Jangan Jadi "Tuhan"

Sudah sebulan ini, kampung tetangga saya ribut. Mereka ribut tentang rencana pembangunan gereja Katolik. Saya akan ceritakan di sini, siapa tahu pembaca punya ide penyelesaiaannya.

Kurang lebih ceritanya begini. Bermula dari keinginan orang-orang Kristen Katolik yang berencana akan membuat gereja dengan ukuran kira-kira 600 meterpersegi. Sebagian warga kampung itu setuju dan sebagian lain menolak (ukuran sebagian ini relatif). Panitia pembangunan gereja ini juga meminta persetujuan dari tokoh-tokoh masyarakat desa. Sebagian setuju dan sebagian lagi tidak.

Mereka yang setuju umumnya beralasan toleransi antarumat bergama harus ditegakkan. Jika di kampung tersebut pernah berdiri candi, maka gereja pun boleh didirikan. Jika di kampung itu orang Hindu dan Budha pernah hidup damai dengan masyarakat Islam, maka tentunya demikian dengan orang Kristen. Dalam hal ini, toleransi harus didahulukan, karena kita hidup di Negara Indonesia yang menghormati agama dan kepercayaan yang berbeda. Apalagi, Negara mengakui agama Kristen Katolik.

Mereka yang tidak setuju juga punya alasan. Menurut mereka, jumlah orang Katolik di kampung itu hanya tiga puluh orang, buat apa buat gereja besar-besar? Mereka juga khawatir, orang Katolik akan melakukan "kristenisasi" seperti yang dilakukan di daerah lain. Mereka khawatir warga sekitar gereja yang beragama Islam akan masuk ke Katolik.

Karena itu, sekelompok pemuda masjid keras menolak pembangunan gereja. Bahkan, mereka rela mati untuk penolakan itu. Menurut mereka, umat Islam yang tinggal di lingkungan orang Kristen juga susah jika ingin membangun masjid. Sekelompok orang ini juga mengutip sebuah perkataan Nabi Muhammad, yang kurang lebih artinya begini: "barang siapa umat Islam yang membolehkan orang Kristen membangun tempat ibadahnya, maka ia akan masuk neraka". 

Tentang penolakan tersebut panitia pembanguan gereja berargumen, mereka ingin punya tempat ibadah yang besar seperti halnya masjid orang Islam. Mereka juga akan memindahkan umat mereka di gereja lain untuk bersama-sama beribadah di gereja yang akan dibangun. 

Akhirnya, permasalahan ini dibawa ke musyawarah desa. Bagaimanapun, pendirian tempat ibadah harus ada izinnya. Di antaranya persetujuan kurang lebih 60 warga sekitar dan ada surat izin mendirikan bangunan (IMB) dari negara. Lurah desa menyetujui pembangunan gereja karena syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi. Ia berpijak pada poisisinya sebagai perwakilan Negara yang harus mengayomi seluruh warga Negara. Pejabat desa ada juga yang beralasan, kalau tidak dizinkan itu akan melanggar hak asasi warga. Ia juga mengingatkan bahwa banyak masjid yang berdiri sekarang tidak ada IMB-nya. Bagaimana ini jika digugat? 

Hingga kini masalah ini belum terselesaikan. Kedua belah fihak merasa benar dengan argumentasinya. Pihak desa terus mengusahakan jalan tengah dengan mempertemukan pihak yang tidak setuju dengan panitia pembangunan gereja. Muncul usulan agar gereja tetap dibangun namun ukurannya diperkecil, toh jumlah orang Katolik di kampung itu hanya tiga puluh orang. Usul ini belum ditindaklanjuti. Pembangunan gereja pun hingga kini belum dilaksanakan. Yang terjadi sekarang, kedua belah phak masih bertahan dengan pendapatnya masing-masing. 

Satu hal yang penting diingat dalam masalah ini adalah, masing-masing pihak harus menahan diri untuk tidak memaksakan kehendaknya, apalagi dengan kekerasan. Bagaimanapun, kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Dan kekerasan bukan ciri orang beragama. Bukankah Nabi Muhammad dan Yesus selalu mengajarkan untuk saling mengasihi manusia siapapun dia? 

Selain itu, kedua belah pihak juga jangan merasa paling benar dengan argumennya. Atas dasar apapun, merasa paling benar adalah tidak cocok untuk dipraktekkan dalam kehidupan sosial dan agama di kebudayaan Indonesia. Sejak dulu kala, negeri ini dihuni oleh manusia yang berbeda-beda. Mereka hidup berdampingan, meski dulu mereka masih menganut animisme dinamisme. Dulu mereka juga belum berpendidikan tinggi dan belum mengenal komputer, internet, facebook, atau twitter

Ajaran agama adalah sebuah penafsiran. Apa yang kita peroleh dan pahami dari agama kita sekarang adalah hasil dari penafsiran seseorang yang (mengaku) faham agama. Bukankah jarak antara kita dengan lahirnya agama itu ribuan tahun? Tidak mungkinkah terjadi politisasi di dalam ajaran agama? 

Dalam masalah ini, sikap lapang dada, rendah hati, berpikir dewasa, dan keinginan untuk saling belajar harus didahulukan. 

Kecuali jika kita memang ingin menjadi “Tuhan” di dunia. Karena hanya Tuhan yang benar.

Tegalharjo, saat sore yang dingin 




Komentar

Postingan Populer