Kisah jalan “kaplingan”

Sebulan terakhir ini orang-orang di kampungku resah dengan cerita tentang tiga orang yang mati di jalan raya dalam waktu yang hampir bersamaan. Orang-orang kampung menduga ada orang yang sengaja “mengapling” jalan raya itu, agar orang gampang celaka untuk jadi tumbal. 

Ketika banyak orang mati di jalan raya, entah karena ditabrak, menabrak, diserempet, menyerempet kendaraan lain, atau seorang pengendara melamun karena mikiran utang, lalu jatuh sendiri di jalan aspal yang keras, banyak orang menghubungkannya dengan jin jahat penunggu jalan. Jin itu sebutannya macam-macam. Ada gendruwo, kuntilanak, atau wewe gombel. Mereka tinggal di atas pohon, duduk dibesi jembatan, bok (bangunan tempat duduk) di perempatan jalan atau pohon besar seperti trembesi di sepanjang jalan raya. 

Menurut orang kampungku, tiga orang itu mati karena ulah manusia. Manusia yang ingin kaya tetapi tidak dari kerja keras, peras keringat, banting tulang, atau pantang menyerah karena kegagalan. Tetapi, mereka “mengapling” jalan raya. 

Apa salahnya jalan, hingga ia harus “dikapling”? Masak sih jalan bisa “dikapling”? Memang bagaimana caranya? Bukankah yang bisa mengapling jalan raya hanya Departemen Pekerjaan Umum (DPU) atas nama pemerintah? 

Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin terasa mengada-ada, padahal tidak. Bagi mereka yang percaya dengan persekutuan antara manusia dan jin jahat, cerita tentang jalan yang “dikapling” mungkin sudah lazim terdengar. Manusia bisa meminta tolong jin jahat untuk memuluskan kepentingannya. Memperoleh kekayaan, jabatan, kekuasaan, atau membalaskan sakit hati. 

Jangan dibayangkan mereka “mengapling” dengan mematok jalan raya menggunakan bambu/kayu dan tali. Tetapi mereka “mengaplingnya” dengan jalan di luar akal manusia. Mereka menyuruh jin jahat melalui dukun. 

Lalu bagaimana caranya? Berdasar pengakuan beberapa orang, mereka ingin kaya mendadak dengan pergi ke dukun. Ia meminta dukun untuk membuatnya kaya dengan cara tidak biasa. Sang dukun menyanggupinya, tetapi dengan syarat yang tidak biasa pula. Sang dukun meminta korban nyawa. Nyawa itu bisa dari anggota keluarganya atau orang lain. Nyawa itu dapat dikirim dengan cara apa saja. Tetapi tentunya tidak lewat pos.

Orang yang ingin kaya mendadak itu pun menyanggupi. Meskipun ada orang yang tega melakukannya, secara nurani ia tidak mau menjadikan anggota keluarganya tumbal. Ia tidak mau melihat anak, istri, atau saudaranya mati mengenaskan. Tapi ia mau kaya. Jalan satu-satunya, orang lain yang dikorbankan. 

Caranya, ia “mengapling” beberapa meter dari jalan raya untuk dijadikan tempat pembayaran tumbal. Ia bebas memilih bagian jalan yang mana saja, asal belum “dikapling” orang lain. Ada kode etik tertentu yang hanya diketahui dan harus ditaati oleh antarpengapling. Jika antarmereka tidak ingin terjadi masalah. Di jalan itu, ia membuat ritual menguburkan kepala babi. Memantrai-mantrai dan menyiramnya dengan air kembang. Itu dilakukan malam hari, ketika jalanan sepi dan manusia tertidur pulas. 

Hasilnya, pada hari-hari tertentu akan ada orang mati di jalan itu. Orang umum menyebutnya kecelakaan, meskipun sebenarnya mereka dicelakakan oleh jin jahat yang dipasang sang dukun. Orang mati itu disebutnya tumbal. Jika “pengapling” adalah pedagang, maka harapannya dagangannya akan laku keras. Jika ia pejabat publik, jabatannya akan langgeng dan aman. Jika ia penjual bakso, baksonya akan sering diborong orang. Jika ia membuka bengkel, orang akan ramai datang ke bengkelnya. Jika ia dokter, orang akan ramai berobat kepadanya. Jika ia pengangguran, ia akan mendapat pekerjaan yang “basah”. Dan lain sebagainya sesuai keinginan manusia. 

Keinginan kaya mendadak ini tidak berlaku bagi orang miskin saja, tetapi juga orang kaya yang serakah (dan artinya ia miskin). Kaya dalam hal ini juga tidak selalu berhubungan dengan uang. Bisa juga jabatan, usaha, kekuasaan, relasi, atau peluang. 

Kenapa jalan yang harus diperalat? Apakah karena ia benda mati? Tidak cukupkah manusia menjadikannya pijakan kaki, menuntun kerbau, sapi, menjalankan mobil, membiarkannya rusak, berlubang, memberinya aspal kelas paling rendah, atau mengakalinya untuk kantong pribadi? 

Kenapa manusia memperalat jin? Tidak cukupkah ia dan teman-temannya, seperti setan atau iblis, dikutuk oleh hampir seluruh umat manusia? 

Tegalharjo Kamis dini hari






Komentar

Postingan Populer