aku memahami

Ini tentang ingatan. Tentang orang yang harus kritis terhadap keadaan sosial. Dan Aku baru pelajari saat itu.

Saat itu tahun 1997. Saat aku sedang belajar di pesantren, di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Kelak dikemudian hari, pesantrenku itu muncul dalam sebuah berita di televisi dan koran; “diserang oleh sekelompok orang karena dianggap mengajarkan ajaran menyimpang, tak sesuai dengan ajaran Islam umumnya di nusantara”.

Pada tahun itu, aku menginjak tahun kedua di pesantren. Aku duduk di kelas takhasus. Kelas untuk santri dengan pelajaran mantiq (logika), filsafat, ushul fiqh, kitab Alfiyah (gramatika arab), atau analisis hadist. Di kelas itu, hanya ada tujuh santri. Dan Aku urutan paling belakang dalam hal kedisplinan. Apalagi ukuran yang lain.

Undangan

Undangan itu datang dari Universitas Islam Malang (Unisma). Tentang permohonan mengirimkan wakil santrinya untuk mengikuti pelatihan studi sosial di Unisma selama tiga hari. Dan saat sore hari, aku dan temanku, Salman Alfarisi, dipanggil ustaz. Kami diminta untuk mewakili. Kami pun berangkat ke Malang. Dua jam perjalanan dari pesantrenku. Tanpa tahu apa arti dan maksud studi sosial itu.

Acara itu ternyata diikuti oleh banyak peserta, khususnya perwakilan santri dari berbagai pesantren di Jawa Timur. Selama tiga hari, kami ditanggung makan, minum, dan penginapan. Seperti layaknya belajar di pesantren, kami menerima pengetahuan, berdiskusi, dan berdebat secara kelompok dari pagi sampai malam. Kami hanya istirahat saat waktu salat dan tidur. Beberapa dari Kami bahkan tak tidur sampai pagi. Merokok dan menikmati kebebasan keluar dari pesantren. Sesuatu yang biasanya hanya Kami dapatkan, kecuali pas liburan sekolah atau lebaran.

Saat itu, Aku diajarkan beragam teori sosial dari pemikir-pemikir Barat, seperti Rostow, Machiaveli, Karl Marx, Antony Giddens, Nietczhe, juga Bourdieu. Bagiku itu semua sesuatu yang baru. Karena sebelumnya Aku hanya tahu Ghozali, Rumi, Ali Syariati, atau Imam lima madzhab (Hanafi, Syafii, Maliki, Hambali, Jafari). 

Dari teori-teori itu, Aku mulai memahami isu-isu sosial yang ada di negeri ini. Saat itu aku baru tahu tentang kondisi negaraku di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. Aku baru tahu apa itu orde baru, apa yang mereka lakukan, apa itu kemiskinan dan pemiskinan, apa hak asasi manusia, kenapa itu penting dipelajari dan difahami, apa itu kesadaran sosial, kenapa kita harus kritis pada negara maupun diri sendiri.

Dan dari pelatihan itu, Aku mengenal Gus Dur dan Romo Mangun Wijaya. Dua orang yang baru kuketahui sebagai tokoh besar di kemudian hari.  

Akibat

Tahun 1998 aku kuliah di Yogyakarta, jurusan psikologi. Aku mencoba-coba ikut aktif berorganisasi. Berdiskusi, berdebat, mendengar dan memahami yang berbeda pandangan, sikap, juga karakter. Aku coba memahami demokrasi, menyemarakkan, membuat partai untuk ikut pemilihan presiden kampus. Partaiku kalah.

Aku kuliah lagi, jurusan antropologi. Aku mulai memahami dan mempelajari hal baru, kebudayaan. Ide dasar alasan manusia berperilaku di dunia. Di manapun, kapan pun, siapapun. Ada keunikan di sana, dan Aku menyukai itu.

Namun, di antropologi, ternyata Aku “bertemu” lagi dengan isu-isu politik, demokrasi, kemanusiaan, juga lingkungan. Aku juga bertemu dengan orang-orang yang pernah menjadi korban pemerintahan Soeharto. Mereka bercerita tentang ketakutan, kecemasan, juga harapan. Mereka mengajarkanku tentang banyak hal. Tentang manusia.

Manusia yang memanusiakan manusia. Juga makhluk. Kemanusiaan yang lebih penting daripada politik. Apalagi kekuasaan.

9 Juli 2014 nanti, presiden dan wakil presiden yang baru akan dipilih.  Dan Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku memahami itu.


Prambanan, Juni 2014



   

Komentar

Postingan Populer