kentrung


Kentrung adalah salah satu kesenian tradisional khas Tegal. Kentrung dimainkan oleh satu orang sambil memukul kendang/terbang Jawa. Konon, ada juga yang ditambah dengan iringan siter

Kentrung merupakan salah satu bentuk tradisi lisan; memberikan petuah dan nasehat melalui syair-syair yang dilantunkan sambil diiringi tabuhan terbang Jawa (baca: kentrung). Dahulu, kentrung biasa dimainkan oleh orang-orangtua di Tegal, untuk menasehati anaknya tentang budi pekerti hidup, sopan santun kepada orangtua, tetangga, dan orang lain.

Penggunaan kentrung ditujukan agar anak tidak bosan mendengarkan nasehat dan tidak merasa digurui atau diperintah. Penggunaan kentrung juga dimaksudkan agar hati anak selalu bahagia ketika mendengarkan nasehat. Perasaan bahagia ini yang menyebabkan anak cepat memahami isi syair. Dalam perkembangannya, syair kentrung juga berisi pesan kebaikan tentang hidup sosial, pendidikan, hubungan cinta muda-mudi, juga cerita lucu.

Seiring perkembangan zaman, kini keberadaan kentrung sangat memprihatinkan, bahkan hampir punah. Dahulu, hampir di setiap perdesaan di Tegal, kentrung sering dipentaskan. Tetapi kini, pentas dan senimannya tak lagi dijumpai. Tak ada lagi orang yang mau mempelajarinya. Generasi muda tak lagi suka, karena kentrung dianggap kuno. Generasi muda sekarang lebih menyukai musik pop dan musik Barat.

Dengan hilangnya seni kentrung, hilang pula pesan-pesan dan nilai-nilai kebaikan tradisional dalam syair kentrung. Padahal, nilai-nilai itu masih sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang. Kesenian kentrung harus dilestarikan (Jawa: diuri-uri), dijaga, dan harus dibuat pelatihan kentrung untuk menciptakan generasi penerus.  

Srilarsih Hegarmanah

Srilarsih Hegarmanah nama lengkapnya. Ia tinggal di Desa Kendal Serut, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal (Slawi). Ibu Srilarsih Hegarmanah adalah salah satu (mungkin satu-satunya) seniman kentrung khas Tegal yang hingga kini masih setia memainkan kentrung diusianya yang senja. Pensiunan guru SD ini mempelajari kentrung sejak kecil dari orangtuanya, pengamen kentrung.

Menurut cerita nenek tiga anak dan tujuh cucu ini, dahulu ia sering diajak keliling mengamen bersama orangtuanya dari satu tanggapan ke tanggapan lain. Dari situ, ia belajar bagaimana orangtuanya menabuh gamelan, menyanyi Jawa, dan menari Jawa. Akhirnya, Bu Srilarish mampu memainkan gamelan sendiri, menyanyi dan menari Jawa, hingga kini.

Selain kentrung, Bu Srilarsih juga mampu menari endel, menyanyi keroncong, dance, dan menyanyi pop. Ia pernah merantau ke Jakarta untuk memperdalam kesukaannya pada tari. Ia bergabung dengan grup tari terkenal di Jakarta, dengan grup itu, Bu Srilarsih pernah menari hingga ke Singapura. Dengan pengalamannya ini, ia merasa bangga memiliki orangtua yang pernah mengajarkan kesenian Jawa.

Setelah pensiun, kini Bu Srilarsih masih sesekali menerima tanggapan untuk menari, menyanyi Jawa atau keroncong, juga kentrung. Meski usianya senja, namun tenaga dan suaranya masih kuat dan jelas. Suatu saat, ia masih mampu memainkan delapan syair lagu selama kurang lebih 1, 5 jam duduk bersimpuh. “Teman-teman seangkatan saya sudah banyak yang meninggal dan sakit stroke, mas”. Ceritanya.    

Saat itu, Bu Srilarsih melantunkan syair-syair tentang pentingnya pelestarian seni budaya, tempat pariwisata di Kabupaten Tegal, dan kegelisahan perilaku anak-anak sekarang yang suka kebut-kebutan dan kurang menghormati orangtua. Tak lupa ia melantunkan syair-syair kentrung yang sudah kondang, seperti lagu Waru Doyong, Kebo Bunteng, dan Kembang Cicilunteng. Semua lagu tersebut memuat pesan moral yang penting untuk dikaji dan difahami.

Kentrung dan Bu Srilarsih adalah dua wajah dengan satu budaya; kebudayaan dan seni tradisi Jawa. Kini, dua-duanya telah mengalami hantaman dari berbagai sisi. Bu Srilarsih bertahan, ia enggan disebut kalah. Saat generasi muda tak lagi menyukai kentrung, ia abdikan dirinya untuk seni kentrung, kebudayaan Jawa, dan dirinya sendiri.
“Ini untuk anak cucu saya mas”, katanya.

Dalam kehidupan, tak mudah memang menghargai, biarpun kepada leluhur maupun diri sendiri. Bu Srilarsih mengajari kita.

*dengan redaksi yang berbeda, tulisan ini pernah dimuat di http://www.disparbud.tegalkab.go.id/ 

Komentar

Postingan Populer