Kami Santri Biasa


Peristiwa pembakaran rumah dan pembunuhan saudara-saudaraku penganut syiah di Desa Karang Gayam, Omben, Sampang, Madura yang memakan korban dua warga tewas, enam orang terluka, 205 orang mengungsi, dan 37 rumah dibakar (Kompas, 28/8/2012), sungguh sangat memilukan hati. Pilu karena peristiwa ini sudah terjadi untuk kedua kalinya (pertama terjadi pada 29 Desember 2011). Kebudayaan saling mengasihi itu seperti tak ada di negeri ini. Kemanusiaan para korban seperti tak dihargai. Dan sebagai warga negara yang dilindungi Pancasila dan UUD 45 seperti tak berguna.

Penganut syiah di Sampang ini sering dikaitkan dengan pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) Bangil, karena banyak anak-anak mereka belajar agama “nyantri” di YAPI.  Syiah sebagai madzhab dianggap sesat oleh sebagian pihak. Hal ini otomatis berlaku juga untuk YAPI. Tak heran jika beberapa waktu yang lalu, YAPI diserang oleh sekelompok orang. Republika online (28/8/2011) menulis, bahwa kronologis pembakaran minggu lalu juga dimulai dari adanya santri YAPI asal Sampang yang ingin berlebaran ke desa mereka, Karang Gayam, akan tetapi di tengah jalan, bis mereka dihadang oleh sekelompok orang.

Sebagai upaya untuk menjernihkan persoalan, dengan rendah hati, saya sebagai alumni dan mantan ketua OSIS (Organisasi Santri Intra Sekolah) di YAPI, ingin memberikan gambaran kehidupan keseharian  dalam pesantren YAPI dan beberapa isu penting tentang syiah. Hal ini penting untuk disampaikan, mengingat YAPI selama ini dipersepsikan sebagai pesantren pencetak orang-orang syiah di Indonesia. Menurutku, YAPI adalah pesantren biasa seperti umumnya pesantren yang dikelola oleh Nahdatul Ulama (NU) (karena saya juga pernah “nyantri” di NU). Santri YAPI adalah santri biasa, baik sebagai santri maupun makhluk masyarakat.

Tentang YAPI
YAPI berada di Desa Kenep, Beji, Bangil. YAPI didirikan oleh Ustadz Husein Al Habsyi, seorang keturunan Arab (Sayid) asli Bangil. Ustadz Husein (begitu kami biasa memanggil) pernah menulis buku berjudul Sunah Syiah dalam Ukhuwah Islamiyah (diterbitkan oleh Al Kautsar, Malang) yang membahas tentang berbagai perbedaan fiqih dan akidah di antara umat Islam. Dalam buku ini, Ustadz Husein mengajak umat Islam untuk menjaga kesatuan umat meskipun mereka berbeda-beda. Ustadz Husein juga mengingatkan umat Islam agar waspada dengan orang-orang yang ingin memecah belah Islam.

YAPI dihuni oleh santri putra dan putri usia 5-25 tahun. Santri putra tinggal di asrama yang terletak di Desa Kenep, sedangkan santri putri di kota Bangil. Mereka tidak boleh keluar pesantren, kecuali hari minggu atau malam seusai salat isya’ dengan izin ketua asrama. Untuk kegiatan belajar mengajar, para santri diwajibkan memakai baju gamis (baju putih panjang seperti di Arab Saudi) dan topi haji. Semua kegiatan santri di asrama dikoordinir oleh OSIS YAPI. OSIS dipimpin oleh seorang ketua OSIS yang membawahi beberapa seksi, seperti kemanan, kebersihan, intelektual, dan hiburan. Di asrama, santri tidak boleh menonton televisi atau mendengar radio. Hanya pada malam minggu, seksi hiburan akan menyewakan VCD/DVD film-film box office lalu para santri menonton bersama, dan seminggu sekali secara berkelompok, santri diajak ke kolam renang di Pasuruan.

Para santri YAPI belajar ilmu agama dan umum di sekolah (SMP dan SMU). Bagi santri yang ingin mendalami agama setelah SMU, ada program khusus. Di program ini, mereka akan belajar filsafat, logika (mantiq), dan fiqih dari lima madzhab (Imam Hanafi, Maliki, Hambali, Syafii, dan Ja’fari). Mereka dibebaskan untuk mengikuti madzhab tersebut. Para ustadz di YAPI datang dari beragam madzhab dan ormas. Mereka tidak pernah memaksa santrinya untuk mengikuti madzhab tertentu.  Sebulan sekali, santri program khusus ini membuat diskusi dengan mengundang pembicara dari luar. Mereka juga sering diundang untuk ikut diskusi, pelatihan, seminar, atau bedah buku di beberapa universitas di Malang. Hingga kini, YAPI telah melahirkan banyak alumni yag tersebar di Indonesia, bahkan luar negeri, dan mereka menganut beragam madzhab.  

Shalat dan Membaur di Masyarakat
Salah satu titik sensitif konflik sunni-syiah adalah tentang salat. Penganut syiah dianggap hanya menjalankan salat dalam tiga waktu, yakni maghrib-isya, dhuhur-ashar, dan subuh. Berbeda dengan penganut sunni yang menjalankan salat dalam lima waktu. Santri YAPI menjalankan salat lima waktu dengan berjamaah. Jam empat pagi, santri dibangunkan untuk salat subuh di masjid. Setelah itu, mereka mandi dan sarapan lalu pergi ke sekolah. Meski jam sekolah belum usai, saat tiba waktu dhuhur, mereka melaksanakan salat dhuhur.  Setelah itu, melanjutkan belajar hingga jam satu siang lalu makan siang serta istirahat.

Sekitar jam empat sore, santri yang tidur siang dibangunkan untuk salat ashar. Setelah itu, mereka mandi dan jam lima sore, mereka harus keluar dari asrama menuju masjid. Seusai salat maghrib, mereka membaca alquran, berdiskusi, berdoa, atau membaca barzanji hingga menjalankan salat isya’ berjamaah.

Selepas isya’, santri ke asrama untuk makan malam, lalu bersiap belajar di perpustakaan atau di dalam asrama, tetapi waktu dibatasi hingga jam 10 malam, karena pada jam tersebut listrik dimatikan dan artinya mereka harus tidur. Santri yang berkeliaran selain di perpustakaan, akan ditegur oleh seksi keamanan. Jika masih membandel, akan diberi sangsi.

Santri YAPI juga diwajibkan untuk membaur bersama masyarakat sekitar pesantren. Program pembauran ini dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya salat jumat bersama, berdakwah dan mengajar alquran di kampung-kampung sekitar pesantren. Salat jumat diikuti oleh warga sekitar pesantren dan para musafir yang mampir ke masjid pesantren. Santri salat jumat seperti salat jumat di masjid-masjid umumnya.

Santri YAPI yang sudah dianggap cukup ilmunya, satu minggu sekali diwajibkan untuk berdakwah di kampung-kampung sekitar pesantren. Saya pernah mengalami memberikan ceramah di kampung belakang pesantren. Tema ceramah tidak boleh yang berbau khilafiyah (perbedaan), melainkan ukhuwah Islamiyah dan berbuat kebaikan. Santri yang dipilih jadi juru dakwah biasanya akan senang, karena berarti mereka akan memperbaiki gizi makan. Sebab seusai berdakwah, orang kampung akan membawakan mereka makanan untuk dibawa ke pesantren. Selain dakwah, santri juga diwajibkan untuk mengajarkan alquran (TPA) kepada anak-anak di mushala kampung. Hingga kini tradisi berbaur ke masyarakat ini masih dilakukan santri YAPI.

Begitulah kira-kira kebudayaan santri YAPI. Kebudayaan santri yang tak jauh berbeda dengan santri di pesantren lainnya. Saat mereka pulang kampung pun, mereka tetap menjadi orang biasa. Tidak sedikit alumni YAPI yang menjadi pengajar di pesantren Aswaja (Ahli Sunnah Wal Jamaah), menjadi modin (yang menikahkan dan mendoakan orang mati) di kampungnya, dan guru madrasah. 

Kami santri biasa. Karena itu, jangan curigai kami.

Komentar

Postingan Populer