Hikayat Pohon
Memang, di zaman modern ini, nasehat dan tradisi leluhur terkesan
ketinggalan zaman. Namun ketika malapetaka datang, petuah-petuah leluhur itu
baru diingat.
Jika dilihat sekilas, pohon adalah tumbuhan. Namun, pohon memberi banyak
manfaat bagi manusia, di antaranya adalah memberi keteduhan dan perlindungan
dari terik matahari. Bahkan, pada pohon tertentu, buah, dahan, daun, dan
akarnya juga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Baik dimakan, dibuat kerajinan,
untuk tiang rumah, atau hanya sekedar untuk membungkus makanan. Tak heran jika leluhur-leluhur
nusantara dahulu menganggap sakral pohon,
meski hanya sebatang.
Sakral bukan berarti mistis dan mengerikan. Sakral adalah sebuah sikap
penghormatan. Sikap budaya terhadap sesama makhluk. Istilah ini dapat saja
diabaikan, karena yang terpenting manusia harus menghormati makhluk hidup lain,
apalagi yang memberi manfaat. Secara kebudayaan, para leluhur itu menganggap,
bahwa apa yang memberi manfaat pada kehidupan, berarti ia harus dihormati. “Manusia
harus saling memberi dan menerima sesama makhluk hidup, bukan hanya sesama
manusia”. Begitu nasehat leluhur dahulu yang sering diceritakan orangtuaku di
desa.
Sebab harus menghormati pohon adalah, para leluhur menganggap pohon selayaknya
manusia, bahkan “Tuhan”. Pohon adalah pemberi, pelindung, dan pengayom. Ia dapat
berbicara, merasa, marah, dan sayang. Pohon memberi keteduhan, menyimpan air,
melindungi dari panas, hujan, banjir, juga longsor. Karena itu, pohon perlu
diberi makan, didoakan, dan dirawat.
Bentuk sikap hormat pada pohon bisa bermacam-macam, di antaranya berupa menggelar
selamatan lengkap dengan sesaji berisi makanan di depan pohon tersebut,
menyiraminya, tidak menebang pohon jenis tertentu, menebangnya dengan jangka
waktu tertentu dengan tidak menghilangkan dahan-dahannya, atau membuatkan
cerita-cerita tertentu agar pohon tersebut tidak ditebang sembarangan. Yang
terakhir ini sering disalahartikan orang sebagai cerita untuk menakuti-nakuti anak
kecil belaka.
Tak terkecuali leluhurku di Sulawesi Tengah, sikap penghormatan mereka yang
begitu tinggi terhadap pohon ini menghasilkan sebuah kebudayaan lingkungan yang
dijadikan pelajaran generasi selanjutnya. Orang-orangtua di desaku sering
bercerita, kalau leluhurku hidup berdampingan dengan alam secara damai. Mereka
tidak berani menebang pohon sekitar
bantaran sungai dengan radius 50 meter pada kemiringan 1000 meter. Mereka tidak
merambat atau menebang pohon yang berada dekat dengan sumber air dan anak
sungai dengan radius 150 meter, karena pohon-pohon itu menyimpan air yang berguna
saat kemarau tiba. Para leluhur juga tidak menjerat dan menembak satwa
dan binatang di hutan. Mereka tidak membangun kandang ternak di sepanjang
bantaran sungai pada jarak 15 meter dan 30 meter.
Tak
Lagi Sakral
Semua nasehat itu dimaksudkan agar
aku “menyakralkan” pohon. Pohon-pohon akan “marah” jika mereka ditebang
sembarangan. Banjir, longsor, kesengsaraan dan kemiskinan akan menimpa manusia
jika mereka tak “menyakralkan” pohon. Karena itu, ketika hari Minggu (26/8) lalu
tersiar kabar banjir bandang menghantam saudara-saudaraku di Kabupaten Parigi
Moutong, aku terus terngiang-ngiang nasehat leluhur itu. Hingga hari minggu
itu, setidaknya dua warga tewas, puluhan rumah rusak, serta ratusan hektar
sawah dan kebun milik warga terendam lumpur dan kayu gelondongan (Kompas, 27/8/2012). Padahal, aku tidak
pernah mendengar kayu gelondongan menghambur ke rumah-rumah leluhurku, aku tak
menemukan cerita jerit tangis leluhur tersebab banjir, dan aku tak pernah
membaca buku yang menggambarkan lumpur-lumpur dari gunung mengenangi
rumah-rumah leluhur. Lalu, mengapa ini terjadi?
Krisis lingkungan sebenarnya bukan
hanya terjadi di hutan Sulawesi Tengah (Sulteng), tetapi di seluruh Indonesia.
Menurut data yang ada, lebih dari 60% hutan di Indonesia sudah rusak, tak lagi
menjadi penyuplai oksigen yang bersih dan tak lagi menjadi ruang hidup yang
harmonis bagi satwa liar. Hutan di Sulawesi tinggal tinggal 10% yang masih baik,
Kalimantan dan Papua 30 %, dan Sumatera 30%. Pepohonan ditebangi dan diganti
perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pemukiman. Tak heran jika sering tersiar
kabar harimau, gajah, dan kera masuk ke perkampungan penduduk, lalu diberitakan
lagi binatang-binatang itu mati dibunuh penduduk, lalu diambil gading dan kulit
mereka untuk dijual ke penadah. Binatang endemik hutan Indonesia pun lama
kelamaan punah.
Tampaknya pohon-pohon di negeri ini
tak lagi dianggap sakral. Manusia tampaknya menganggap sakral itu hanya domain
agama. Sakral hanya untuk Tuhan, kitab suci, atau nabi. Bukankah semua ajaran
menjaga pohon berasal dari Tuhan, kitab suci, juga nabi? Tidakkah itu juga
harus disakralkan?
Sakral juga sering dimaknai sebagai
sesuatu yang tak boleh sembarangan “disentuh” dan didekati. Dalam konteks
pohon, istilah sakral justru cenderung dimaknai sebagai sesuatu yang perlu
dijauhi. Karena di sana bersemayam makhluk ghaib yang jahat dan menyeramkan.
Makna ini tentu saja salah, karena secara antropologis, menyakralkan pohon
adalah salah satu metode leluhur kepada anak cucu akan pentingnya menjaga
lingkungan sekitar. Misalnya, anak cucu tidak boleh mengencingi pohon, karena
air kencing akan membuat mati pohon dan semut yang bersarang di bawah pohon.
Jika sakral itu diartikan sebagai
sesuatu yang memiliki kesaktian, maka tampaknya kelapa sawit dan tambang
dianggap lebih sakti. Karena itu, illegal
loging marak di negeri ini, pemberian izin Hak Penguasaan Hutan (HPH)
dipermudah, dan sebaliknya, masyarakat asli yang masih memegang tradisi leluhur
dalam mengelola hutan justru diusir dari tempat tinggalnya. Tak sedikit
terbukti di pengadilan, ada kongkalingkong
antara pejabat pemberi izin dan pengusaha. Mereka menyuap pejabat dengan syarat
upeti terus mengalir. Jika demikian yang terjadi, secara kebudayaan bukan
krisis lingkungan yang terjadi di Indonesia, melainkan krisis mental.
Mungkin rintihan korban gempa dan
banjir ini perlu didengar: “Jika gempa menimpa, kami masih bisa menerima.
Tetapi jika banjir bandang dan mengirimkan gelondongan kayu-kayu itu, tentu
kami tak rela. Karena kami tak pernah menebang pohon-pohon itu. Jika sudah demikian, masihkah kita memandang
sebelah mata nasehat leluhur?
Komentar
Posting Komentar
sila memberi kritik, saran, dan masukan terhadap blog dan isinya, terimakasih