Sultan


Saya pernah berkunjung ke Banjarmasin dan Martapura. Dua kota utama yang pernah menjadi pusat kekuasaaan Kesultanan Banjar. Saat itu, saya “mengalami” bersama beberapa tradisi budaya Banjar: madihin, tari-tarian, kuliner patin, makam Sultan Suriansyah, pasar apung, dan bahasa Banjar.

Bagi saya, meskipun bukan orang Banua, kekayaan budaya itu membanggakan. Banyak orang yang kutemui merindukan itu terus ada. Saat itu, aku memahami, bahwa rakyat membutuhkan penjaga budaya; Sultan. 

Sultan bukanlah nama, melainkan gelar bagi kerajaan yang menjadikan Islam sebagai panutan dalam memerintah. Raja di Kesultanan Banjar di Kalimantan Selatan misalnya. Gelar itu disematkan di atas pundak raja. Karena itu tugas raja sangat berat. Ia membawa amanat rakyat dan kebesaran ajaran Islam. Keduanya, sama-sama suci.  

Gelar itu tidak tulus, tetapi pamrih. Pamrih yang diinginkan rakyat. Ini selaras dengan peribahasa Yunani, Vox populi vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan.  Gelar menjadi jembatannya. Ia bukan tujuan. Tuhan jadi pembimbingnya.

Tepat tanggal 6 Muharam 1432 H (12 Desember 2010) yang lalu, pamrih suci itu diterima oleh Sultan Khairul Saleh; Raja Muda. Majalah Forbes Indonesia edisi March 2013 (volume 4 issue 3) menyebut, jikalau Sultan yang baru ini adalah pelanjut Dinasti Sultan Sulaiman (1801-1825). Setelah hampir satu abad tak terurus, Raja Muda merasa terpanggil untuk mengangkat kembali dan menjaga marwah Kesultanan Banjar yang dulu pernah jaya.

Gelar adalah juga simbol janji, bahwa Kesultanan akan mengawal kebudayaan Banjar. Tradisi kembali dikobarkan. Adat istiadat ditradisikan. “Daulat di kaki raja”. Secara kebudayaan, di sinilah ikatan antara Sultan dan rakyat dikukuhkan. Rakyat beramanat, Sultan berkhidmat.

Kamus bahasa Arab menjelaskan, kata sultan berasal dari bahasa Arab dengan beberapa arti: raja, penguasa, keterangan atau dalil. Kata sultan selanjutnya mengalami perluasan makna, salah satunya menjadi sebutan untuk seorang raja atau pemimpin muslim yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh atas sebuah Kesultanan. Makna ini mirip dengan kata shilton atau shaltan dalam bahasa Ibrani, artinya wilayah kekuasaan atau rezim.

Sultan berbeda dengan khalifah. Keduanya dibedakan dari cakupan wilayah kekuasaannya. Khalifah untuk pemimpin seluruh umat Islam, sedangkan Sultan terbatas pada umat Islam/bangsa atau daerah tertentu. Sultan bisa juga sebagai raja bawahan atau gubernur bagi Khalifah atas suatu wilayah tertentu.

Kekuasaan Khalifah besar, Sultan kecil. Namun, yang kecil tidak berarti kalah dan salah dari yang besar. Berapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar? Begitu wasiat Al-quran. Sejarah mencatat, Kesultanan Turki Ustmani mampu mengalahkan Khalifah Abasiyah yang terkenal memiliki kekuasaan hingga Eropa.    

Bagaimana dengan Kesultanan Banjar?

Babad Banjar mencatat, Kesultanan Banjar berdiri tahun 1520 M di Kampung Kuin. Pemerintahannya pernah berpindah-pindah, dari Banjarmasin ke Martapura. Wilayahnya meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah. Sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur dengan Kesultanan pasir. Saat itu, hanya Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan, selainnya cukup Pangeran. Konskuensinya, para pangeran harus membayar upeti; hasil bumi.

Versi lain babad Banjar menyebutkan, sebelum Kesultanan Banjar berdiri, Kesultanan Brunei sudah lebih dahulu bertahta di Pulau Kalimantan. Saat itu, Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Di ketiga wilayah tersebut, terdapat kerajaan besar, Kesultanan Banjar salah satunya.

Raja pertama Kesultanan Banjar adalah Pangeran Samudera dari Negara Daha, bergelar Sultan Suriansyah (1520-1546 M). Setelah mangkat, ia digelari Sunan Batu Habang. Oleh orang Banjar kuno, ia dianggap tidak mati, tapi menjadi Begawan, bergelar perbata batu habang.

Lihatlah nama, gelar saat jadi raja dan saat mangkatnya di atas.  Tampak tradisi lokal, Islam dan Hindu bertaut. Dalam perkembangannya, tradisi China juga ikut membumbui. Pluralisme pun dirajut, multikulturalisme terbentuk. Tak heran jika pakai adat Banjar penuh manik-manik, simbol kerajaan bergambar naga dan keris, dan tata cara pernikahannya diwarnai sirih pinang.

Seperti air, kebudayaan itu mengalir. Dan pada titik tertentu, ia terpisah membentuk identitasnya masing-masing. Mungkin yang satu akan menghilangkan yang lain. Namun tak sedikit yang saling melengkapi dan memperkaya.

Lalu, apa yang ditakutkan dari percampuran budaya? Tidak ada. Kecuali ketidakpedulian kita terhadap kebudayaan sendiri.

Sultan Khairul Saleh tampaknya memahami ini semua. Dua periode kepemimpinan menjadi Bupati Banjar telah mengajarkan, bahwa kebesaran Kesultanan Banjar membutuhkan kepedulian. Bukan ingin menegakkan kekuasaan yang pongah, melainkan mengembalikan tradisi leluhur agar dihargai dan dipelajari anak cucu. Dijadikan anutan rakyat Banjar, seperti ajaran Nabi bagi orang Islam.

Berlebihankah? Tidak. Keduanya sama-sama memiliki sisi kesucian yang harus diperjuangkan.

Sejak berdiri tahun 1520 M, Kesultanan Banjar adalah pusat kebudayaan di Pulau Kalimantan.  Namun ia mulai tenggelam seiring dihapuskan secara sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Semula Belanda melebur beberapa kerajaan seperti Kerajaan Kahuripan, Negara Dipa, Negara Daha, Kesultanan Banjar, Martapura/Kayu Tangi, dan Pagustian, dalam satu daulat di bawah Kesultanan Banjar.  

Di tempat-tempat yang saya kunjungi, masyarakat selalu bercerita akan tradisi budaya yang mulai hilang. Seniman madihin sudah sulit ditemui. Pengantin Banjar sudah jarang menggunakan pakaian dan adat Banjar. Pitutur sastra Banjar sudah tak lagi dikaji. Akibatnya, jejak kebaikan leluhur hilang. 

Tampaknya, modernitas tak semua ramah. Modernitas tak semua menghargai tradisi. Pun tak sedikit yang justru menikam.  

Kerinduan akan kebesaran tradisi leluhur Banjar itu nyata. Karena itu, sosok Sultan Khairul Saleh bisa jadi harapan. Tradisi budaya Banjar harus dilestarikan. Kesultanan Banjar perlu di wujudkan. Bagaimanapun, kebudayaan harus punya rumah. Rakyat tentu akan melihat ketiadaan rumah sebagai penyebab, jika kebudayaan Banjar semakin hilang. Istana intan yang dibangun, diharapkan bukan untuk kekuasaan belaka. Marwah tradisi leluhur lebih utama.

Memang benar, bahwa Kesultanan Banjar pernah mengalami konflik. Namun, Kerajaan nusantara manakah yang tidak pernah mengalami konflik? Bagi manusia, masa kelam harus dipelajari. Manusia harus belajar dari kegelapan gua dan gemerlapan istana.

Kebudayaan memang menghidupi dirinya sendiri. Namun sebagai identitas, ia harus ditradisikan. Dan satu abad dalam “kematian” adalah waktu yang lama. Sultan Khairul Saleh bertekad menghidupkan kembali marwah Kesultanan Banjar. Manusia pembuat kebudayaan, manusia pula yang harus menjaganya. Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing.

Elok si bunga tanjung
Mekar di dalam taman
Elok budi bauntung
Pahlawan dalam kenangan

Serumpun Tanah Melayu
Pulau Pandan Angsana dua
Ikat simpul kita bersatu
Negri Banjar tanah pusaka

Saya kira, Sultan Khairul Saleh sangat memahami bagaimana mewujudkan pantun ini dalam hidupnya. Kami, rakyat mendoakan.

*tulisan untuk ikut merayakan ditabalkannya Sultan Khairul Saleh sebagai Raja Muda Banjar 

Komentar

Postingan Populer