-gending ini khusus dilantunkan saat perayaan seblang. Karena liriknya kuat dan alunannya mistis. 

Orang Osing umumnya mempersiapkan pagelaran seblang sejak pagi hari. Pusat pergelaran adalah sebuah rumah sederhana, penduduk menyebutnya pondok desa. Oleh warga desa, pondok tersebut akan dihias secara meriah menggunakan daun kelapa dan pisang yang masih muda lalu diibentuk rumbai-rumbai seperti pita. Tidak lupa juga membuat omprok, yakni mahkota untuk penari seblang. Omprok terbuat dari rangkaian lima helai pelepah daun pisang dan beberapa bunga tertentu. Selain omprok, prapen (tempat untuk membakar kemenyan) dan bunga dermo juga tak lupa untuk disiapkan. 

Saat matahari mulai menyingsing, omprok, prapen, dan bunga dermo dibawa ke pondok desa. Bahan-bahan itu dibawa beriringan. Omprok dan prapen di barisan paling depan. Di belakangnya seorang penari seblang berjalan sambil dipayungi dan di belakangnya lagi, delapan pesinden membawa bunga dermo. 

Sesampai di pondok desa, penari seblang duduk diapit dua perempuan tua. Orang Osing menyebutnya emban. Oleh emban, penari seblang diajak berdiri. Kedua tangannya memegang tampah (nampan dari rajutan bambu). Sejenak kemudian, sang dukun membakar menyan sambil membaca mantra-matra tertentu. Seketika penari seblang berdiri, tampahnya tumpah, tubuhnya kaku, dan matanya terpejam. Bahkan, terkadang tubuhnya hampir terjengkang ke belakang. Oleh emban, tubuh penari seblang ditahan agar tetap berdiri. 

Selama proses tersebut, gamelan terus dibunyikan. Tangan penari seblang mulai bergerak-gerak mengikuti irama musik. Ia menari dan berjalan sambil matanya tetap terpejam. Menurut penduduk, gending-gending harus terus dilantunkan. Menyan terus dibakar dan asap harus terus keluar. Penari seblang tak lelah berkeliling menari. Seperti manusia sadar, terkadang ia berhenti sejenak, melepas lelah, lalu menari lagi. 

Saat paling ditunggu dari pertunjukan seblang adalah saat penari seblang melemparkan sampur (selendang) yang dipegangnya. Siapa saja yang terkena sampur, ia harus ikut menari dengan penari seblang. Jika tidak mau ikut menari, penari seblang tidak mau menari lagi. Ritual melempar sampur ini disebut tundik. Para penonton biasanya akan menyoraki penonton lain yang ikut menari. Beberapa penonton bahkan berharap mendapat sampur, karena dipercaya kelak ia akan mendapat keberuntungan. Entah apapun bentuknya. 

Selama tujuh hari berturut-turut, penduduk Osing bersuka cita merayakan seblang. Pada hari kedelapan, penari seblang dan seluruh yang hadir akan berjalan mengelilingi desa dan berhenti di pondok desa. Ritual ini disebut ider bumi. Setelah itu, penari seblang akan disiram dengan air khusus untuk mengeluarkan roh dalam tubuhnya. 

Pada akhir acara, saat matahari berangkat bersembunyi, penari seblang akan membawa senampan bunga (kembang dermo) menuju kerumunan penonton. Kuntum bunga itu ditancapkan pada sepotong bambu kecil. Mungkin sekilas tampak seperti gula-gula. Saat dikerumunan, masyarakat akan berebut kembang dermo. Kembang itu nantinya akan diletakkan di rumah-rumah mereka. Mereka meyakini bunga itu dapat menolak bala, pengaruh jahat, dan mendatangkan keberuntungan. 

Ritual rebutan bunga dermo adalah ritual terakhir upacara seblang. Berangsur-angsur masyarakat akan meninggalkan tempat upacara. Penari seblang pun akan kembali sadar. Ia dapat tersenyum kembali. Pelajaran dari perayaan seblang orang Osing ini adalah, bahwa ternyata manusia memiliki banyak cara untuk berterimakasih pada Tuhan mereka. 

(Tulisan ini pernah dimuat di wisatamelayu.com dan melayuonline.com) 










Komentar

Postingan Populer