Hotel “Perbatasan”


Akhir tahun seperti sekarang, hotel “perbatasan” selalu ramai pengunjung. Hotel ini letaknya di perbatasan antara dua provinsi. Tergolong bintang 3 dan jauh dari tempat-tempat belanja. Namun, hotel ini menjadi tempat favorit instansi-instansi pemerintah di daerah untuk menggelar kegiatan mereka. Bukan karena bagusnya, melainkan karena ada dua keuntungan yang diperoleh jika menginap di hotel ini. 

Bagi kantor pemerintah, akhir tahun artinya tutup buku. Saatnya mempertanggungjawabkan anggaran yang digunakan untuk kegiatan selama setahun. Jika anggarannya masih, maka harus ada kegiatan alternatif untuk menghabiskannya. Karena itu, hotel ini selalu ramai pengunjung. Mereka umumnya adalah para pegawai pemerintah daerah yang sedang melakukan kegiatan rutin. Menggelar pelatihan, seminar, diskusi, sosialisasi aturan baru, atau hanya sekedar rapat rutin. Meski kegiatan-kegiatan tersebut dapat digelar di kantor atau hotel yang dekat dengan kantor mereka, tetapi mereka lebih memilih hotel ini. Mereka sengaja, karena mereka akan mendapatkan biaya perjalanan lebih besar. Soalnya dihitung dinas luar kota. 

Apakah ini salah dan termasuk korupsi? Tentu saja tidak. Karena anggarannya dikeluarkan sesuai aturan (Permendagri no 13). “Sudah ada aturannya”, kata para pegawai pemerintah pada umumnya. Lantas masalahnya apa? Masalahnya adalah pemanfaatan anggaran dengan cara seperti itu tentu saja bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. 

Anggaran

Berbicara tentang anggaran umumnya berkaitan dengan dua hal, yaitu rakyat dan negara. Uang berasal dari rakyat seperti pajak dan negara yang mengelola uang tersebut. Rakyat tidak bisa menghindar dari pajak, apapun posisi mereka dan di mana pun mereka berada. Contoh kecilnya, mereka harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tiap tahun. Uang pajak itu sebenarnya untuk kesejahteraan rakyat yang dikelola lewat APBD. Namun, belanja APBD paling banyak justru untuk gaji pegawai (70%). Adilkah? 

Anggaran diputuskan oleh Bappeda dan Pemda (teknokratis), DPRD/partai (politis). Masyarakat hanya dapat usul melalui Musyawarah Rencana dan Pembangunan (Musrenbang). Saat ini, anggaran lebih banyak diambil oleh DPRD (politis). Jika sudah ditentukan oleh dewan, maka itu dianggap sah. Penggunaan untuk acara apapun tidak termasuk korupsi. Namun, justru disinilah letak ketidakadilan itu. 

Dapatlah dibayangkan jika semua acara instansi pemerintah digelar di hotel “perbatasan”, berapa banyak uang yang pegawai peroleh di luar gaji bulanan. Tidak heran jika banyak pemuda-pemudi memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam beberapa kasus bukan gajinya yang ajeg, kerja yang dapat “disambi” (sambil lalu), atau gaji ke 13 yang mereka inginkan, melainkan “debu-debu” penghasilan lainnya. Seperti uang perjalanan dinas luar kota di hotel “perbatasan”. 

Patologi Anggaran

Dalam kajian tentang anggaran, dikenal istilah patologi anggaran. Istilah ini merujuk pada perilaku pegawai pemerintah yang menggunakan anggaran dengan tidak semestinya. Saya menyebutnya, bertentangan dengan prinsip keadilan. Terdapat beberapa patologi anggaran dalam hal ini, antara lain: 
  • Anggaran tidak mencerminkan problem nyata masyarakat. Misalnya, adanya bias gender. Anggaran untuk pemberdayaan kaum perempuan lebih kecil daripada untuk laki-laki. Pemberian kuota 30% bagi perempuan di dewan ternyata tidak menjamin keseimbangan anggaran untuk perempuan. Masalahnya karena para perempuan yang dikirim ke dewan oleh partai pengusungnya terkadang mereka tidak memahami anggaran.
  • Pengeluaran anggaran tidak efektif. Kasus ini dapat dicermati dalam pembuatan acara dengan panitia kegiatan yang “gemuk”. Banyaknya orang yang terlibat berefek pada banyaknya anggaran yang harus dikeluarkan. Karena semua panitia umumnya akan diberikan imbalan (dana kinerja). Bayangkan jika ini disertai dengan pembuatan acara di luar daerah dalam arti posisi panitia adalah dinas luar.
  • Pemerintah dan DPRD “bersepakat”. Kesepakatan di antara keduanya meniscayakan untuk saling titip proyek. Proyek-proyek yang dibiayai APBD lagi-lagi akan mengucur ke kantong pribadi dan partai pengusung.
  • Pemda pusat dan daerah ‘main mata’. Perilaku ini mengakibatkan tidak adanya evaluasi dan kontrol terhadap penggunaan anggaran. Rakyat sendiri “buta” (atau takut) mengecek penggunaan anggaran. Hal ini ditambah dengan auditor swasta yang tidak jujur. 
  • Orientasi anggaran harus habis, bukan mutu. Orientasi seperti ini berakibat pada mental “asal-asalan”. Instansi pemerintah daerah tidak mau tahun depan tidak mendapat dana kegiatan, karena dianggap tidak dapat cermat dalam menggunakan anggaran. Tidak adanya anggaran, berarti hilangnya pendapatan sampingan mereka. Dan itu berarti sial bagi mereka. Mereka harus habiskan dana yang ada. Karena itu terkadang mereka membuat acara “asal-asalan”. Sekedar membuang sial. 
Jika sudah demikian keadaannya, apakah yang bisa dilakukan oleh rakyat? Rakyat sebenarnya bisa mengusulkan perubahan anggaran melalui proses dengar pendapat (hearing), protes langsung, lobi atau judicial review. Proses-proses ini sepertinya sudah dilakukan, namun yang terjadi patologi anggaran terus berlangsung, bahkan menjadi ekolalia (kelatahan). Hotel “perbatasan” itu menjadi saksi bagaimana negara ini diurus dengan “asal-asalan”. 

Komentar

Postingan Populer