Gundono

Gundono adalah cerminan, bagaimana hidup perlu selalu diziarahi dan dimerdekakan. 

Lewat suluk, denting ukulele, gerak wayang suket, atau tangis menyayat bacaan barzanji. Semua itu mengalun merdu. Merasuk dalam sukma. Seperti ingin dikenang.

Selasa, 31 Desember 2013, jagad seni nusantara berduka. Dalang wayang suket, Ki Slamet Gundono (nama aslinya Gundono, lahir 19 Juni 1966) mangkat. Tubuhnya yang tambun dimakamkan di tanah kelahirannya, Dukuh Salam, Slawi, Tegal. Sanak saudara, kerabat, teman seniman, dan pejabat ikut serta dalam prosesi penguburannya. Liang kuburnya yang jumbo berada tak jauh dari rumahnya (sekitar 50 meter).   

Gundono adalah dalang unik. Pernah mengenyam sekolah sekaligus nyantri di Madrasah Aliyah Negeri, Babakan, Lebaksiu (1987-1989) dan STSI Surakarta jurusan Pedalangan. Pada tahun 2005, kreasinya mendalang mendapat penghargaan Prince Claus Award dari Pemerintah Belanda.

Gundono meninggalkan banyak kisah. Dalam setiap pagelarannya, Gundono mengajak pendengarnya menyelusup ke ceruk-ceruk kecil kehidupan. Ceritanya selalu segar dan menggelitik khas Tegalan. Ia memaknai serat dan babad Jawa dengan faham baru. Mencari logika dan perilaku santri atau kyai kampung yang mungkin tak masuk dalam silau gemerlap teknologi modern.   

Gundono mendalang dengan apa adanya. Tubuhnya tambun. Ia sekedar duduk atau berdiri, sesekali menggoyangkan badan, menggendong gambus atau ukulele, menggenggam wayang suket, terkadang memakai ikat kepala, pakaian kedodoran, dan suara kadang melengking atau syahdu menyayat. Semua itu berpadu, mengharu biru.

Dengan tubuhnya yang (kelewat) tambun, ia mengandalkan cerita dan kekuatan suluk yang ia bawakan. Tak sedikit pendengar yang terpesona dengan gaya Gundono. Pagelaran Gundono selalu mengajak berfikir secara filosofis. Lelucon Gundono mengendap di relung-relung hati pendengarnya. Gundono seperti menyadarkan, bahwa hidup iku mung sak dermo nglakoni. Ora adigang adigung adiguno.     

Kini, Gundono telah tiada. Tak lagi ada gayak kocaknya mendalang. Tak ada lagi kisah serat cebolek yang dilantunkan dengan manis dan ritmis. Tak ada lagi kisah tentang beratnya si mbok (ibu) dalam mengandung yang diceritakan dengan emosional. Tak ada lagi kisah “Kalijogo”, Kasultanan Demak, Mataram, “Joko Tingkir” atau Gendowor. Tak ada lagi logat Tegal yang riuh dalam tawa dan tangis.

Meskipun demikian, Gundono “masih hidup”. Ia ada di wayang suket, semangat bahasa Tegal yang egaliter dan apa adanya, gaya baru dalam mendalang, komunitas-komunitas budaya, pemikiran, juga cara menertawakan diri sendiri dan lingkungan. Gundono harus terus “dihidupkan”, karena hidup harus terus diziarahi dan kadang ditertawakan.

Selamat jalan, mas Gun

Komentar

Postingan Populer