memaknai pusaka dan peristiwa

Keberadaan Tombak Kyai Plered berkait erat dengan runtuhnya kerajaan Majapahit, Sirna Ilang Kertaning Bhumi. Ia diciptakan sebagai senjata perang. Kelak dikemudian hari, Tombak Kyai Plered dijadikan alat legitimasi oleh Dinasti Demak, Mataram dan beberapa pemerintahan daerah di Jawa Tengah.


Selepas Majapahit runtuh, putra-putri Brawijaya V terpencar ke penjuru daerah, terutama Jawa. Salah satu di antaranya adalah Raden Bondan Kejawen; ayah dari Ki Ageng Getas Pendowo dan kakek dari Ki Ageng Selo; tokoh legenda yang dimitoskan dapat menaklukkan dan menangkap petir. Ki Ageng Selo ini pula yang dianggap sebagai pembuat (empu) Tombak Kyai Plered; pusaka kesaktian turun-temurun raja-raja Mataram (Dinasti Mentawisan).
Semua nama-nama di atas, bisa jadi adalah nama samaran, karena orang Jawa dahulu lebih sering menyembunyikan identitas aslinya, apalagi ia adalah seorang yang berilmu. Peribahasa tentang padi mengajarkan, semakin “tua” manusia harus semakin merunduk.

Begitu juga dengan kehebatan Ki Ageng Selo dapat dimaknai sebagai kehebatannya dalam menaklukkan nafsunya, karena manusia yang hebat sesungguhnya adalah mereka yang dapat menundukkan dirinya sendiri. Pun dengan pusaka kesaktian Tombak Kyai Plered dimaknai sebagai semangat menjalankan filosofi Jawa yang yag tercermin dalam pusaka tersebut.   

Kultus

Mataram adalah kerajaan besar. Tempat persemaian kearifan filosofi Jawa dan kekuasaan. Banyak yang harus dijaga, tak sedikit pula yang harus dikritisi.

Denys Lombard (2000) dalam bukunya berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris menjelaskan, dalam rangka menegakkan kekuasaannya, penguasa Mataram menerapkan tiga aturan terhadap wilayah taklukannya. Pertama, penguasa-penguasa daerah yang kuat diwajibkan tinggal di dalam keraton yang berada di Desa Plered, selama beberapa bulan dalam setahun. Jikalau ingin pulang, mereka wajib meninggalkan salah satu anggotanya sebagai sandera.

Pada masa itu, Plered adalah istana Raja Amangkurat I. Para bangsawan besar dan kecil menempati salah satu anjungan di Plered, lengkap dengan kuda dan gamelan. Raja juga membuat Krapyak (hutan cagar alam) yang diisi dengan binatang-binatang buruan untuk memuaskan hobi berburu para pangeran.

Saat itu ada sekitar 20 kediaman untuk para pangeran, seperti Pangeran dari Cirebon, Madura, Surabaya dan Tuban. Cara ini dianggap sebagai upaya Mataram menjadikan ibu kota sebagai pusat mikrokosmos (dunia kecil). Oleh karena itu, daerah-daerah taklukan harus diwakili dan diperintah dari pusat kekuasaan.

Kedua, mempraktekkan perkawinan politik. Metode ini mencontoh Majapahit yang telah mempraktekkannya lebih dulu. Politik ini dianggap jitu sebagai upaya untuk menjadikan semua wilayah taklukan keluarga besar. Dengan demikian, intrik politik dapat dikontrol.

Ketiga, membentuk polisi Negara dari mulai tingkat pedukuhan hingga di lingkungan terdekat kerajaan. Dengan adanya polisi negara, semua kegiatan masyarakat hingga ke koloni dapat dimonitor dan segera dipadamkan jika ada gejolak.  

Selain ketiga aturan di atas, penguasa Mataram juga terus melanggengkan kultus-kultus yang pernah digunakan oleh kerajaan-kerajaan pada masa sebelum Islam. Pelanggengan ini ditujukan untuk menjadikan raja sebagai penguasa (rojo sekti) atas segala hal. Oleh karena itu, raja harus dipersonifikasikan sebagai sosok yang ditakuti dan ditaati perintahnya. Raja sebagai poros dunia. Kerajaan sebagai mikrokosmos dan raja sebagai pelaku utama yang menjaga keserasian dengan makrokosmos.

Hal ini berbeda dengan konsepsi Ratu yang merupakan cerminan dari Sang Hyang Tu (Ning Rat). Ratu meniscayakan untuk disegani bukan ditakuti. Oleh karena itu, dalam beberapa kultusnya, penguasa Mataram berusaha menggabungkan keduanya, Raja dan Ratu.

Kultus pertama berupa sosok Ratu Kidul yang dianggap sebagai makhluk gaib penguasa Laut Selatan yang menurunkan Dinasti Mataram. Setiap penobatan Raja Surakarta, sekuntum bunga wijayakusuma harus selalu ada. Bunga tersebut harus langsung dipetik dari Pantai Selatan dengan ritual khusus.

Dalam kosmologi Jawa, ada relasi spiritual yang harus dimaknai dan diejawantahkan dalam perilaku antara Pantai Selatan, panggung Krapyak, Tugu dan Gunung Merapi. Bunga Wijayakusuma bermakna bahwa Raja harus menghias perilakunya dengan baik agar namanya dikenang harum dan diikuti rakyat.

Bukankah kebaikan memang harus diharumkan ?   

Kultus kedua, setiap ulang tahun raja selalu digelar tari Bedoyo Ketawang yang ditarikan oleh Sembilan gadis terpilih. Konon, Ratu Kidul ikut serta menari. Namun sosoknya hanya bisa dilihat oleh Raja. Tari Bedoyo Ketawang merupakan tarian gambaran bentuk bintang di langit. Artinya, Raja Mataram direstui pencipta bintang-bintang di langit. Kultus ini sepertinya perlu dimaknai bahwa hati dan jiwa Raja dan Ratu harus terhubung dengan langit dan bumi. Ke-Tuhan dan ke rakyat.

Kultus ketiga, menyimpan pusaka kuno sebagai simbol keabsahan dan kepemilikan wahyu. Pusaka-pusaka itu antara lain berupa Gong Kyai Bicak yang dihubungkan pada sosok Sunan Kalijaga, sepasang Tombak sakti yaitu Kyai Plered dan Kyai Baruklinting (konon bentuknya mirip lidah ular), gamelan Ni Yayi Seketi, keris Kyai Joko Piturun hadiah dari raja kepada penggantinya dan Kotang Antakusuma; sebuah rompi perang yang oleh Sunan Kalijaga dianggap kulit kambing yang secara ajaib dikirim oleh Nabi Muhammad kepada Majelis Wali di Demak.

Memaknai

Dari semua benda pusaka tersebut, Tombak Kyai Plered paling popular di antara yang lain. Kini, wujud asli pusaka ini masih 
tersimpan di Keraton Yogyakarta, disandingkan dengan pusaka Tombak Kyai Baruklinting.

Sejarah mencatat, Tombak Kyai Plered dibuat Ki Ageng Selo, diturunkan kepada Ki Ageng Ngenis lalu ke Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya, raja Mataram pertama. Oleh banyak kisah ketoprak Jawa, legenda Tombak Kyai Plered berkait dengan peristiwa perebutan kekuasaan Kesultanan Demak oleh Raja Jipang Panolan, Arya Penangsang. Penangsang dianggap memberontak karena membunuh Sultan Demak keempat, Sunan Prawoto (1546-1549).

Penumpasan Penangsang atas siasat dari Ki Juru Martani, putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri. Ki Juru Martani memiliki cucu bernama Pangeran Mandurareja dan Upasanta. Upasanta kelak diangkat menjadi Bupati Batang. Anak perempuan Upasanta, Ratu Wetan, dinikahi oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma sebagai selir, kelak melahirkan Raden Mas Sayidin (Amangkurat I).

Peristiwa itu terjadi di Bengawan Sore. Di atas kuda Gagak Rimang. Dengan Keris Kyai Setan Kober yang terselip di pinggang, usus Penangsang tersemburat kena hunjaman Tombak Kyai Plered oleh Danang Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir). Tapi Penangsang justru tewas dengan kerisnya sendiri.  

Oleh orang Jawa, “Bengawan Sore” adalah sebuah kiroto boso (permainan bahasa). “Bengawan” adalah aliran air yang luas. Air adalah simbol ketenangan dan kesejukan. Bengawan juga bermakna hati yang lapang dan memberi kesegaran dan kesejukan.
“Sore” menunjuk sebuah waktu, senja. Dalam sebuah pemerintahan, senja dimaknai sebagai masa transisi. Masa perubahan yang syarat dengan kondisi tak menentu sehingga perlu ketenangan dan pemikiran yang panjang untuk mengambil kebijakan.

Ketika usus Penangsang justru terpotong oleh Keris Setan Kober miliknya, maka itu bermakna bahwa bukan lagi Tombak Kyai Plered atau Keris Setan Kober itu, melainkan ketidakmampuan Penangsang sendiri mengendalikan nafsunya yang membunuhnya. Memutus usus adalah memutus salah satu aliran nafsu diri (nafsu lauamah) agar tidak berlebihan. 

Komentar

Postingan Populer