Membincangkan Modernitas, Psikologis Antropologis[1]

Assalamu’alaikum wr wb
Selamat siang…, salam sejahtera…., hom swasti astu…., shalom...
Salam ciyuuus miapah..

Menurut saya, tema besar buku ini adalah membincangkan modernitas; Sebuah sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, berteknologi serta berorganisasi sosial baru. Budaya baru itu kini telah menjajah kota dan masyarakat Pancor. Nilai-nilai tradisi pesantren dan agama Islam yang dulu kental hingga berpredikat “kota santri”, kini “oleng” oleh gempuran modernitas tersebut.
Akibatnya, para santriwan/i, mahasiswa/i, dan masyarakat mulai mengakses telpon genggam (Handphone), internet,[3] play station (PS), model baju, motor, mobil, gaya artis, model rambut (Seno Joko Suyono, 2002; David Chaney, 1996), berucap ciyuuss miapah, meninggalkan bacaan hizhib, dan melupakan kitab kuning. Tata kota mulai dipenuhi toko, minimarket, mall, salon rambut dan kecantikan, cafe, juga tempat nongkrong (Beng Chua Huat, 2003; Jurgen Habermas, 2003). Secara psikologis, mereka menjadi pribadi baru; pribadi modern. Secara antropologis, mereka berkebudayaan baru; manusia modern.
Lalu, apa masalahnya? Bukankah itu wajar, karena memang mereka hidup di zaman yang berbeda dengan orangtuanya? Apa salahnya menggunakan HP, pergi ke mall, berpakaian indah, bergaya rambut, dan meniru orang lain?

Tiga kelompok
Sebagai bagian dari zaman, mengonsumsi perubahan zaman memang suatu kewajaran dan tidak menjadi masalah. Namun, jika itu dianggap bertentangan atau justru meninggalkan nilai-nilai masyarakat dan agama (baca: berlebihan), apalagi nilai itu dianggap sakral dan penting untuk dijaga, maka itu menjadi masalah; psikologis dan kebudayaan.  
Menurut hemat saya, akibat gempuran modernitas terhadap nilai-nilai tradisi (agama dan budaya), setidaknya memunculkan tiga kelompok masyarakat berbeda, yaitu:
  1. Mereka yang menolak mentah-mentah modernitas. Mereka setia dengan ajaran tradisi, baik kepercayaan maupun budaya. Sebut saja seperti kaum badui (dalam) di Banten, suku anak dalam di Jambi, komunitas Samin di Blora, atau golongan Satariyah di Sulawesi Selatan.
  2. Mereka yang menerima sepenuhnya modernitas dan meninggalkan tradisi. Dalam tahap awal kaum Muhammadiyah dapat menjadi contoh (bid’ah, kurafat, takhayul) kelompok ini.
  3. Mereka yang mendekap tradisi dan terbuka dengan modernitas. Mereka tidak menolak juga tidak menerima seluruh produk modernisme. NU dan NW saya kira masuk dalam kelompok ini. Para tokoh di kedua organisasi ini mencoba terus secara kritis (tulisan, film, sastra, diskusi, debat) mendudukkan modernitas dan tradisi mereka dalam proporsinya masing-masing.

Dalam perkembangannya, ketiga kelompok tersebut melahirkan sempalan-sempalan kecil (firqoh/faksi). Mereka memiliki interpretasi sendiri-sendiri terhadap pengalaman hidup mereka. Ada yang santun ada pula yang radikal, memaksa, dan melakukan kekerasan. Meskipun, tidak ada kebudayaan dan ajaran agama yang membolehkan pemaksaan dan kekerasan. 
Buku ini seakan menjadi pengingat agar kita tidak menjadi pribadi yang munafik. Mengutuki modernitas, tetapi diam-diam bangga memberi nama anaknya Riko, Kevin, Mario, Angel, atau Diva misalnya, lalu tidak percaya diri dengan nama Muhammad, Munawaroh, Sumardi, Rosmayadi, atau Sahadi; bergonta ganti HP dan menyimpan video porno di dalamnya; gengsi naik motor atau mobil dan meremehkan bersepeda atau jalan kaki; memuja hamburger, pizza, KFC, CFC, atau roti, lalu meremehkan beberuq atau plecing.
Itulah yang dinamakan penjajahan kebudayaan. Penjajahan ini lebih dahsyat daripada lewat senjata, karena mental kita akan didorong pelan-pelan dengan beragam kesenangan untuk tidak percaya diri dengan budaya sendiri. Bagi anda yang peduli dengan kebudayaan dan kepribadian Pancor masa lalu, anda tentu akan trenyuh dan “sakit hati” jika membaca buku ini. Lalu, apa yang perlu dilakukan?  

Kritik zaman
Dalam konteks ini, Pancor dengan nilai-nilai kepesantrenan dan identitas “kota santri” penting untuk dijaga. Dan penulis buku ini, Janual Aidi, adalah pribadi NW yang mencoba mengajak orang lain untuk kritis terhadap zaman. Bagi Janual, modernitas perlu didudukkan agar tidak mengganggu atau menghilangkan nilai kesantrian Pancor dan tradisi kebudayaan setempat. Tradisi itu menghidupkan (Edward Albert Shill, 1981)
Bagi sebagian peneliti dan pengkaji sosial, membincangkan tema modernitas dianggap sudah basi, karena modernitas sudah berlangsung lama di negeri ini. Lagi pula, buat apa membincangkan modernitas, toh itu pasti menimpa kita? Begitu celoteh mereka (Raharjo, Dawam. 1987).

Sebagai bagian dari kritik zaman, tentu saja tak ada yang basi membincangkan modernitas. Sebaliknya, saya justru mengapresiasi Janual yang mau mengkaji sesuatu yang dianggap basi oleh orang lain. Bagi Janual, problem modernitas penting dikritik sekaligus dicarikan solusinya. Janual sepertinya sadar, bagi kehidupan kota dan masyarakat Pancor, modernitas tidak sepenuhnya berakibat positif. Kemajuan dan kemudahan yang ditawarkan ternyata berdampak pada lunturnya nilai-nilai pesantren dan “mengancam” identitas Pancor sebagai “kota santri”.
Menyikapi problem ini, Janual memahami bahwa tentu saja tak bijak jika hanya sekedar menyalahkan modernitas. Baginya, ada lingkaran masalah yang membelit masyarakat Pancor sendiri, sistem pendidikan, dan pemerintah. Masyarakat sebagai konsumen tidak kritis dengan barang-barang modernitas (Franz Magnis Suseno, 2001). Mereka hanya mengkonsumsi tanpa mengkritisi baik buruk dan fungsinya. Mereka tak pernah membuat prioritas mana barang yang penting untuk dibeli. Apa yang anda inginkan belum tentu anda butuhkan bukan?  
Sistem pendidikan juga terkesan “merasa benar”; murid obyek, pengajar subyek. Pemerintah juga begitu, tata kota “dibiarkan” diserbu produk-produk modernitas. Dalam kontek inilah, buku ini menjadi kritik bagi pihak-pihak tersebut. Karena itu, buku ini merupakan usaha yang penting untuk diapresiasi antarpihak di atas. Jika bukan mereka, siapa lagi yang akan peduli dengan NW, Islam dan tradisinya?
Modernitas akan terus bergerak, pihak-pihak tersebut juga harus terus bergerak dan kritis menyikapinya.
Modernitas boleh dikonsumsi, tetapi jadilah konsumen yang cerdas (David Cavallaro, 2004). Jean Boudrillard (dalam Mike Featherstone, 2001), pengkaji postmodernisme dari Prancis mengingatkan, modernitas penuh dengan segala kepura-puraan dan tipuan (simulacrum). Ini selaras dengan peringatan di Al quran, bahwa hidup di dunia ini hanyalah main-main belaka. Secara sosiologis, manusia adalah makhluk main-main (homo luden) (Franck Scarpitti, 1974). Benedict Anderson (1990), pengkaji sosial dari Amerika juga mengingatkan, bahwa kita perlu berhati-hati dengan zaman kini, karena semua ujungya hanya kekuasaan kata-kata dan pengetahuan (Michael Foucault, 2002).

Harus percaya diri
Satu poin penting yang dapat dipetik dari buku ini adalah, modernitas memiliki efek negatif yang dahsyat. Masyarakat Pancor perlu diingatkan kembali tentang nilai-nilai pesantren “panca jiwa pondok pesantren” dan kebudayaan Sasak yang tidak kalah dengan nilai-nilai yang ditawarkan modernitas.
Masyarakat Pancor harus berdaya, percaya diri, kritis, dan terbuka. Untuk mencapai hal ini, Pancor cukup memiliki infrastruktur yang memadai; pesantren, sekolah, kampus, sumber daya manusia, organisasi Islam terbesar (NW), tokoh agama, tokoh budaya, geografis, dan pusat pemerintahan. Semuanya harus sinergi membangun Pancor yang beretika dan berbudaya.
Pesantren harus menjadi benteng nilai-nilai keislaman dan kebudayaan dari gempuran nilai-nilai baru (modern) yang negatif. Para ustadz, guru, dosen, birokrat, orangtua, tokoh-tokoh agama dan masyarakat harus memberi contoh bagaimana hidup sederhana tapi tidak ketinggalan zaman (baca: bersahaja); memberi contoh bagaimana memaknai zaman, bukan larut dengan zaman; memberi contoh bagaimana mentransformasi nilai-nilai keislaman yang kasih terhadap semua makhluk alam, bukan hanya pada kelompoknya saja.
 Santri memang harus mengkonteks, tapi jangan sampai meminggirkan teks (Islam dan kebudayaan). Santri harus menjadi agen perubahan masyarakat. Peran santri adalah mengkontekskan nilai-nilai Islam, pesantren, dan budaya ke masyarakat Pancor.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, buku ini menjadi sinyal kegagalan pihak-pihak di atas dalam menerjemahkan nilai-nilai agama kepada masyarakat. Jika cara menerjemahkan betul, maka tentunya umat akan ikut, apalagi santri.

Semoga buku ini menginspirasi banyak pihak.
Amin dan tetap cemunghud..

Wassalamu’alaikum wr  wb
Maacih..Selamat membaca…, salam sejahtera….., hom swasti astu…., shalom…


 Bahan bacaan

Anderson, Benedict. 1990. Kuasa Kata. Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Terjemahan Revianto Budi Santoso. Yogyakarta; MataBangsa.
Barbara, ett all.  1997. Psikologi Kepribadian 2. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Cavallaro, David. 2004. Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta ;  Niagara.
Chaney, David. 1996. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta; Jalasutra.
Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Foucault, Michael. 2002. Power Knowledge. Yogyakarta; Bentang.
Friedman, Jonathan. 1994. Cultural Identity and Global Process. London; SAGE Publication ltd.
Habermas, Jurgen. 2003. The Structural Transformation of The Public Sphere. An Inquiri into a Category of Bourgeois Society.  Blackwell Publishers Ltd. Oxford OX4 1JF. UK.
Huat, Beng Chua. 2003. Life is Not Complete Without Shoping. Consumption Culture in Singapore. Singapore National University Press.
Raharjo, Dawam. 1987. Kapitalisme : Dulu dan Sekarang. Jakarta; LP3ES
Scarpitti, Frank R. 1974. Social Problems. By Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York.
Shils, Edward Albert. 1981. Tradition. The University of Chicago Press.
Suseno, Franz Magnis. 2001. Kuasa dan Moral. Jakarta ; Gramedia
Suyono, Seno Joko. 2002. Tubuh yang Rasis. Telaah Michael Foucault Atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.



Riwayat diri

Yusuf Efendi, penikmat kebudayaan. Lahir di Madiun, 26 April 1976. Tinggal di Prambanan, Yogyakarta. Aktivitas mengajar, belajar, membaca, mendengar, berteman, dan nonton bola. Pendidikan terakhir S2 Antropologi UGM 2006.
Kontak: 0857 2804 8814, 316BF8B0 (pin BB) jusufariefendi@gmail.com, empuesa.blogspot.com (blog), dan empuesa (FB dan twitter).    
[1] Disampaikan pada bedah buku Kota Santri Kota, kajian sosiologis sebuah kota di Lombok Timur, 30 Desember 2012 di STKIP Hamzanwadi, Lombok Timur, NTB.
[2] Penikmat kebudayaan tinggal di Jogja. 
[3] Menurut data, di Indonesia terdapat 60 juta pengguna internet dan 260 juta pengguna selular. Bagi proyek modernisasi, Indonesia adalah pasar yang seksi (Iim Fahima, makalah seminar E-commerce for brand, Jakarta 2012). 

Komentar

Postingan Populer