Wayang Tutus


Satu lagi kesenian tradisional khas Tegal, wayang tutus. Sederhana bentuknya, mudah membuatnya, tapi tak banyak orang menyukainya.

Wayang tutus tak jauh beda dengan wayang kulit. Baik dari segi tokoh yang dibuat, cerita yang dimainkan, ukuran, maupun bentuk. Wayang tutus terbedakan dalam beberapa hal saja, antara lain bahan, ketahanan, serta model pementasannya. Wayang tutus merupakan sisi lain kreativitas seniman tradisional dalam bentuk wayang. Atau dapat dikatakan, wayang tutus merupakan versi lain bentuk wayang Jawa.

Wayang tutus terbuat dari bambu (bahasa Jawa: pring) yang dibelah tipis-tipis (tutus). Di perdesaan Jawa, tutus biasa digunakan para petani untuk mengikat padi setelah panen, atau untuk mengikat bambu atau kayu yang diambil dihutan untuk dibawa pulang. Oleh karena wujudnya yang tipis, tutus rentan patah. Selain juga rentan oleh serangan kutu, sehingga mudah keropos.

Wayang tutus termasuk seni tradisi lisan. Wayang jenis ini biasa dipentaskan oleh seorang diri sang dalang. Musik pengiring berasal suara mulut sang dalang. Pergantian antar-babak dalam cerita ditandai dengan ketokan kayu.

Wayang tutus praktis menghadirkan pesan dalam cerita yang ditampilkan. Penonton didorong untuk memahami pesan dalam cerita. Oleh karena itu, wayang tutus menuntut keahlian sang dalang dalam bercerita.   

Dalam pementasannya, wayang tutus biasa mengetengahkan cerita-cerita rakyat, semisal legenda atau dongeng. Sebagai contoh adalah cerita Gendowor; Martoloyo Martopuro. Sebuah kisah tentang seorang abdi dalam pemerintahan Tegal pertama. Cerita yang hingga kini masih terekam dalam memori orang Tegal.

Pementasan wayang tutus juga tidak membutuhkan waktu lama seperti wayang kulit. Wayang tutus cukup disampaikan selama kurang lebih 1-2 jam, dengan cerita yang lebih singkat. Tokoh dalam wayang tutus juga tidak sebanyak dalam wayang kulit. Jumlahnya wayang tutus sekitar 20 buah dengan gunungan. Meskipun demikian, menurut Pak Kasirun, wayang tutus juga dapat dibuat lebih banyak sesuai kebutuhan.

Kasirun Pring

Pak Kasirun adalah dalang sekaligus pencipta wayang tutus. Sejak dulu, Ia hidup sendiri (tanpa istri), sederhana, dan bersahaja. Pak Kasirun mantan petugas penjaga pintu kereta, kini ia sudah pensiun. Usianya sudah 61 tahun, tubuhnya gemuk, namun ia masih kuat memenuhi panggilan untuk mendalang di mana saja. Begitu juga saat ia diminta untuk mendalang di Gedung Kesenian Kabupaten tegal beberapa waktu lalu. Ia mendalang wayang tutus selama kurang lebih satu jam.

Di kalangan seniman Tegal dan masyarakat sekitar, ia dikenal dengan sebutan Kasirun pring. Pring merujuk pada asal tutus. Ia tak risau dengan sebutan itu, bahkan ia senang, karena masyarakat mengenalnya.

Kasirun belajar mencipta wayang tutus secara otodidak (belajar sendiri). Semula ia hanya suka menonton wayang kulit. Lalu ia berimajinasi dan mencoba membuat wayang dari tutus bekas mengikat padinya; ia anak petani. Dahulu, ia mencoba memainkan wayang tutus buatannya di sawah di hadapan teman-temannya layaknya dalang. Seusai pentas, ia membagi-bagikan wayang tutus buatannya ke teman-temannya; cuma-cuma.

Dalam usia senjanya sekarang, Kasirun Pring masih terus membuat wayang tutus. Di rumahnya yang sempit dan kurang terawat, wayang tutus buatannya memenuhi dinding kamarnya. Wayang-wayang itu ditata rapi sepanjang tembok kamar, namun tidak dengan gamelan yang dimilikinya, berserak tak teratur. Di usianya yang tua, Kasirun pring tetap setia dengan kesenian tradisional yang digelutinya. Ia bertekad melestarikannya meski dengan atau tanpa ada orang lain yang mengundangnya untuk mendalang.

Namun sangat disayangkan, ia tak punya keturunan, jadi tak ada lagi penerusnya. Bisa dipastikan, wayang tutus akan punah.

Lalu, siapa peduli?

* dengan redaksi yang berbeda, tulisan ini pernah dimuat di http://www.disparbud.tegalkab.go.id/ dan koran Radar Tegal, 15 April 2013 

Komentar

Postingan Populer